“Selamat pagi, Asya!”
Aku menoleh dengan sedikit bingung, hanya untuk melihat seorang teman sekelas –yang biasanya bahkan tidak tahu aku ada– menyapaku seolah kami sudah berteman sejak lama.
Aku tidak pernah mengira bahwa satu piala dan beberapa foto di atas panggung bisa mengubah begitu banyak hal. Dalam waktu semalam, aku yang biasanya hanya menjadi bayang-bayang di kelas, tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Teman-teman yang sebelumnya tidak pernah berbicara lebih dari satu kalimat kini menyapaku dengan semangat saat aku melangkah masuk kelas.
Aku tetap setia pada sepasang earphone yang selalu menjadi pelindungku dari dunia luar, namun suasana ini—orang-orang yang tersenyum dan melambaikan tangan—membuatku merasa sedikit… canggung. Rasanya seperti berjalan di atas panggung lagi, tapi kali ini tanpa lampu sorot atau alasan jelas.
Walau begitu, ini tetap terasa berbeda dibandingkan pengalaman berjalan di antara para senior sambil memutar lagu favoritku dengan volume penuh. Saat itu, aku hanya berusaha menghindari tatapan mereka. Kini, aku menjadi objek perhatian mereka. Sungguh ironis.
“Pagi yang sangat ramai ya. Sang model tidak niat, tapi tetap menang juara dua.” Suara yang sangat ku kenal menerobos musik yang sedang kudengarkan.
“Selamat pagi juga,” Aku menjawab sambil melepas earphone.
“Sepertinya kau sudah mulai terkenal, Asya.” Lia menepuk pundakku dan berjalan di sebelahku.
“Kau tahu Julia? Dia semalam menanyakan banyak hal tentang kamu. Kau mendapatkan satu penggemar!”
Aku meringis mendengar kalimat Lia.
“Sayangnya, menjadi selebritas bukan menjadi tujuan hidupku. Terutama, selebritas yang terkenal hanya karena berjalan di atas karpet merah dan mengayunkan pinggangnya.”
“Hei, kau mengatakan itu seakan tidak mengenal para model terkenal yang kaya raya. Bukankah itu bagus?”
Langkah kakiku berhenti sejenak dan aku memasang pose “oh, ya?” sebelum akhirnya melanjutkan lagi perjalanan menuju kelas, mengabaikan Lia yang mengekor di belakangku.
“Ayolah, Asya. Mungkin semua popularitas ini akan membuatmu sadar, bahwa kau jauh lebih baik dari yang kau pikirkan.” Lia menyenggol lenganku.
“Yah, semoga semua paket popularitas ini tidak datang dengan drama gratis.” Aku tertawa kecil. Setengah berharap, setengah bercanda.
“Bukankah barang gratis adalah hal bagus? Lagipula, drama, sekolah dan popularitas adalah combo yang tidak bisa dihindari.”
Aku memutar bola mata sambil tersenyum. “Kau benar. Apa artinya hidup di sekolah tanpa merasa pusing karena drama remaja, bukan?”
Lia terkekeh.
“Lihat? Kau mulai menikmatinya. Jangan khawatir, aku akan ada di sini untuk mengingatkanmu bahwa popularitas itu bukan segalanya… Aku teman yang sangat baik, bukan?”
Aku tertawa.
“Baiklah, Lia. Tapi kalau ini menjadi terlalu rumit, kau harus ikut menangani drama itu. Sebagai temanku yang baik.”
“Dengan senang hati. Lagi pula, aku butuh hiburan.” Lia mengedipkan mata.
Kami berjalan bersama menuju kelas, sekali kali membalas sapaan murid lain. Rasanya aneh, tapi bukan jenis aneh yang membuatku ingin kabur ke balik layar seperti biasanya. Beberapa sapaan datang dari teman kelompokku saat fashion show, dan sisanya dari teman-teman Lia yang tampaknya mendadak menganggapku bagian dari lingkaran mereka.
Aku segera membesarkan volume saat mendengar intro lagu Girls Like Us karya Zoe Wees. Entah kebetulan atau tidak. Namun sepertinya semesta –yang seakan selalu melawanku– mengerti pikiranku sekarang.
Popularitas ini terasa seperti mantel yang terlalu besar; tidak nyaman, tidak pas, dan terlalu mencolok untuk aku yang mempunyai tujuan untuk lulus sekolah ini tanpa drama.
Namun, di balik ketidaknyamanan itu, ada sedikit rasa yang berbeda. Karena aku merasa dihargai. Lihatlah, aku hanya berjalan di atas panggung dan tiba tiba semua orang bersujud padaku! (Ya, kalimat itu bersifat hiperbola. Tolong jangan anggap aku adalah seseorang yang narsistik dan berharap untuk dipuja. Menjijikan.) Dan itu membuatku merasa bahwa mungkin sudah saatnya diriku berubah. Di rumah, aku tidak pernah benar-benar merasa dihargai. Bukan berarti mereka tidak peduli, tapi penghargaan? Itu cerita lain.
Di sekolah, hanya dengan melangkah di atas panggung dan mengenakan gaun, aku mendapatkan lebih banyak tepukan tangan dalam satu hari daripada pujian yang pernah kudapatkan di rumah sepanjang tahun. Ironis, bukan? Kadang-kadang aku bertanya-tanya, apakah aku terlalu berharap? Atau memang benar, keluarga itu bukan tempat di mana kau mencari validasi?
Namun, aku tahu satu hal. Popularitas ini, meskipun datang tiba-tiba dan terasa canggung, memberiku rasa percaya diri yang baru. Dan mungkin, hanya mungkin, aku bisa memanfaatkannya untuk membuktikan sesuatu. Tidak hanya pada teman-teman di sekolah, tetapi juga pada keluargaku—bahwa aku lebih dari sekadar anak yang mereka lihat setiap hari di meja makan.
~~~~~~
Masa kini.
Tanganku membalik halaman buku catatan tua yang penuh dengan lirik lagu dan coretan acak tentang keinginanku untuk berubah. Tulisan itu terlihat berantakan, tapi setiap goresannya mengingatkanku pada hari-hari ketika aku hanya berani bermimpi untuk menjadi seseorang yang lebih baik.
Aku terkekeh pelan, hampir tidak percaya dengan versi diriku yang dulu. Si Asya yang canggung, yang bersembunyi di balik earphone dan berjalan seperti bayang-bayang di koridor sekolah. Si Asya yang berpikir popularitas adalah hal yang tidak akan pernah menyentuhnya, apalagi menjadi sesuatu yang—anehnya—ia pelajari untuk diterima.
Sekarang, aku berbaring di kasur. Menatap dua jas OSIS berbeda yang kudapat selama menjabat dua periode. Menatap sertifikat lomba pidato yang ku bingkai sebelah sertifikat beberapa lomba lainnya. Menatap buku tulis yang dulu kupakai untuk latihan olimpiade matematika. Dan terakhir, menatap sebuah bingkai yang berisi foto teman temanku.
Semua itu tidak akan kudapatkan jika aku tidak merubah diriku sendiri. Jika aku tetap menjadi Asya yang menyendiri dan pendiam. Dan mungkin dulu aku sempat ragu atas keputusanku untuk keluar dari zona nyamanku. Tapi setelah melihat semua kenangan yang kudapat sekarang, aku benar benar bersyukur dan berterima kasih pada diriku karena berani melangkah dari kotak tersebut.
Agak aneh menaruh bagian sentimental –yang biasanya diletakkan di akhir– di tengah-tengah sebuah cerita. Namun, what can I say? Aku adalah seseorang yang emosional.
Dan ironisnya, ini semua mulai dengan sesuatu yang tidak pernah aku minta—popularitas mendadak dari sebuah fashion show yang bahkan aku ikuti setengah hati.
Aku kembali membalikkan halaman dan mulai membaca catatan harian berikutnya. Sembari membiarkan aliran sungai nostalgia mengalir di pikiranku.
~~~~~
Suasana rumah yang ramai terdengar dari balik pintu kamar, sementara aku sedang berdiri di depan cermin menata rambut. Ya, inilah yang dikatakan Lia.
“Jika kamu ingin berubah, aku sarankan mengganti gaya rambutmu. Gaya tipikal Asya yaitu kuncir kuda cukup membosankan.”
Sejumlah ikat rambut tersebar di lantai. Sebagian muncul entah dari mana di rumah, sebagian lagi disumbangkan oleh Lia dengan harapan bahwa aku dapat menjadi sebuah bintang dalam drama remaja ini. Aku? Jujur saja, ini semua terasa seperti level ekstra dari kerumitan hidup yang tidak pernah aku minta. Biasanya, aku sudah siap 30 menit sebelum berangkat. Sekarang? Aku malah terjebak di depan cermin, mempertimbangkan apakah hidup ini layak dijalani dengan poni ke kiri atau ke kanan.
Kurang dari lima menit kemudian, aku menyerah. Rambut tergerai yang hanya disisir jadi pilihanku. Tidak istimewa, tapi cukup untuk tidak dipanggil ke ruang BK karena “penampilan kurang rapi.” Mataku kemudian tertuju pada kotak kacamata di meja belajar—benda yang secara teknis seharusnya menyelamatkan penglihatanku, tapi lebih sering berfungsi sebagai dekorasi meja.
Anggap saja aku aneh, tapi aku jarang sekali membawa kacamata ke sekolah. Bukan karena aku ingin terlihat keren atau apa, tapi karena… ya, mari kita akui saja, penglihatan buram membuat hidup lebih menarik.
Namun sejak pelajaran normal dimulai kemarin, aku seakan disiksa untuk mencatat apa yang ditulis guru di papan. Jangankan mencatat, melihat tulisannya saja sudah seperti tugas yang hampir mustahil untuk seorang siswa bangku belakang dengan penglihatan buruk ini.
Aku menatap kotak kacamata hitam tersebut sebentar. Setelah beberapa saat penuh drama—yang sejujurnya tidak perlu—aku akhirnya membuka kotak itu dan memakai kacamatanya.
Dan voila! Dunia tiba-tiba menjadi jelas, seakan aku baru saja diberi kemampuan super untuk melihat detail-detail yang selama ini aku abaikan. Ternyata, menggunakan alat bantu penglihatan memang benar-benar membantu. Benar benar menakjubkan.
Sebelum keluar pintu kamar dan menuju dunia realitas, aku kembali ke depan cermin dan mengamati refleksi diriku.
Jujur saja. Selain lomba fashion show kemarin, ini salah satu kejadian langka dimana seorang Asya berpikir bahwa dirinya menarik. Aku tetap yakin bahwa aku tidak cukup cantik untuk menjadi model terkenal, namun cukup untuk membuatku merasa seperti tokoh utama dalam sebuah drama remaja; yang sudah pasti kulalui.
“Jadi, ini yang dirasakan orang-orang yang nyaman dengan dirinya sendiri?” Aku bergumam, setengah bercanda. Tidak buruk. Sama sekali tidak buruk.
Aku meraih tas, menatap diriku sekali lagi di cermin, dan tersenyum kecil, sebelum membuka pintu kamar.
PRANG!!!
“Jio! Sudah Mama bilang; bawa piringnya hati-hati! Kamu benar-benar merepotkan saja!” suara Mama terdengar penuh frustasi, bercampur dengan isak kecil dari Jio.
Aku mendekati ruang tengah, melihat Jio duduk di lantai dengan ekspresi bingung, tangannya gemetar di dekat pecahan piring. Jio, adikku yang berusia empat tahun, selalu penuh energi.
Namun, energinya sering kali berubah menjadi kekacauan kecil seperti ini. Dia balita yang hiperaktif, dengan kebutuhan khusus yang membuatnya sulit fokus pada hal-hal sederhana.
“Sudah Mama bilang, jangan bawa sendiri. Lihat sekarang!” katanya sambil mengumpulkan pecahan piring dengan gerakan cepat.
“Ma…” aku mencoba memanggil, tapi Mama melambaikan tangan, menyuruhku diam.
Aku melihat Jio, yang sekarang mulai menangis, bukan karena piring yang pecah, tetapi karena nada suara Mama yang keras. Ini bukan pertama kalinya, tapi bukan berarti aku bisa melewatinya dengan sikap biasa biasa saja.
Kepala Mama menoleh ke arah jam, sebelum akhirnya berdiri dan melemparkan plastik berisi pecahan kaca ke sebelah Jio. “Asya, bantulah Jio! Jangan hanya melamun disana, apakah kau tidak lihat kalau Mama sudah telat kerja?!”
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiran yang mulai memanas. Jio masih duduk di lantai, memegang bonekanya erat-erat, sementara plastik berisi pecahan kaca tergeletak di sebelahnya seperti bukti nyata kekacauan pagi ini.
Setengah dari diriku ingin memeluk Jio, meyakinkannya bahwa ini bukan salahnya. Namun, setengah lagi merasa kesal—tidak pada Jio, tapi pada situasi yang seolah tidak pernah berubah.
Aku jongkok di sebelahnya, mengulurkan tangan untuk mengambil plastik itu. “Hei, tidak apa-apa. Lain kali, biar Kakak yang bawa, ya?” suaraku lebih datar dari yang kuinginkan.
Jio hanya menatapku dengan mata yang masih berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangis. Wajahnya masih penuh rasa bersalah, meskipun aku tahu dia bahkan mungkin tidak sepenuhnya mengerti apa yang salah.
Sambil membersihkan sisa-sisa kekacauan, pikiranku terus berputar. Kenapa harus seperti ini setiap pagi? Kenapa aku harus merasa kesal karena hal sekecil ini? Mataku mulai berkaca-kaca, membuat buram penglihatanku yang sudah kelas karena kacamata. Dan ini saat saat dimana aku mengutuk diriku sendiri karena mudah menangis.
“Sudahlah, Asya. Jangan lemah.” Aku bergumam dalam hati.
Saat selesai, aku meraih tangan Jio dan membawanya ke kamarnya. “Main di sini dulu, ya. Kakak harus pergi ke sekolah,” kataku sambil tersenyum kecil, meski hatiku terasa berat.
Namun saat aku hendak keluar dan membuka pintu, aku mendengar isakan Jio lagi. “Kakak tidak mau temani Jio? Jio takut kak,”
Aku terdiam sejenak, menatap Jio yang duduk di tempat tidurnya dengan wajah penuh air mata. Lihatlah dia, kecil dan rentan, dengan segala ketakutannya yang begitu murni dan nyata.
“Mama sebentar lagi berangkat kerja kok, dan kakak juga hanya sebentar,” Aku duduk di sebelah Jio dan mengusap kepalanya. “Bik Wulan akan menemani Jio, ya,”
Jio menghapus air matanya dan tersenyum kecil. “Jio mau main di taman nanti,”
“Bersama Bik Wulan ya? Kakak sudah harus berangkat sekarang,” Aku mengecup kepala Jio sebelum berjalan keluar. “Jio main disini saja ya, sambil menunggu Bik Wulan,”
Aku berjalan melewati lorong dan menemukan papa sudah menungguku di teras dengan korannya.
Papa menoleh dari korannya ke aku. Seakan bertanya; Asya sudah siap? Aku hanya mengangguk dan menatap papa yang berdiri untuk mengambil mobil. Apakah papa tahu kejadian tadi? Entahlah. Apakah papa juga akan menenangkanku seperti aku menenangkan Jio? Entahlah.
Kurang dari semenit kemudian, mobilku sudah melaju menuju sekolah. Suara sunyi terasa sangat berisik. Tak seperti biasanya; dimana Papa mengajakku ngobrol tentang ujian, jadwal sekolah atau sekadar menanyakan apakah uang jajanku masih cukup.
“Papa,” aku mencoba memulai percakapan, meskipun rasanya itu sia-sia.
“Hmm?” jawab Papa, tanpa mengangkat pandangannya dari jalan raya.
Aku menghela napas. “Mama… tadi agak marah lagi.”
Papa hanya mengangguk. “Iya, papa tahu.”
Itu saja. Tidak ada pertanyaan lebih. Tidak ada adegan menenangkan. Apalagi menghibur. Mungkin Papa sedang lelah dan tidak tertarik untuk mengobrol. Mungkin aku terlalu berharap pada percakapan kecil yang tidak pernah datang, tapi aku tetap berharap ada sesuatu yang lebih dari sekadar perjalanan diam kami.
Mobil kami melaju melalui jalan yang sama setiap pagi, dan Papa tetap diam, memusatkan perhatian pada jalan. Kadang-kadang, aku ingin mengajak berbicara, tapi aku merasa seperti itu hanya akan menambah kebisuan yang ada. Papa tidak bertanya tentang apa yang terjadi di sekolah, atau bagaimana perasaanku, atau apa yang ada dalam pikiranku. Kami berdua seakan terjebak dalam kebisuan yang tak pernah berujung.
Aku memandang ke luar jendela, berusaha mencari kenyamanan dalam rutinitas yang sudah lama kami jalani. Setidaknya aku masih mempunyai earphone yang sedari tadi terpasang di telinga kiri, memutar lagu Family Portrait karya Pink.
Can we work it out? (Can we?)
Can we be a family? (Can we?)
I promise I’ll be better (I promise)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bangungan sekolah sudah terlihat. Aku sudah membuka sabuk pengaman sebelum Papa memberhentikan mobil.
“Pulang jam berapa, Asya?” Papa bertanya sebelum aku keluar mobil.
“Seperti biasa, Pa.” Aku menjawab tanpa menoleh. Toh, aku yakin Papa juga sedang melihat ponselnya, bukan aku.
“Baiklah, belajar yang pintar ya.” katanya dengan suara datar.
Aku hanya mengangguk, menutup pintu dengan pelan, dan berjalan menuju gerbang sekolah. Di belakangku, suara mobil Papa mulai menjauh, meninggalkan keheningan yang terasa lebih berat daripada suara klakson kendaraan lain di jalan.
Langkahku melambat sejenak. Aku menoleh sedikit, berharap mungkin Papa menunggu sebentar atau sekadar menatapku pergi. Tapi mobilnya sudah menghilang di tikungan, mungkin Papa ada tugas mendesak; yang jauh lebih penting daripada aku.
Perlahan aku melepas kacamata bulat yang tadi membuatku merasa hari ini aku akan melalui hari dengan sifat yang baru. Yah, sepertinya kejadian tadi menjadi pertanda; tidak hari ini, Asya. Apa boleh buat. Tangan aku meraih tempat kacamata yang berada di samping tas.
Entah apa rencana semesta untukku sehingga aku lupa untuk membawa tempat kacamata. Kukira kejadian adalah petunjuk bahwa hari ini aku akan tetap menjadi sosok yang membosankan. Petunjuk menyesatkan. Aku mengumpat dalam hati dan menatap kacamataku yang sudah terlepas.
Aku menggenggam kacamata itu lebih erat, lalu memasangnya kembali. “Tidak apa-apa,” bisikku pada diri sendiri. “Hari ini, aku Asya yang berbeda.”
Kepalaku mendongak untuk menatap gedung sekolah dan menghela napas untuk sekian kalinya. Movie set untuk drama kehidupanku dimana aku dapat memilih tokoh yang ingin kumainkan.
Di saat hidup aku seakan tidak terkendali, setidaknya aku bisa mengendalikan diriku sendiri di sekolah. Mengendalikan tokoh Asya di sekolah.
Masalah di rumah tidak punya tempat di sini. Tidak ada piring pecah, tidak ada tangisan Jio, tidak ada keheningan Papa. Di sini, aku memutuskan peran apa yang akan kuperankan hari ini. Dan hebatnya, peran apa pun yang kumainkan tetap akan diterima. Aku bisa menjadi siapa saja, dan tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar hidupku.
Setidaknya di sekolah, aku tahu cara menulis skenarionya. Dan tidak seperti di rumah, di sini aku bisa memilih akhir yang bahagia—atau setidaknya, akhir yang terlihat bahagia.
“Asya!” Suara Lia yang sedari tadi berjalan di belakangku membuyarkan lamunanku. “Aku sudah memanggilmu dari tadi! Earphone mu itu sangat menganggu, kau tahu?”
Aku terkekeh mendengar kritik Lia terhadap barang kesayanganku. “Ada apa?”
“Astaga, kamu tidak dengar? Aku ingin meminjam PR bahasa inggris! Semalam aku hanya dapat mengerjakan 4 soal!”
Aku menatapnya tidak percaya sambil mengeluarkan buku bahasa inggris. “Yang benar saja? Dari 50 soal?”
Lia mengangkat bahunya dan segera membuka buku tulis untuk membacanya. “Hei, apakah aku terlihat seperti orang yang menggunakan bahasa inggris setiap hari?”
“Kau lebih terlihat seperti orang yang menggunakan bahasa binatang setiap hari,” kataku, bercanda tentunya.
“Ya, dan aku akan menjadi putri salju yang dirawat oleh tujuh kurcaci.” Lia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari buku tulis.
Kita berjalan bersama menuju kelas, mengobrol tentang apa aja. Lia di sebelahku sibuk bertanya tentang rumus grammar dan aku menjawab ala kadarnya. What can I say? Aku tidak perlu menghafal rumus-rumus seperti itu! Apakah aku berbicara bahasa inggris sambil berpikir; “sebentar, setelah subject I, selanjutnya… verb? atau adjective? mungkin to be?”
Sesampainya di kelas, Lia segera menuju mejanya dan mengeluarkan alat tulis untuk mulai menyalin. Kembali sibuk bertanya bagaimana aku mendapatkan jawabannya. Memakai grammar apa. Apakah ejaan dia sudah benar. Dan apa perbedaan antara sun dan son.
Aku hanya bisa tertawa kecil melihat kegigihan Lia, meskipun semalam dia tampaknya lebih memilih tidur daripada mencoba menyelesaikan PR-nya.
“Kau tahu, kalau kau mengerjakannya sendiri, mungkin kau tidak perlu panik seperti ini setiap pagi,” kataku sambil duduk di bangkuku.
Lia mengangkat kepala sebentar dari buku tulisnya, memberikan tatapan yang jelas-jelas mengatakan “Ya, benar, seperti itu akan terjadi.”
“Tidak semua orang bisa jadi jenius seperti Asya, tahu?” katanya sambil memutar matanya dengan dramatis.
“Jenius?” Aku mengangkat alis, merasa sedikit tersanjung meskipun aku tahu dia sedang sarkastik. “Aku hanya mengerjakan PR tepat waktu, itu saja.”
Lia mendesah sambil melanjutkan menulis. “Tentu saja. Dan aku hanya seorang putri salju yang punya waktu untuk tidur delapan jam semalam.”
Aku tertawa, mengambil earphone dari tasku, dan menyelipkannya di telinga kanan. “Kalau begitu, Putri Salju, jangan lupa memberi makan tujuh kurcaci di rumahmu sebelum bel berbunyi.”
Tanganku sibuk memainkan ponsel, memilih lagu yang akan kuputar selanjutnya.
“Hai, Asya.” Sebuah suara yang tidak asing namun tetap tidak bisa kukenali terdengar menerobos musik yang sedang kuputar.
Aku menoleh dan melihat Rinai melambaikan tangan dari mejanya. Rinai ini teman sekelas yang tidak terlalu dekat denganku. Kenapa? Entahlah, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku tidak yakin untuk menjadi sahabatnya. Bisa jadi kosakatanya yang menurutku sangat terbatas. Atau seragamnya yang selalu satu ukuran lebih kecil dibanding ukuran sepantasnya.
Namun, aku ingin menjadi Asya yang berbeda. Mungkin ini adalah langkah pertama; tidak menghakimi seseorang terlalu cepat, yang sangat berkebalikan dengan sifat asliku.
“Ya, ada apa?” Aku tersenyum kecil, walau aku yakin sekali kalau senyumanku lebih merip seringai.
“Aku hanya mau bilang, kalau kemarin kau benar benar menakjubkan! Kau terlihat sangat percaya diri di atas sana!” Rinai mulai mendekat.
Sebelah alisku terangkat mendengar pujian Rinai. “Terima kasih?”
“Kau tahu tidak? Kemarin aku sampai menceritakan pada orangtuaku tentang kamu!” Rinai menarik sebuah kursi ke dekat mejaku dan duduk. Jujur saja, aku cukup takjub dengannya yang melakukan aksi itu dalam satu gerakan mulus. “Eh? Kamu pakai kacamata?”
Aku melepas salah satu earphone-ku dengan canggung. “Terlihat aneh, ya?”
“Tidak sama sekali! Malah kelihatan lebih pintar!” Rinai menjawab dengan nada terlalu bersemangat, seperti ini adalah highlight harinya.
Aku hanya mengangguk pelan sambil menahan keinginan untuk tertawa. Oh, jadi sekarang aku punya aura pintar? Baguslah, setidaknya kacamataku ini berhasil mengelabui seseorang.
“Kau suka musik, ya? Aku selalu melihat kamu pakai earphone,” Dia menopang muka di atas telapak tangannya.
Analisis yang sangat teliti. Aku menahan memutar bola mataku dan memaksa diri untuk mengangguk untuk setiap kalimatnya.
Rinai mengoceh tentang apa saja selama 5 menit kemudian. Benar-benar apa saja. Mulai dari kelompok dia yang bekerja keras untuk fashion show, hingga .mengeluhkan tugas sekolah yang, menurutnya, dirancang untuk menyiksa siswa. Aku hanya menanggapi seperlunya, sesekali mengangguk atau menggumamkan “hmm” sebagai tanda bahwa aku mendengarkan—meski sebenarnya pikiranku sudah melayang ke tempat lain.
“Sebenarnya semalam Lia mengirim pesan padaku,” Rinai mengambil telepon genggamnya dan membaca lagi pesannya dengan Lia. “Dia bilang bahwa kau sebenarnya sangat asyik dan seru untuk diajak ngobrol!”
Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Lia bilang begitu?”
“Iya, dia benar-benar memujimu,” Rinai tersenyum kecil, tapi aku tidak bisa menentukan apakah senyumnya itu tulus atau tidak. “Dan aku setuju dengan dia. Kau punya vibe yang unik. Orang-orang pasti akan suka menghabiskan waktu denganmu.”
KRIING!!
Percakapan kita terhenti karena bel, dan aku sangat bersyukur karena aku sama sekali tidak tahu balasan untuk pujian Rinai.
“Sudah bel?” Rinai menoleh ke arah pintu. “Kau tahu? Istirahat nanti kita mau berkumpul di kantin, dan aku berharap kamu bergabung.”
“lihat nanti ya.” Aku tersenyum tipis sambil memasukkan earphone dan mengeluarkan buku pelajaran pertama, sebagai pertanda bahwa percakapan ini sudah selesai.
Apakah aku baru saja diundang masuk ke lingkaran mereka? Atau ini hanya basa-basi? Tapi satu hal yang jelas, Rinai tahu bagaimana caranya membuatku merasa sedikit—atau mungkin sangat—penasaran.
“Bagaimana? Kau suka Rinai? Dia teman yang cukup asyik ‘Kan?” Lia berkata sambil menyerahkan buku tulisku.
Aku menatap dia lamat-lamat, sebelum mengalihkan pandangan ke papan tulis. “Lumayan,”
“Lumayan?” Lia menaikkan alis, tampak tak puas dengan jawabanku. “Dia bilang dia ingin mengajakmu ke kelompoknya. Aku pikir itu keren.”
“Aku tidak masuk SMP untuk menjadi keren, Lia.” Tanganku membuka buku tulis dan mulai menggambar doodles di pojok halaman, garis-garis acak yang hanya kupahami.
“Hei, bukankah kau ingin menjadi berbeda? Mungkin ini hal yang perlu kau lakukan!”
Aku berhenti menggambar sejenak, menatap doodle itu seperti mencari jawaban di sana. “Berbeda seperti apa, Lia? Bergabung dengan mereka, mengikuti apa yang mereka lakukan, dan berpura-pura kalau aku bagian dari mereka?”
Lia terdiam, mungkin tidak tahu harus berkata apa lagi. Tapi aku tidak menyalahkannya. Lia selalu optimis tentang hubungan sosial, sementara aku selalu skeptis.
“Lihat saja nanti,” kataku akhirnya, menutup percakapan sebelum bel berbunyi lagi, tanda pelajaran pertama dimulai.
Pelajaran pertama berlalu tanpa kejadian berarti. Aku mencoba fokus pada materi yang diajarkan, tapi pikiran tentang Rinai dan ajakannya terus mengganggu. Apa maksud sebenarnya dari undangannya? Apakah dia benar-benar ingin aku bergabung dengan kelompoknya, atau hanya sekadar basa-basi seperti yang kukatakan pada Lia?
Saat bel istirahat berbunyi, aku masih duduk di kursi, tidak beranjak seperti biasanya. Lia menepuk pundakku, membuatku tersadar dari lamunan.
“Kantin, Asya? Aku sudah lapar.” Lia tersenyum, menunggu responsku.
Aku menghela napas pelan. “Kau pergi duluan saja. Aku menyusul nanti.”
Lia tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Jangan terlalu lama, ya!”
Saat Lia pergi, aku memandangi ruang kelas yang mulai kosong. Rinai tadi sempat melambaikan tangan ke arahku sebelum keluar bersama teman-temannya. Sekarang, hanya ada aku dan keheningan.
Aku menarik napas dalam, lalu berdiri. Dengan langkah pelan, aku keluar dari kelas, menuju kantin. Di sana, aku bisa melihat Rinai dan kelompoknya duduk di meja panjang. Mereka tertawa, tampak santai, seperti dunia di sekitar mereka tidak pernah menjadi masalah.
Lia melambaikan tangan dari meja lain, mengisyaratkan aku untuk bergabung dengannya. Tapi mataku justru terpaku pada Rinai. Aku bisa saja melewati meja mereka, bergabung dengan Lia seperti biasa, dan melanjutkan rutinitasku. Tapi, ada dorongan aneh di dalam diriku untuk mendekat.
Rinai melihatku, dan wajahnya langsung cerah. Dia melambaikan tangan dengan semangat, seolah menantikan kehadiranku. “Asya! Sini, duduk dengan kami!”
Aku terdiam sejenak, lalu menghela napas dan berjalan mendekat.
“Eh, kau benar-benar datang!” Rinai berkata sambil menarik kursi di sebelahnya. “Kami sedang membicarakan fashion show kemarin. Kau benar-benar harus bergabung di acara berikutnya. Kau punya aura yang luar biasa!”
“Begitu, ya?” Aku mencoba tersenyum, meski tidak yakin apakah itu terlihat tulus.
Obrolan mereka melanjutkan, dan aku hanya menjadi pendengar. Mereka berbicara tentang banyak hal—acara sekolah, gosip terbaru, hingga rencana liburan. Aku merasa seperti orang luar yang sedang menyaksikan sandiwara, tetapi entah bagaimana, aku tetap bertahan di sana.
Salah satu dari mereka, seorang gadis bernama Naya, menatapku dengan mata berbinar. “Asya, kau tahu tidak? Rinai bilang kau hebat dalam bahasa Inggris. Kebetulan, PR tambahan yang diberikan Bu Vic banyak sekali! Apakah kau bisa ajari kita? Mungkin dengan guru yang jauh lebih asik, kita bisa mendapat nilai bagus!”
Aku menatap mereka, bingung harus berkata apa. Di satu sisi, aku merasa dihargai. Di sisi lain, aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ini lebih dari sekadar ajakan biasa.
Aku hanya mengangguk, merasa tidak bisa menolak lagi. Mungkin ini adalah kesempatan untuk menunjukkan pada diri sendiri bahwa aku bisa lebih dari sekadar gadis yang hanya bersembunyi di balik kacamata dan earphone. Tapi, entah kenapa, ada perasaan tidak nyaman yang mulai merayap. Apakah aku benar-benar memilih untuk bergabung dengan mereka, atau apakah mereka yang memaksaku masuk ke dalam lingkaran ini tanpa aku sadari?
Obrolan berlanjut, namun aku mulai merasa semakin terasing. Sepertinya, mereka tidak benar-benar peduli apakah aku setuju atau tidak. Mereka hanya ingin memastikan aku berada di sana, bagian dari kelompok mereka, bagian dari cerita yang sedang mereka bangun.
Sementara itu, mataku kembali tertuju pada Lia. Aku melihatnya sedang tertawa, seolah tak ada beban. Aku bertanya-tanya apakah dia tahu apa yang sedang terjadi. Tapi aku juga sadar, mungkin ini adalah jalan yang harus kutempuh. Jika aku ingin merasa diterima, aku harus bermain dengan aturan yang mereka tetapkan.
Dan entah mengapa, aku mulai merasa seperti berada di persimpangan. Apakah ini jalan yang benar, atau aku hanya terjebak dalam ilusi yang mereka buat?
~~~~~~~~~
“Jadi, bagaimana?” Lia bertanya saat balik dari kantin.
Aku melepas earphone-ku. “Baik.”
“Baik? Itu saja?”
“Apa yang kau harapkan Lia? Wow mereka sangat up to date dengan semua gosip di sekolah! Mereka bahkan tau kabar orang tua dari murid kelas 12! Sungguh mengesankan!” Aku berkata dramatis sebelum memutar bola mataku.
Lia tertawa kecil mendengar tanggapanku yang sarkastik. “Oh, jadi mereka belum cukup keren buatmu ya?”
Aku menyeringai, “Bukan itu, Lia. Aku hanya merasa seperti sedang berada di tengah drama yang terlalu dibuat-buat. Semua orang tahu segalanya, tapi aku merasa tidak ada yang benar-benar penting.”
Lia mengangkat alis, menatapku dengan serius. “Jadi, kau nggak tertarik bergabung sama mereka?”
Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan jawabanku. “Aku nggak tahu, Lia. Rasanya seperti mereka cuma menginginkan sesuatu dariku. Aku nggak tahu apa itu, tapi aku merasa terjebak dalam peran yang mereka tentukan untukku.”
Lia mengangguk, tampaknya mulai mengerti. “Kadang-kadang, orang memang nggak sadar kalau mereka cuma dimanfaatkan. Tapi, kalau kamu merasa nggak nyaman, ya jangan paksakan diri.”
Aku menatap Lia, terima kasih karena dia bisa mengerti. “Aku cuma nggak mau jadi bagian dari drama yang mereka buat, Lia. Aku ingin menjadi diriku sendiri.”
Lia tersenyum, memberikan anggukan kecil. “Tapi kadang, kamu juga perlu memilih peran yang sesuai, Asya. Gak semuanya harus hitam-putih, kadang kamu bisa tetap jadi diri sendiri, meskipun dalam peran yang berbeda.”
Aku berpikir sejenak, kata-kata Lia sedikit menggugah. Mungkin memang benar, tidak ada salahnya mencoba untuk tetap menjadi diri sendiri, meskipun berada dalam lingkungan yang mungkin terasa asing.
Namun, saat aku memandang ke arah kantin, aku tak bisa menahan rasa penasaran. Apakah aku akan terus bertahan menjadi penonton dalam drama ini, atau justru mulai terlibat di dalamnya?
~~~~~~~~~~~~~~~~~
Banyak yang bilang bahwa hanya orangtua yang mempunyai banyak pikiran. Namun sepertinya mereka tidak terlalu memperhatikan remaja. Harus kuakui, beban pikiran remaja memang dilihat sebagai hal yang sangat remeh di sudut pandang para orangtua. Seperti pertemanan, keraguan akan diri sendiri, dan berbagai masalah ‘remeh’ lainnya. Setiap hari rasanya aku terus dibombardir oleh keputusan-keputusan kecil yang harus diambil, dari siapa yang harus diajak bicara, bagaimana bersikap, apa yang harus dipakai, dan sebagainya. Semua itu tidak mudah, terutama ketika aku merasa terjebak di antara dua dunia—dunia anak-anak yang penuh dengan keinginan sederhana dan dunia orang dewasa yang penuh dengan harapan dan tuntutan.
Walau terkadang aku berharap mereka bisa melihat masalah-masalah ini dalam sudut pandang kita, karena aku sudah cukup muak dianggap baik-baik saja padahal banyak sekali yang kupikirkan. Tapi sayangnya, mereka hanya akan beranggapan bahwa semua masalah ini adalah akibat dan konsekuensi atas keputusan yang kita lakukan. “Kamu yang memilih untuk bersosialisasi dengan mereka,” atau “Kamu yang memilih untuk menjadi seperti itu,” mereka berkata seolah-olah semua bisa diselesaikan hanya dengan sebuah pilihan yang mudah. Mereka tidak tahu betapa rumitnya dunia ini, dan betapa sulitnya untuk tahu apakah yang kita pilih adalah yang terbaik.
Tidak ada orang yang benar-benar mengerti apa yang aku rasakan, bahkan jika mereka mengaku peduli. Aku mulai merasa bahwa mungkin inilah saatnya untuk lebih mengandalkan instingku. Itu kedengarannya seperti pilihan yang buruk, tetapi mungkin itu satu-satunya pilihan yang kupunya. Mungkin ini saatnya aku belajar untuk mengenali diri sendiri, dan belajar untuk mempercayai perasaan dan pemikiran yang ada dalam kepalaku, meskipun itu terkadang sangat membingungkan.
Aku merasa seperti terjebak dalam sebuah permainan yang tidak ada petunjuknya. Ada banyak aturan yang tidak tertulis yang harus aku ikuti, tetapi tidak ada yang mengajarkanku cara memainkannya dengan benar. Aku tahu bahwa semua ini bisa jadi masalah kecil bagi orang lain, tapi bagi aku, ini adalah dunia yang penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Setiap langkah yang aku ambil, aku merasa seperti sedang melangkah di atas es tipis, takut kalau-kalau semuanya akan runtuh begitu saja. Apakah mereka benar-benar teman? Atau hanya mencari keuntungan? Atau mungkin mereka hanya akan pergi begitu saja ketika tidak ada lagi yang menarik untuk dibicarakan? Mungkin mereka hanya tertarik dengan apa yang bisa mereka dapatkan dariku, bukan siapa aku sebenarnya. Ini adalah pertanyaan yang terus mengganggu pikiranku.
Satu hal yang aku pelajari adalah, di dunia ini, tidak ada yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri. Orangtua, teman, atau siapa pun, mereka mungkin tidak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan. Mereka hanya melihat permukaan, sedangkan aku terjebak di dalam lapisan-lapisan emosi yang rumit dan terkadang sulit dijelaskan. Bahkan jika mereka mencoba untuk mengerti, aku rasa mereka tidak akan pernah bisa sepenuhnya merasakannya. Mereka tidak berada di dalam kepalaku, tidak melihat dunia melalui mataku. Jadi, mungkin ini saatnya untuk berhenti berharap mereka akan datang dan menyelamatkanku, karena mereka tidak akan pernah bisa. Tidak ada yang bisa melakukannya selain diriku sendiri.
Tapi entahlah, aku harus bisa lebih cerdas dalam menghadapinya. Jika aku terus menunggu orang lain untuk datang dan menyelamatkanku, aku tidak akan pernah maju. Aku tidak bisa terus-menerus berharap pada orang lain untuk menyelesaikan masalahku, karena itu hanya akan membuatku semakin terperangkap dalam ketidakpastian. Jadi, mungkin inilah saatnya untuk mulai mempercayai instingku, dan belajar lebih banyak tentang diri sendiri. Aku harus berani mengambil langkah pertama, meskipun itu terasa menakutkan. Mungkin aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi jika aku tidak mencoba, aku tidak akan pernah tahu.
Namun, dimana aku harus memulai? Aku tidak tahu. Semua terasa begitu rumit dan penuh dengan kebingungannya sendiri. Mungkin ini adalah perjalanan panjang yang harus aku jalani sendirian, untuk menemukan siapa aku sebenarnya dan apa yang aku inginkan. Tapi aku tahu satu hal, aku tidak bisa terus-menerus berdiam diri dalam kebingunganku. Aku harus melangkah, meskipun dengan langkah yang kecil. Karena jika aku tidak melangkah sekarang, aku akan tetap terjebak di tempat yang sama selamanya.
Kreator : Naurah Harimurti
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Remaja (4)
Sorry, comment are closed for this post.