Setelah menutup pintu kamar, aku memasangkan headphones dengan volume penuh sembari merebahkan diri di atas kasur. Aku menggulir aplikasi musik sebelum menyerah mencari musik yang cocok dan akhirnya memilih lagu asal dalam mode shuffle.
Aku menatap langit langit kamarku, sembari mencoba memejamkan mata dan membiarkan diriku tertidur. Sudah jam sepuluh malam, sementara besok aku harus berangkat jam lima pagi menuju sekolah baruku.
Sejujurnya, aku sudah berusaha mati-matian untuk masuk sekolah ini bukan semata-mata karena aku ingin masuk sekolah favorit dan berprestasi. Tetapi, Mama sangat membanggakan sekolah ini dan menginginkanku untuk masuk, bahkan aku mengikuti les di luar sekolah agar dapat diterima. Dan setelah mempertimbangkannya, mungkin ini juga membuka peluang bagus untuk beasiswa ke negara asing -yang selalu menjadi impianku- karena sekolah ini termasuk yang terbaik se-negara.
Entah itu perasaan tidak sabar, gugup atau takut yang membuatku tidak bisa tidur. Akhirnya, aku memutuskan untuk bangkit dan mencoba mencari kesibukan. Membaca buku selalu menjadi cara yang ampuh untuk membuatku mengantuk, karena itu aku menghampiri rak buku dan mulai mencari novel.
Di depan rak buku, mataku tertuju pada sebuah buku catatan putih bermotif ombak biru yang sudah mulai usang. Tanganku meraih buku itu dan membawanya ke atas kasur. Dengan perlahan, aku mulai membalik satu demi satu halaman buku catatan yang sudah menemaniku selama tiga tahun. Ya, buku itu adalah saksi bisu akan kehidupanku selama masa putih-biru yang penuh dengan kejadian menarik dan menyenangkan. Buku harianku selama SMP.
Lembar demi lembar, aku membaca cerita tentang diriku sendiri. Tersenyum lebar jika membaca tentang MPLS, tentang keinginanku untuk menjadi anggota organisasi, tentang event pertama yang aku tangani sebagai OSIS, dan kejadian menyenangkan lainnya. Menertawakan diriku jika membaca tentang cinta monyet yang aku alami saat SMP. Tersenyum sedih jika membaca tentang masalah masalah yang kuhadapi.
Membaca catatanku sungguh mengembalikan kenang-kenangan yang berharga. Kenang-kenangan yang tidak bisa diulang lagi. Hanya bisa berharap kita tetap akan mengingatnya hingga tua nanti. Masa putih-biru adalah masa yang sangat menakjubkan. Karena pada jangka waktu tiga tahun itu, kita berkembang, tumbuh dan berubah. Dari seorang anak kecil polos menjadi remaja seperti sekarang.
Aku menutup halaman terakhir, merasakan campuran rasa bangga dan nostalgia yang menusuk. Masa SMP-ku memang penuh tantangan, tapi aku berhasil melewatinya. Dan sekarang, di hadapanku ada perjalanan baru yang menantang: SMA. Aku tidak tahu apa yang menunggu, tapi aku merasa lebih siap.
Mungkin, besok aku akan memulai hari baru dengan membawa keberanian yang sama. Siapa tahu, mungkin buku harian ini akan mendapatkan cerita-cerita baru yang tak kalah menarik. Aku tersenyum tipis, menutup buku itu dengan lembut, lalu memejamkan mata, membiarkan musik mengalun hingga akhirnya aku tertidur, penuh harapan untuk hari esok.
A year from now we’ll all be gone
All our friends will move away
And they’re goin’ to better places
But our friends will be gone away
River and Roads – The head and The heart
Tiga tahun yang lalu..
Aku menatap seragam sekolah baruku di kaca. Kemeja lengan pendek putih dengan rok selutut biru gelap bermotif kotak-kotak. Setelah 10 menit bersusah payah mencoba, akhirnya aku berhasil untuk setidaknya memasang dasi dengan cara yang menurutku betul. Yah, walaupun aku ragu karena bentuknya tetap terlihat aneh.
Suara Papa yang sedang memasak di bawah terdengar hingga kamarku. Juga langkah kaki Mama yang mulai mendekat ke pintu kamar. Mungkin ini yang dinamakan keuntungan menjadi anak dari keluarga yang cukup cukup ketat. Menghafal suara langkah kaki dan mengetahui seberapa jauh jaraknya dari kita. Apakah itu aneh? Mungkin iya. Tapi percayalah, itu benar-benar menjadi superpower kita yang sangat membantu.
Sedetik sebelum Mama membuka pintu kamarku, aku sudah merapikan tempat tidurku yang cukup berantakan. Yah, tidak terlalu rapi, tapi setidaknya cukup sehingga tidak akan ada komen dari Mama.
“Asya, apakah kamu sudah siap?” Mama membuka pintu kamarku dengan cukup keras. “Jika sudah, tolong siapkan pakaian Jio ya, dan bersihkan botol minumnya dengan air panas”
Brak! Pintu kamarku tertutup lagi.
That’s it. Itu percakapan standar setiap pagi dalam kehidupanku. Mungkin beberapa dari kalian berpikir bahwa itu terlalu pendek, terutama hari ini adalah hari pertama aku memasuki sekolah baru, but it’s not. Menurutku tidak ada gunanya untuk bercakap-cakap panjang lebar di pagi hari. Hanya membuang energi saja. Yang penting aku sudah berkomunikasi. Banyak sekali anak di luar sana yang bahkan tidak pernah bertemu orangtuanya. Aku harus bersyukur tetap ditanya pada pagi hari. Lagipula, orangtuaku sudah cukup sibuk dengan Jio, adikku yang sekarang sedang membutuhkan terapi untuk melatih kefokusan dan keaktifannya.
Mungkin inilah yang dimaksud dengan ‘remaja pada umumnya’, mulai menjaga jarak dan menjadi pendiam. Mulai menyimpan cerita-cerita pada dirinya sendiri. Mulai menikmati waktu sendirian dibanding bersosialisasi. Aku sering sekali mendengar pidato dari guru-guru tentang itu, khususnya pidato kelulusan yang dibawakan oleh kepsek. Kuakui, aku hampir mengantuk mendengar pidato kelulusan tersebut, tetapi ada beberapa kalimat yang sempat masuk ke dalam pikiranku. Bahwa nanti kita akan menjadi lebih dewasa. Akan menghadapi tantangan yang mungkin akan merubah kita. Khususnya pada masa remaja, dimana kita seperti tanah liat, mudah sekali untuk dibentuk dan diubah. Sebenarnya aku yakin sekali aku pernah mendengar metafora seperti itu dari sebuah buku, dan ku yakin sekali bahwa Ms. Vic, kepala sekolahku, hanya mengutip dari buku tersebut karena buku itu memang disediakan di perpustakaan serta cukup populer.
Dengan malas aku berjalan keluar kamar dan turun menuju dapur. Aku terlihat sedang fokus melaksanakan perintah Mama tadi, walaupun pikiranku melayang entah kemana. Setelah menyiapkan pakaian Jio dan membersihkan botolnya, aku kembali ke kamarku. Di depan cermin, aku menatap bayanganku sekali lagi. Mungkin di balik cerminan ini, ada seorang Asya yang lebih dewasa—seorang Asya yang berani menghadapi dunia SMP. Tapi jujur saja, aku belum merasa seperti itu. Masih ada ketakutan yang tersembunyi, takut akan perubahan dan lingkungan baru yang akan aku hadapi. Namun aku tahu, aku harus melaluinya. Bukankah kita selalu dituntut untuk tumbuh?
Toh, mau aku berubah atau tidak, itu bukan suatu masalah besar. Aku sudah menunggu masa-masa putih biru ini sejak SD dan aku tidak akan membiarkan siapapun merusaknya. Menurutku ini adalah waktu yang tepat untuk mulai glow-up dengan membangun reputasi yang bagus agar dapat diterima di SMA berprestasi. Selain itu, aku penasaran dengan teman teman baruku. Aku dengar dari Kakakku bahwa sahabat di sekolah menengah akan bertahan lebih lama. Walaupun aku agak meragukan hal itu, tapi setelah melihat kakak dengan sahabatnya sejak SMP masih dekat dan saling mengunjungi, aku mulai mempercayainya.
Aku tersenyum melihat tas coklat yang akan kubawa ke sekolah nanti. Membayangkan diriku duduk diatas kursi dan mencatat pelajaran-pelajaran yang terdengar rumit. Membayangkan diriku mendapat nilai-nilai bagus dan sempurna. Membayangkan diriku sibuk dengan pelajaran dan ekstrakurikuler. Aku sungguh berharap semua bayanganku ini terjadi. Namun sebelum itu, aku harus memulai hari pertamaku di lingkungan yang baru ini.
~~~~~
Angin pagi menerpa wajah dan rambutku. Motor papa melaju kencang menerobos keramaian jalan raya yang penuh dengan kendaraan. Suara klakson terdengar sana sini, diikuti suara knalpot yang sudah di modif agar menyiksa telinga. Sekali kali aku memperbaiki kunciran rambut sambil bercermin di kamera handphone-ku. Lagu Hollywood Dreams karya Ayesha Erotica, yang sedang ku dengarkan melalui earphones, mengalahkan bisingnya jalan raya. Pilihan yang cukup semangat walaupun baterai sosialku sudah mulai terkuras.
Setelah melawan macet, gerbang sekolahku mulai terlihat. Jarak dari gerbang menuju gedung utama sekolahku mungkin sekitar 10 meter, mungkin juga 15. What do I know, aku hanya seorang cewek yang selalu mengukur jarak dengan “kalau dari sini, sampai mana”. Kita melewati kantin, bangunan serbaguna, dan lapangan. Pepohonan yang tumbuh di sisi jalan membuat sinar matahari tidak terasa terlalu terik. Aku merapikan rambut sekali lagi sebelum motor papa berhenti untuk menurunkanku.
“Belajar yang fokus ya,” Papa tersenyum kecil sebelum memutar balik dan meninggalkanku. Aku membalikkan badan untuk menatap gedung sekolahku.
Di sebelah kiriku terdapat parkiran motor untuk guru guru, dan mungkin murid jika sudah mendapatkan SIM. Pada sebelah kanan, terlihat UKS, tempat aku menghabiskan waktu berbaring saat upacara MPLS. Ya, aku pingsan waktu itu. Tidak lucu.
Papa menurunkanku tepat depan kantor ruang guru, dimana sudah ada seorang guru yang menyapaku. Aku membalas sapaan guru itu dengan senyuman dan segera ke kelasku di lantai dua. Setelah menaiki tangga ‘motivasi’ -karena di setiap anak tangganya terdapat kata kata motivasi- aku teringat sesuatu; Aku tidak tahu dimana kelasku. Kepala sekolah memberi tahu letak kelas saat upacara, saat aku di UKS. Aku melepas earphone sebelah kanan dengan kesal.
“Hai, kamu Asya bukan?” Seseorang menepuk pundakku. “Aku Lia! Kita sekelompok saat MPLS loh!”
Mungkin terdengar jahat, tapi sebenarnya aku tidak dapat ingat siapa saja yang sekelompok denganku saat MPLS. Jangankan siapa anggota kelompokku, mungkin aku sudah tidak ingat kegiatan yang dikerjakan selama MPLS. Aku hanya dapat mengangguk dan tersenyum kecil. “Oohh, iya, aku ingat,” Aku berkata sembari mengecilkan volume lagu agar suara dia terdengar. Jangan salah, aku bahkan tidak mengingat mukanya.
Aku mengikuti Lia yang berinisiatif memimpin jalan. Aku berusaha untuk tidak mengangkat kepala jika ada senior, kudengar mereka sangat menakutkan. Apalagi jika kami terlalu berwarna dan ceria. Untungnya aku adalah seorang yang menjalani hidup monokrom – hitam dan putih. Itu sangat membantuku melewati para senior (yang sepertinya mempunyai banyak energi pada pagi hari) hingga depan kelasku. Lia, sang tourist guide yang mendadak ini, membukakan pintu seolah-olah kita sedang memasuki sebuah mansion yang mewah.
Kelas itu… wangi lavender, tenang tapi penuh dengan anak-anak yang lebih sibuk dengan ponsel mereka daripada dengan sekitarnya. Ruangan ini tenang, dan dipenuhi anak-anak yang lebih tertarik dengan ponsel mereka daripada dengan dunia nyata. Bagus, ini berarti mereka tidak akan terlalu peduli padaku
Bel berbunyi tepat saat aku duduk di bangku, seperti yang sering tertulis pada skrip drama. Wali kelasku untuk tahun ini, Pak Dani, masuk beberapa saat kemudian, dan kebisingan di ruangan itu mulai mereda. Beliau adalah pria tinggi berkacamata dengan ekspresi ramah tapi serius.
“Selamat pagi, anak-anak,” dia memulai. “Selamat datang di tahun pertama kalian di SMP. Kalian sudah sampai sejauh ini, dan sekarang saatnya menghadapi tantangan baru dan tanggung jawab.”
Tantangan. Sudah pasti aku akan menghadapi tantangan. Seperti berusaha untuk menghafal nama-nama teman sekelas selama tahap matrikulasi? Atau mendapatkan ‘teman’ baru? Ya, itu adalah tantangan. Karena sepertinya murid murid disini termasuk anak yang menghabiskan waktunya mengikuti trend sekarang dibanding mengingat cara bersosialisasi dengan baik dan sopan. Seperti mendapatkan selfie yang ‘sempurna’ untuk dipamerkan. Hei, aku menemukan tantangan selanjutnya! Berterima kasihlah pada diriku yang tidak tahu berapa sudut derajat yang diperlukan agar wajahku terlihat tirus.
Setelah perkenalan dan absensi, Pak Dani menjelaskan ekstrakurikuler, yang sejujurnya membuatku bingung karena begitu banyaknya pilihan. Rintangan yang sangat sulit bukan? Aku bahkan tidak bisa bayangkan diriku sibuk berpikir, “Apakah aku akan menghabiskan SMP dengan memasukkan bola pada gawang atau dengan melakukan berbagai eksperimen sains?”
Hal selanjutnya adalah menentukan struktur kelas, dan tentu saja, aku memilih untuk tenggelam dalam duniaku sendiri. Kuakui aku pernah memegang posisi ketua kelas saat SD, namun itu tidak sama! Dulu, semuanya terasa sangat menyenangkan. Tanpa drama, kekhawatiran dan tanggung jawab yang berat. Sekarang? Aku seperti dalam dunia yang jauh berbeda — seperti Bumi dengan Neptunus. Mungkin aku melebih-lebihkan situasi ini, namun apakah kau bisa menyalahkanku? Bayangkan kau seorang anak yang baru saja keluar dari dunia permen, dimana semuanya penuh warna; Berharap kau akan masuk ke dunia yang tidak jauh berbeda walaupun tingkat kesulitan pelajarannya bertambah. Dan ternyata dimasukkan di dunia yang bukan hanya tingkat kesulitan pelajaran yang bertambah, tapi mungkin tingkat bertahan hidup juga jauh lebih sulit.
Dan tentu, Lia, yang jauh terbalik dariku, sangat bersemangat dalam pemilihan ketua kelas dan ‘bawahannya’. Seakan bahwa kita akan memilih pemimpin negara. Dia menilai para calon pemimpin besar yang namanya tertulis di papan tulis. Yang benar saja, itu semua hanya murid yang dipilih acak oleh Pak Dani. Beliau bahkan tidak mengenal mereka yang mana!
Aku menatap nama nama di papan tulis dengan setengah hati. Aku bahkan baru mengenal mereka hari ini, itupun belum mengobrol! Apakah kita diharapkan untuk mengetahui siapa yang paling cocok memimpin hanya dengan jangka waktu 10 menit melihat wajahnya? Lelucon yang sangat lucu!
Saat voting dimulai, aku mengangkat tangan pada nama pertama yang disebutkan dan kembali ke halaman pertama buku catatanku yang masih kosong. Tidak memperdulikan protes Lia yang makin lama menyakitkan telinga.
“Kau bahkan tidak tahu siapa yang kau pilih, Asya!” Tangan Lia dilipat di dadanya. Menunjukan perasaan kesal dan kecewa kepadaku yang bersikap apatis.
“Ya, dan itu tidak akan merubah apapun yang terjadi di hidupku” Aku tersenyum tipis sambil meraih pulpen dan menggigit ujungnya.
“Kamu benar benar tidak memperdulikan apapun ya?”
“Aku anggap itu sebagai pujian, terima kasih.”
Lia memutar bola matanya dan kembali fokus pada pemilihan ketua negara kecil ini. Mungkin dia sudah menyerah dengan sikapku yang tidak acuh. Yah, apakah aku peduli dengan itu? Sama sekali tidak.
“Aku hanya ingin membantumu, Sya” Suara Lia kembali terdengar, segara membuktikan bahwa dugaanku tentang dia menyerah itu salah. “Selama MPLS kau hanya sendirian, kau juga butuh teman.”
Mata rubah Lia bertemu denganku. Aku menangkap perasaan kekhawatiran dan kepedulian. Ah, sungguh dua kata yang lucu. Aku memalingkan pandangan dari tatapan Lia. “Aku baik baik saja sendirian.”
“Kamu tidak boleh begitu! Manusia itu makhluk sosial! Kita butuh orang lain dalam hidup kita! Apakah kau pernah belajar itu saat SD?”
“Oh tentu, tapi hanya untuk nilai IPS, bukan untuk kehidupan.” Aku menatapnya tajam.
“Kau tahu apa yang ku pelajari untuk kehidupan saat SD? Kemandirian, Lia.”
Bibir Lia terbuka untuk mulai perdebatan denganku. Namun, aku memotongnya sebelum ia berbicara.
“Dan ternyata pelajaran itu baru terpakai saat SMP sekarang, karena syukurlah teman temanku dulu sangat menyenangkan. Aku bahkan tidak merasa kesepian.”
“Kau baru disini seminggu dan sudah berkata seperti itu?”
“Aku tidak merujuk pada kehidupan ku di sekolah.” Aku membalasnya dingin, mengakhiri pembicaraan dengan memalingkan wajah.
Aku mengalihkan perhatian ke buku catatanku yang masih kosong. Dengan gesit, aku membuka halaman baru dan mulai menulis, mencoba menyelamatkan diriku dari perdebatan yang tak berujung ini.
Apakah ada kiat tentang cara bertahan di masa SMP?
Mungkin itu kalimat yang sempurna untuk memulai buku harianku. . Jujur saja, selain perpustakaan yang berfungsi sebagai oasis di tengah kekacauan ini dan seekor tupai yang tiba-tiba kutemukan di lapangan kemarin—yang mungkin satu-satunya makhluk yang lebih bingung daripada aku—aku masih belum yakin apa yang bisa membuatku merasa nyaman di sekolah ini. Tapi, siapa aku untuk menilai? Aku baru seminggu di sini, dan sepertinya, masih banyak yang bisa terjadi.
Sekolah ini punya reputasi yang cukup bagus (Katanya) dan kabarnya, OSIS di sini punya divisi yang fokus pada dokumentasi dan komunikasi. Wow, itu terdengar sangat menarik! Mungkin aku bisa mencobanya. Siapa tahu, bisa jadi cara yang tepat untuk mengisi waktu dan sedikit mengalihkan perhatian dari kebosanan yang melanda. Dan hey, ikut berbagai lomba juga bisa jadi cara untuk mempercantik portofolio—karena jelas, semua ini akan membantu saat mendaftar SMA unggulan. Dan, jika beruntung, mungkin aku bisa mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri!
Ya, aku tahu, impianku cukup tinggi. Tapi tidak ada salahnya menjadi seorang gadis yang ambisius, kan? Malah, itu justru membuatku lebih fokus. Aku tidak keberatan mengikuti banyak kegiatan dan lomba, bahkan jika itu berarti harus sedikit mengorbankan kehidupan sosialku. Jujur saja, bersosialisasi tidak terlalu penting saat ini… atau begitulah pikiranku.
Tapi… ah, mungkin aku perlu menarik pernyataan itu. Walaupun aku bukan penggemar berat bersosialisasi, aku sadar bahwa membangun koneksi dengan teman-teman sekelasku sangat penting. Terutama untuk masa depan, ketika dunia kerja menuntut kita untuk memiliki jaringan yang luas.
Oke, setelah kubaca ulang, sepertinya aku terdengar seperti seseorang yang hanya ingin memanfaatkan teman-temanku. Tidak, aku tidak sejahat itu. Aku hanya sedikit pragmatis.
Teman-teman bisa berarti banyak hal. Kita bisa belajar bersama, kerja kelompok, dan berbagi ide untuk tugas-tugas. Jika aku tidak mengerti suatu pelajaran, teman bisa menjadi guru gratis! Lagipula, kalau aku ingin bergabung dengan OSIS, tentu aku harus dikenal sebagai seseorang yang bergaul baik dengan orang lain. Membuat nama baik itu penting. Seakan aku adalah seleb yang mencoba mempertahankan popularitasnya.
Tapi wow… ternyata setelah kupikir-pikir lagi, semuanya lebih rumit daripada yang aku bayangkan. Apakah aku bisa menghadapi ini semua? Walaupun aku cukup percaya diri dengan kemampuanku, semua kemungkinan dapat terjadi. Bukannya memperluas pertemanan, aku malah berteman dengan seekor tupai yang sama bingungnya sepertiku. Yah, doakan saja itu tidak terjadi. Sayangnya aku bukan putri dongeng yang mempunyai super power khusus untuk berbicara dengan binatang . Jika iya, mungkin aku sudah bisa mengumpulkan semua hewan di sekitar sini untuk membantuku menghadapi drama SMP ini.
Oke, intinya? Aku akan berjuang selama SMP. Apapun tantangannya, akan ku tebas. Seakan aku membawa samurai kemana mana. Apakah aku dapat bertahan tiga tahun disini tanpa banyak masalah? Semoga itu yang terjadi!
We’ll see! Stay tuned!
Lampu menyala menusuk mataku. Aku meringis sambil menutup muka dengan selimut dan berguling menghadap dinding. Ayo lah, rasanya seperti aku baru memejamkan mata sejam yang lalu. Alarmku bahkan belum nyala!
“Cepatlah bangun, Asya!” Suara Mama membuatku terbangun seketika. Jika sudah Mama yang membangunkan, berarti aku tidak punya pilihan untuk tidak segera bangun. Dengan malas, aku duduk di tepi tempat tidur, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang terang. Suara langkah Mama terdengar di luar kamar, semakin jauh. Sebenarnya, aku ingin protes. Tapi protes kepada Mama? Aku tahu itu tidak akan berujung baik.
Suara air yang keluar dari keran memenuhi kamar mandi. Air dingin yang menyentuh kulitku langsung membangunkan sisa-sisa kantuk. Hari ini adalah hari terakhir matrikulasi, akan ada ujian untuk memastikan bahwa selama 2 minggu itu, kami telah memperhatikan dengan baik— dan aku tidak boleh lengah. Menjadi yang terbaik di kelas adalah caraku membuktikan bahwa aku masih bisa mengendalikan sesuatu dalam hidupku.
Setelah mandi dan memakai seragam, aku kembali menatap diriku di cermin. Entahlah, aku tetap tidak terbiasa melihat diriku dengan seragam SMP. Rok krem dan dasi krem. Lagi lagi, aku ragu dengan bentuk dasi ku.Aku menarik dasiku, mengencangkannya sedikit sebelum akhirnya menyerah dan meninggalkannya apa adanya. Lagipula, siapa yang peduli? Orang-orang pasti lebih sibuk memikirkan ujian terakhir matrikulasi daripada memperhatikan seberapa rapi dasiku.
Aku berjalan keluar kamar dan menuruni tangga, aroma nasi goreng sudah memenuhi rumah. Mama sibuk di dapur, wajahnya serius seperti biasa. Sarapan sudah tersaji di meja, tapi aku tidak terlalu lapar. Mungkin aku akan membawanya untuk bekal saja.
“Apakah kamu bisa membuat bekalmu sendiri?” Mama bertanya tanpa menoleh. “Sudah jam segini, Mama harus berangkat kerja,”
“Ya,” jawabku singkat sambil mengikat kantong plastik berisi nasi goreng yang kubuat secepat mungkin. Mama sudah berjalan keluar dapur, mengambil tas kerjanya tanpa berkata lagi. Seperti biasa, suasana pagi di rumah selalu terasa terburu-buru dan sunyi di saat yang bersamaan.
“Asya mau berangkat jam berapa?” Tanya Papa yang baru saja selesai menyiram tanaman di teras lantai dua.
“Setelah mengemas bekal,” jawabku sambil memasukkan nasi goreng ke dalam wadah makan. Suara langkah Papa terdengar dari atas, dan tak lama kemudian, ia muncul di dapur, mengusap tangan yang sedikit basah akibat menyiram tanaman.
Papa selalu terlihat tenang, tidak seperti Mama yang selalu terburu-buru. Tapi ketenangannya kadang terasa jauh—seperti jarak antara kami semakin lebar, meskipun dia selalu ada di rumah. Dulu, aku sering merasa nyaman berbicara dengan Papa tentang hal-hal kecil, tapi sekarang kami lebih sering berbicara soal hal-hal praktis, seperti jadwal sekolah atau apa yang perlu dibeli di toko.
“Kamu siap ujian hari ini?” tanyanya sambil tersenyum tipis, meski matanya sedikit sayu, mungkin lelah setelah begadang menyelesaikan pekerjaan kantornya. Papa sering bekerja larut malam akhir-akhir ini.
Aku mengangguk, mencoba tersenyum balik. “Ya, sudah belajar kok. Ini ujian terakhir.”
Papa menepuk bahuku ringan. “Kamu pasti bisa. Seperti biasa, kan?”
Aku tertawa kecil. “Ya, semoga.”
Suara motor Mama terdengar dari luar, menandakan dia sudah pergi lebih dulu. Suasana rumah kembali hening setelah itu. Yah, tidak terlalu hening jika ada Jio, adikku yang satu ini memang selalu dapat mencairkan suasana tegang kapanpun. Aku meraih tas sekolah dan bekal, lalu bersiap untuk berangkat.
“Ayo Pa!”
~~~~~~~
“Hai Asya! Apakah kamu sudah mengerjakan PR Matematika?” Suara ceria Lia mengalahkan volume lagu yang sedang kuputar. Aku tersenyum melihat rambut Lia yang selalu dihiasi dengan berbagai jepitan. Setelah mengeluarkan buku tulis dan memberinya ke Lia, aku kembali fokus dengan gawaiku. Setidaknya terlihat seperti aku fokus dengan ponselku, walaupun pikiranku menjalar kemana mana.
Hari ini adalah hari terakhir dan mulai minggu depan kelasku akan mengikuti jadwal normal, akan mulai membaur dan -semoga- akrab dengan kelas lain. Dan sepertinya menjadi diriku yang sekarang tidak menjadi pilihan. Jangan salah paham, bukan berarti aku sangat pasrah untuk berbaur. Toh, aku juga mulai merasa bahwa sifatku ini membosankan. Sudah saat untuk menggantinya.
Aku menghembus napas panjang dan memperhatikan Lia, yang baru saja selesai menyalin PR dan sedang memperbaiki jepitan rambutnya.
“Apakah ada bunga baru yang tumbuh di rambutmu?” Aku tertawa sambil memainkan jepitan bunganya yang sepertinya semakin hari semakin banyak.
“Apakah kamu suka?” Senyum manis Lia mengembang mendengar komentarku. “Aku sengaja membelinya untuk merayakan hari terakhir matrikulasi kita,”
“Yang benar saja, merayakan karena kita akan mengikuti jadwal normal dan pulang sore?”
Lia menepuk pundakku dengan tatapan kesal. “Ayolah! Pasti seru mengikuti jadwal biasa, aku ingin sekali bertemu para senior,” Matanya terlihat berbinar. “Lagipula, minggu depan kita merayakan hari kemerdekaan dulu! Tenang saja, Sya!”
Ah ya, kita akan menghabiskan 3 hari untuk merayakan hari kemerdekaan (4 jika termasuk hari upacara) sebelum memulai. Kudengar lomba-lombanya ada antar-kelompok, bukan antar-kelas. Aku mengeluh dalam hati memikirkannya. Yang benar saja! Kita baru dua minggu di sini dan diharapkan untuk ‘akrab’ dengan para senior? Ya, aku akan mengecewakan.
Aku memperbaiki ikat rambutku sembari mendengarkan Lia kembali mengoceh tentang perayaan kemerdekaan di kompleksnya. Sial, ikat rambutku putus.
“Sial,” gumamku pelan. Lia menoleh, menghentikan ocehannya sejenak.
“Kamu kenapa, Sya?
“Ini,” aku mengangkat ikat rambut yang putus itu, “baru dua minggu, dan udah putus.”
Lia tertawa kecil, seolah masalahku sepele. “Sudah, nanti kita beli lagi. Kalau kamu mau, aku punya yang lebih lucu!” Dia menyodorkan sebuah ikat rambut berwarna pastel dengan hiasan bunga yang serasi dengan jepitannya.
“Terima kasih, tapi aku rasa ikat rambut bunga-bunga kurang cocok untukku,” kataku sambil tersenyum tipis. Aku selalu merasa Lia dan aku adalah dua dunia yang berbeda. Dia ceria, penuh warna, sementara aku lebih suka dengan hal-hal yang sederhana dan cenderung gelap.
Aku mencoba menyisir rambutku dengan tangan, berharap tidak berantakan. Pikiranku kembali melayang ke jadwal baru yang akan dimulai minggu depan. Merayakan hari kemerdekaan seharusnya jadi hal yang menyenangkan, tapi entah kenapa aku merasa sedikit khawatir. Membaur dengan kelas lain dan senior… Rasanya seperti tugas yang berat.
“Eh, kamu kenapa, sih? Kok tiba-tiba diem?” Lia menyenggolku, menarikku kembali ke dunia nyata. “Kamu tidak semangat ikut lomba-lomba nanti?”
Aku mengangkat bahu. “Tidak tahu, mungkin aku belum siap aja buat akrab sama orang-orang baru. Senior, apalagi.”
“Ah, jangan khawatir! Pasti nanti juga seru, kok. Lagipula, kita kan satu kelompok. Jadi kamu tidak perlu khawatir sendirian.” Lia menepuk pundakku dengan semangat. Aku tersenyum, meski masih ada keraguan di dalam hati.
Sejujurnya, aku sering merasa seperti hidup di dua dunia. Di satu sisi, ada Asya di rumah—yang selalu berusaha tidak menarik perhatian, menutupi masalah dengan senyuman palsu. Di sisi lain, ada Asya di sekolah—yang dikenal pintar, berprestasi, tapi jarang benar-benar membuka diri. Kadang rasanya seperti aku memakai dua topeng sekaligus, tanpa tahu siapa diriku yang sebenarnya.
Tapi mungkin Lia benar. Mungkin ini waktunya aku berubah sedikit. Menjadi lebih terbuka, lebih berani. Lagi pula, aku mulai merasa bahwa sikapku yang tertutup ini membosankan. Aku sudah terlalu lama menjadi ‘Asya yang pendiam’.
Tiba-tiba, suara bel berbunyi, menandakan bahwa ujian akan segera dimulai. Aku dan Lia segera membereskan barang-barang kami dan bergegas masuk ke ruang kelas. Aku memperhatikan wajah-wajah di sekitarku—mungkin mereka juga merasakan hal yang sama, sedikit cemas tapi penuh harapan tentang apa yang akan datang.
Ketika aku duduk di bangku, aku merasakan dorongan aneh untuk mencoba sesuatu yang baru. Mungkin, kali ini, aku akan mencoba menjadi sedikit lebih… hidup. Siapa tahu, mungkin aku akan keluar dari cangkang ini dan menjadi bintang utama dalam drama yang penuh warna ini—atau setidaknya mencoba untuk tidak terlihat seperti patung di pojok ruangan.
Jadi, kenapa tidak? Mungkin aku bisa berani mengangkat tangan saat guru bertanya, bukannya hanya menatap papan tulis seolah-olah itu adalah lukisan Mona Lisa yang sangat membingungkan.
Lembar ujian dibagikan, dan aku menarik napas panjang. Ini adalah saat yang menentukan. Meski rasa gelisah masih ada, aku tahu ini adalah caraku untuk mengendalikan sesuatu di hidupku—di tengah semua yang terasa di luar kendaliku, nilai-nilai akademik ini adalah sesuatu yang bisa kupastikan tetap stabil.
Satu soal demi soal aku kerjakan dengan tenang. Angka, rumus, mengisi kalimat rumpang, grammar bahasa inggris, semua terasa familiar, seperti sahabat lama yang selalu bisa diandalkan. Aku merasa baik-baik saja—sampai di soal terakhir.
Aku mencoba menghitung, menggambar diagram, tapi jawabannya terasa tidak logis. Waktu terus berjalan, dan aku mulai merasa panik. Tidak mungkin aku gagal di soal terakhir ini. Tidak sekarang, ketika aku sudah sejauh ini. Aku tidak akan membiarkan soal terakhir ini menghancurkan reputasi yang sudah kubuat selama dua minggu itu.
“Asya, fokus,” aku berbisik pada diriku sendiri dan mulai menulis jawaban berdasarkan ingatanku. Pas! Sedetik setelah aku menyelesaikan soal tersebut, waktu mengerjakan sudah selesai. Aku tersenyum bangga melihat hasil pekerjaanku.
Setelah mengumpulkan lembar ujian, aku merasa campur aduk. Ada kegembiraan karena berhasil menyelesaikan ujian dengan baik, tetapi juga ada rasa lega yang mengalir dalam diriku. Akhirnya, semua usaha dan belajar selama dua minggu terakhir terbayar. Meski tidak ada yang bisa memastikan hasilnya, setidaknya aku telah melakukan yang terbaik.
Seusai melangkah keluar ruangan ujian, aku memasang salah satu airpod dan mulai berjalan ke kelas. Tanganku sibuk mencari lagu yang pas untuk situasi sekarang di spotify. Namun sebelum aku benar benar menemukannya, seseorang menarik lenganku menuju gedung SMA.
“Asya! Apakah kau lupa?! Hari ini kita ada rapat untuk minggu depan!” Lia berteriak sambil menunjukan pesan dari kak Farel.
Aku hanya pasrah dan berlari mengekor Lia yang sudah jauh di depanku. Sekali kali mengutuk diriku sendiri, mengapa tadi aku tidak berjalan lebih cepat ke kelas? Oh, tunggu, mungkin karena aku sedang berusaha menjalani hidup yang lebih hidup, bukan? Walaupun, pada kenyataannya, itu tidak akan mengubah apa pun.
~~~
“Ini.sangat.mendebarkan,” Lia tersenyum lebar saat kita duduk di kelas 10 untuk rapat kelompok. “Aku ingin sekali ikut tarik tambang dan lomba lari estafet! Kamu mau ikut apa?”
Aku tersenyum melihat antusiasme Lia. “Aku belum tahu, mungkin aku bantu di bagian persiapan aja,” jawabku sambil membuka buku catatan, mencoba terlihat santai. Jujur, aku merasa sedikit gugup dengan semua acara ini, apalagi kalau harus ikut lomba fisik.”
“Ayolah.. Ini perayaan kemerdekaan pertama kita di sekolah ini,” Dia menatapku penuh harap. “Kamu bisa coba yang lebih santai kalau mau—seperti lomba menghias atau… fashion show!”
“Yang benar saja!” Aku tertawa mendengar saran Lia, namun dia tidak terlihat senang dengan reaksiku. “Maksudku, di kelompok kita ada banyak yang lebih cantik, termasuk kamu! Aku tidak-”
“ASYA!” Lia berteriak sembari mengangkat tanganku tinggi tinggi. “Asya saja! Dia cukup pintar di kelasku dan pasti akan dapat memenangkan kelompok kita!!”
Sial! Aku terlalu fokus mengobrol dengan Lia hingga tidak memperhatikan bahwa kak Farel yang sedang menanyakan kandidat model untuk fashion show. Dan situasi tidak menjadi lebih baik, karena sepertinya anggota kelompokku setuju.
“Apa?! Aku?” Aku menatap Lia dengan mata terbelalak, berharap dia hanya bercanda, tapi senyumnya semakin lebar. Kak Farel, ketua kelompok kami, mengangguk sambil tersenyum tipis.
“Bagus, Asya. Jadi, sudah diputuskan ya, kamu yang akan jadi model untuk fashion show.”
Aku ingin protes, ingin menjelaskan bahwa aku sama sekali tidak cocok untuk ini, tapi sepertinya tidak ada gunanya sekarang. Semua mata di kelompok kami sudah tertuju padaku, dan mereka sepertinya setuju dengan keputusan itu.
“Tenang saja, Asya,” tambah Kak Farel. “Ini tidak akan sesulit yang kamu kira. Kita punya banyak waktu untuk latihan, dan kamu pasti bisa.”
Lia menyenggolku pelan. “Lihat, semua orang mendukungmu! Ini kesempatan yang bagus, kamu pasti akan terlihat keren di atas panggung nanti.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Ini jelas bukan hal yang pernah kubayangkan akan kulakukan, apalagi di depan begitu banyak orang. Tapi menatap senyum penuh harapan di wajah Lia dan tatapan penuh percaya diri dari Kak Farel, aku merasa tak punya pilihan lain.
“Baiklah,” kataku akhirnya. “Aku akan melakukannya.”
________*ੈ✩·₊˚༺☆༻*ੈ✩·₊˚____________________*ੈ✩·₊˚༺☆༻*ੈ✩·₊˚____________
Hari ini aku resmi terjebak dalam sesuatu yang tak pernah kuduga!
Model. Fashion. Show. Apakah kamu bisa percaya itu?! Itu semua ide Lia!
Lia, dengan semangatnya yang berlebihan, tiba-tiba mencalonkan aku untuk jadi model fashion show di depan seluruh kelompok—tanpa bertanya dulu! Yang lebih parah, semua orang, termasuk Kak Farel, ketua kelompok kami, setuju begitu saja. Sumpah, aku benar-benar tidak siap untuk ini. Aku sebenarnya ingin protes, ingin bilang bahwa aku tidak cocok jadi model. Aku? Berdiri di atas panggung, jadi pusat perhatian? Rasanya tidak mungkin. Tapi semua mata di kelompok sudah tertuju padaku, dan mereka semua tampak yakin kalau aku bisa melakukannya. Bahkan Kak Farel bilang kami punya waktu untuk latihan, seolah-olah itu akan membuatku merasa lebih baik.
Tapi bohong kalau aku bilang, bahwa aku tidak menantikan hari H nya. Sejujurnya, aku masih merasa canggung dan gugup membayangkan diriku berjalan di atas panggung di depan begitu banyak orang. Tapi mungkin ini waktunya aku mencoba sesuatu yang baru, keluar dari zona nyamanku—seperti yang sering kupikirkan belakangan ini. Siapa tahu, mungkin ini awal dari diriku yang lebih berani? Entahlah, yang pasti, aku tidak pernah menyangka bahwa perayaan 17-an bisa membawa kejutan sebesar ini. Semoga saja aku tidak membuat diriku malu di depan semua orang nanti.
Sekarang, saat aku menulis catatan ini, aku merasa campur aduk. Di satu sisi, aku ingin tampil maksimal dan membuat kelompok ku bangga. Di sisi lain, aku takut semua ini berakhir menjadi bencana. Tapi entah bagaimana, aku tahu aku akan terus berusaha. Lagipula, tidak ada salahnya mencoba. Semoga semua ini berakhir dengan baik!
Ah iya, aku telah menyelesaikan tahap matrikulasi secara resmi dengan melaksanakan ujian terakhir. Ternyata bisa kukerjakan dengan baik.
Kreator : Naurah Harimurti
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Remaja
Sorry, comment are closed for this post.