Pada tahun 2005, kami sebagai orang tua mendapat kejutan besar yang mengubah arah hidup keluarga kami. Ketika itu, seorang psikolog dari sekolah memanggil kami dan memberikan hasil dari serangkaian tes dengan mengidentifikasi hiperaktif disorder pada anak tertua kami. Sebagai orang tua yang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang dunia pendidikan, pernyataan tersebut menggetarkan kami. Apa itu hiperaktif disorder? Apa dampaknya bagi anak kami? Bagaimana seharusnya kami sebagai orang tua merespons masalah ini?
Berawal dari situlah kami memulai pencarian panjang dan penuh tantangan sebagai penyintas. Sebelum pertemuan dengan psikolog tersebut, anak kami sebenarnya sudah menunjukkan gejala atau perilaku yang sangat energik. Siapa yang tidak ingin anaknya aktif dan penuh semangat?
Ia lebih energik dibandingkan dengan teman-teman sebayanya, bahkan aku ibunya harus dibantu seorang suster untuk menjaganya karena anak ini seperti memiliki battery energizer. Penjelasan panjang psikolog, mulai menyadari bahwa yang kami anggap sebagai sifat biasa ternyata merupakan indikasi adanya gangguan perkembangan yang mempengaruhi cara belajar dan berinteraksi anak kami.
Hiperaktif disorder, atau yang lebih dikenal dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), adalah kondisi yang mempengaruhi kemampuan anak untuk fokus, mengontrol impuls, dan menahan diri dari tindakan yang tidak diinginkan. Mengetahui hal ini, kami merasa khawatir dan bingung tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Anak kami, yang selalu kami banggakan sebagai pribadi yang aktif dan ceria, ternyata mengalami tantangan yang tidak bisa diabaikan. Kami merasa terpojok, karena sistem pendidikan umum kurang berpihak pada kondisi tersebut. Para pendidik sepertinya tidak memiliki cukup bekal yang memadai untuk memahami dan menangani kebutuhan anak-anak dengan ADHD.
Keputusan pertama yang kami ambil adalah mencari solusi melalui sistem pendidikan lain. Kami memutuskan untuk mencoba memindahkan sekolah plus, sebuah sekolah yang menawarkan kurikulum internasional. Harapan kami tinggi, karena barometer kami sebagai orang tua menganggap international tentu memiliki kurikulum yang memadai untuk indikasi anak kami, namun setelah beberapa waktu, kami merasa bahwa kebutuhan pendidikannya belum juga bisa dipenuhi dengan optimal di sana. Kami merasa buntu.
Kemudian kami mencoba sekolah Islam, berharap bahwa pendekatan keagamaan dan nilai-nilai moral yang lebih ditekankan dapat memberikan solusi bagi masalah anak kami. Namun, meskipun kami melihat banyak hal positif dari sekolah tersebut, sekali lagi tenaga pendidik yang mumpuni menghadapi anak ADHD menjadi kendala. Kami kembali merasa bahwa anak kami masih kesulitan untuk mengikuti sistem yang ada, hingga mencoba sekolah negeri dimana harapan kami dengan lamanya dan pengalaman para tenaga pendidik di Sekolah Negeri akan membawa perkembangan baru, tetapi ternyata situasinya menjadi semakin tidak terkendali. Sistem lama dengan cara kekerasan diterapkan membuat perilaku anak kami menjadi lebih agresif. Setiap sekolah yang kami coba tidak berhasil memenuhi kebutuhan pendidikan anak kami, predikat nakal, lasak dan tidak dapat diatur menjadi sangat melekat.
Kami merasa cemas, takut jika keputusan kami yang salah dapat merugikan masa depan anak kami. Apa yang salah dengan sistem pendidikan yang ada? Bukankah setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengisi benak kami.
Pada tahun 2007, secara tidak sengaja, kami menemukan sebuah sekolah alternatif yang didirikan oleh seorang psikolog ternama di Indonesia, yaitu Kak Seto. Nama tersebut tidak asing bagi kami, karena kami mengenalnya sebagai seorang tokoh yang banyak membantu anak-anak dan orang tua di Indonesia. Ketertarikan kami semakin besar ketika mengetahui bahwa sekolah yang beliau dirikan memiliki pendekatan yang berbeda dari sekolah pada umumnya. Sekolah ini tidak hanya berfokus pada kecerdasan akademik, tetapi juga pada pengembangan karakter dan penanganan khusus untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk yang mengalami ADHD, ADS, dan Kebutuhan khusus lainnya.
Menemukan sekolah ini membuka wawasan baru bagi kami tentang berbagai alternatif pendidikan, salah satunya adalah sekolah rumah. Pada saat itu, konsep sekolah rumah atau homeschooling masih terasa asing di telinga kami. Namun, melihat pendekatan yang lebih fleksibel dan lebih mengutamakan kebutuhan individual siswa, kami mulai berpikir bahwa mungkin inilah solusi yang tepat untuk anak kami.
Tentu saja, keputusan untuk memilih homeschooling bukanlah hal yang mudah. Di satu sisi, kami merasa bahwa sekolah rumah akan memberi anak kami lebih banyak ruang untuk berkembang sesuai dengan kecepatan dan kemampuannya. Namun, di sisi lain, kami juga merasa ragu karena homeschooling pada saat itu masih sangat jarang dilakukan, dan masyarakat umumnya belum familiar dengan konsep ini. Bahkan kami sendiri tidak tahu harus mulai dari mana.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan ini, kami memutuskan salah seorang dari kami untuk melanjutkan kuliah dengan jurusan pendidikan. Kami, selaku orang tua, merasa perlu untuk mendapatkan pengetahuan lebih dalam tentang pendidikan agar bisa mendukung anak kami dengan cara yang lebih tepat. Keputusan ini tidaklah mudah, mengingat kami harus memulai dari awal dalam dunia pendidikan yang sangat berbeda dengan bidang seni yang kami geluti sebagai seniman lukis.
Sementara itu, kami juga memutuskan untuk bergabung dengan komunitas homeschooling yang didirikan oleh Kak Seto, yaitu Homeschooling Kak Seto. Komunitas ini memberikan kesempatan kepada kami untuk belajar bersama-sama dalam program distance learning selama dua tahun, yang memberikan kami banyak pengetahuan dan wawasan baru tentang bagaimana menjalankan pendidikan di rumah secara efektif.
Selain itu, kami juga mencari beberapa komunitas homeschooling mandiri dari manca negara untuk memperluas perspektif kami. Dengan belajar dari berbagai sumber, kami mulai merasa lebih percaya diri untuk mengambil langkah selanjutnya. Dua tahun dalam komunitas tersebut memberi kami bekal yang cukup untuk memutuskan untuk menjalani sekolah mandiri atau tepatnya fulltime family, tanpa terikat pada komunitas manapun.
Keputusan untuk memilih homeschooling memiliki tantangan. Salah satu hambatan terbesar yang kami hadapi adalah ketidakpahaman dari keluarga besar, terutama dari orang tua kami. Banyak yang bertanya-tanya mengapa kami memilih untuk membiarkan anak kami bersekolah di rumah, dan mengapa kami tidak memilih sekolah umum seperti kebanyakan orang tua lainnya. Mereka khawatir bahwa anak kami akan kesulitan bersosialisasi dan tidak bisa berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.
Kekhawatiran itu juga muncul dari masyarakat sekitar. Beberapa orang memandang aneh pilihan kami, bahkan ada yang meragukan kemampuan kami sebagai orang tua untuk mengajarkan anak sendiri disebabkan minimnya pengetahuan kami tentang pendidikan.
“Anak itu butuh bergaul dengan teman-teman di sekolah.” kata mereka.
“Kalau tidak masuk sekolah, nanti dia jadi kuper (kurang pergaulan).”
Hal-hal negatif yang kami terima tidak hanya datang dari keluarga inti, tetapi juga dari orang-orang di luar keluarga yang tidak memahami keputusan ini. Hal ini ternyata membawa sebuah tekanan baru bagi anak kami dengan komentar-komentar yang meragukan pilihan kami. Namun, kami tidak menyerah. Kami percaya bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya dan kami merasa bahwa homeschooling adalah cara terbaik untuk memberikan anak kami pendidikan yang bisa mendukung perkembangan dan kebutuhan pendidikannya.
Melalui perjalanan panjang ini, kami belajar bahwa memilih pendidikan untuk anak bukanlah hal yang bisa diserahkan begitu saja pada sistem yang ada. Sebagai orang tua, kami memiliki kewajiban untuk mencari yang terbaik bagi anak kami, meskipun itu berarti harus menentang norma dan menghadapi tantangan besar. Kini, setelah melewati berbagai pengalaman, kami merasa bahwa keputusan untuk memilih homeschooling adalah keputusan yang tepat. Kami melihat bagaimana anak kami berkembang dengan cara yang sesuai dengan kemampuannya, dan kami bangga bisa menjadi bagian dari perjalanan ini.
Sekolah hanyalah sebuah wadah, dan belajar adalah tentang bagaimana pendidikan itu dapat diterapkan. Tantangan masih ada, dan kami masih terus belajar setiap hari. Namun, dengan keyakinan dan komitmen, kami percaya bahwa memilih pendidikan rumah adalah langkah yang tepat untuk masa depan anak kami.
Kreator : Farah Wisesa
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Rekam Jejak Sekolah Rumah
Sorry, comment are closed for this post.