Penulis : Agus Siswanto (Member KMO Alineaku)
Ruang tamu itu belum banyak berubah sejak ditinggalkan 7 tahun yang lalu.Tiga kursi rotan kecil, ditambah satu kursi rotan panjang mengitari sebuah meja dari kayu jati. Walaupun berbeda, hanya warnanya yang sudah pudar. Namun meski pudar, kursi dan meja itu masih kokoh. Terasa saat Ratri meletakkan pantatnya di kursi rotan itu.
“Dah dari tadi, Nduk.” Suara perempuan tua mengagetkan Ratri yang asyik mengaduk-aduk tas kecilnya.
“Baru saja masuk kok, Mak,” jawab Ratri.
“Sudah ketemu bapakmu?”
“Belum,” sahut Ratri pendek.
“Tunggu saja, paling sebentar lagi datang. Tadi katanya mau ke rumah Kang Sarmin.”
“Nggih, Mak.”
Tanpa menunggu jawaban Ratri, Mamak langsung beranjak meninggalkan ruang tamu kecil itu. Tak lama kemudian terlihat asap putih membumbung dari dapur di belakang rumah. Tampaknya Mamak sedang menjerang air untuk membuat minuman.
Kepulangan Ratri kali ini adalah yang pertama kali setelah tujuh tahun dia merantau. Panggilan untuk pulang dari bapak atau mamaknya selama ini tidak pernah dihiraukan. Padahal hampir setiap tahun mereka mengirim surat agar Ratri pulang. Namun tetap ada sesuatu yang mengganjal Ratri saat memutuskan untuk pulang.
“Tri, kali ini bapak ingin ngomong serius.” Angan Ratri tanpa diminta kembali ke peristiwa tujuh tahun yang lalu.
“Monggo¸Pak. Ratri siap mendengar,” jawab Ratri santun.
“Bapak tidak ingin kamu membantah apalagi menentang apa yang akan bapak sampaikan.” Kalimat bapak terasa menghujam dada Ratri. Padahal bapak belum menyampaikan apa yang menjadi tujuannya memanggil Ratri. Tapi dari nada bicaranya, Ratri mencium ada sesuatu yang maha penting.
“Tapi kalau yang bapak sampaikan tidak cocok bagi Ratri, maaf kalau Ratri tolak, Pak,” sela Ratri.
“Kamu sudah mulai berani membantah, ya? Pasti ajaran dari Marsudi, pria sok tahu itu,” sahut bapak tak kalah kerasnya.
Ratri hanya menunduk. Di mata bapak, sosok Marsudi adalah sosok yang sangat dibenci. Sebab gara-gara Marsudi, Ratri menolak untuk dinikahkan saat lulus SMP.
“Kamu masih berhubungan dengan Marsudi?” selidik bapak.
Ratri hanya menggeleng.
“Jangan bohong!” cecar bapak.
“Mana mungkin Ratri berhubungan, Pak. Pak Marsudi sudah pindah ke Jawa Timur.”
“Pak, mbok sudah langsung saja ke permasalahan.” Ibu mencoba melerai.
“Anakmu itu, sudah mulai membantah,” sahut bapak. “Nduk, dengar yang akan bapak sampaikan.”
Ratri semakin menunduk.
“Dua minggu lagi, Pradata, anak lurah Somogawe mau melamarmu. Bapak harap kamu terima, bapak tidak mau mendengar penolakan dari kamu. Pertama bapak malu dengan keluarga Lurah Somogawe, yang kedua, inilah saatnya kita memperbaiki derajat kita di mata masyarakat,” kata bapak panjang lebar, tidak memberi kesempatan pada Ratri untuk menjawab.
“Tapi, Pak ….”
“Tidak ada kata tapi. Pokoknya kamu harus terima,” sahut bapak tegas.
Pembicaraan itulah yang membuat Ratri memutuskan lari dari rumah. Dengan berbekal beberapa potong pakaian, surat-surat berharga dan sedikit tabungan, di pagi buta dia meninggalkan rumah. Satu-satunya yang dia tinggalkan hanya coretan pada secarik kertas yang meminta agar kedua orang tuanya tidak usah mencari. Ratri berjanji suatu saat akan kembali.
“O, kamu sudah sampai, Nduk?” tanya laki-laki yang mulai tampak kerut-merut di wajahnya.
“Inggih, Pak.” Tanpa diminta Ratri bangkit. Diambilnya tangan bapak, diciumnya sambil duduk bersimpuh di bawahnya. Air mata yang semula ditahan, tanpa dikomando mengalir dengan deras. “Maafkan Ratri, Pak yang tidak pernah mengindahkan permintaan Bapak untuk pulang.”
“Enggak apa-apa,Nduk. Bapak juga yang salah,” jawab laki-laki tua itu lirih. Tampak air mukanya menahan air mata yang hendak berhamburan. “Bapak kangen kamu,Nduk.” Dipeluknya anak semata wayang itu. Kali ini air mata itu tidak bisa lagi dibendungnya. Bapak dan anak itu menangis sesenggukan di ruang tamu kecil itu.
“Sudah, ayo duduk di sini.” Tetiba mamak ke luar sambil membawa 3 cangkir teh hangat. “Rumangsane hanya bapak saja yang kangen, po? Aku juga kangen anak wedokku iki.” Kali ini mamak memeluk Ratri kuat-kuat. Air matanya pun berhamburan tidak terbendung lagi.
“Nduk, selama ini kamu di mana. Mengapa tidak pernah mengirim kabar, dan melarang bapak dan ibumu menengok ke sana?” tanya bapak setelah menenangkan diri.
“Di Solo, Pak.”
“Ratno yang selama ini selalu bapak titipi surat pun tidak pernah mau mengatakan tempat tinggalmu,” keluh bapak.
“Itu memang Ratri sengaja, Pak. Ratri ingin buktikan kalau Ratri bisa bikin bapak dan mamak bangga.”
“Lalu apa yang kamu dapat?” tanya bapak.
“Ratri bekerja dan kuliah, Pak,” jawab Ratri dengan wajah cerianya.
“Beneran, Nduk?”
“Iya, Mak. Ratri sisihkan sebagian gaji Ratri untuk kuliah.”
“Kamu hebat Nduk. Bapak enggak ngira sama sekali.” Bapak tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya.
“Terus rencanamu yang lain,” tanya mamak.
“Tenang, pokoknya Bapak dan Mamak enggak usah kuatir.”
“Usiamu lho, Nduk.” Bapak mengingatkan.
Ratri hanya tersenyum. Perlahan tangannya mengambil gawai yang tersimpan di tas kecoilnya. “Sebentar ya, Pak.” Ratri minta izin untuk menerima telepon.
“Anakmu sudah jadi anak kota,” bisik mamak pada bapak.
Bapak mengangguk-angguk sambil mengamati Ratri yang sedang berbincang lewat gawai.
Tak lama kemudian terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Bapak dan mamak terkejut, selama ini kalau ada suara klakson hanya dari pick up pak RT yang mengambil jerami di sebelah rumah.
“Assalamualaikum.” Terdengar suara halus di depan pintu.
“Waalaikumussalam,” jawab bapak.
“Pak, kenalkan saya temannya Ratri,” kata laki-laki muda yang berdiri di sebelah Ratri.
“Yang bawa mobil itu.” Mamak seolah tidak percaya.
“Benar, Bu,” jawab laki-laki muda itu sopan. “Saya Pradata, Bu.”
“Pra … data,” sahut bapak.
Laki-laki muda bernama Pradata itu mengangguk.
“Putra Pak Lurah Somogawe?”
“Benar, Pak.”
“Jadi kalian sudah saling kenal.” Bapak masih belum hilang keheranannya.
“Kami satu kampus, Pak,” sahut Ratri. “Ini salah satu alasan Ratri nggak mau pulang. Pingin buat kepastian dulu akan hubungan kami,” lanjut Ratri.
“Sudah berapa lama kalian berteman?” tanya mamak.
“Tiga tahun.”
“Kalian memang keterlaluan,” gerutu bapak tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
“Dalam minggu ini, insyaallah bapak dan ibu akan kesini untuk melamar Dik Ratri.”
“Dasar gemblung,” umpat bapak.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Ratri
Sorry, comment are closed for this post.