Beni dan Arim masih terlihat asyik di taman kota hingga Arim melihat ponselnya yang terdapat panggilan dan chat WhatsApp dari Reza.
“Astaga, Ben! Sore ini kan kita latihan! Aduh, Reza bisa marah, nihh.” pekik Arim. Sedangkan, Beni justru menjawab dengan santai, “Sudah lah, santai saja. Kalau Reza tidak akan marah.”
Arim berdiri dan menarik Beni untuk segera menyalakan motornya menuju tempat latihan, “Ya, udah. Ayo kita ke tempat latihan, Ben! Buruan!”
Beni pun menuruti ajakan Arim. Mereka berdua langsung berangkat menuju tempat latihan.
Sesampainya di tempat latihan, mereka terlihat agak takut. Sedangkan Reza, masih asyik bermain gitar sendirian. Reza terlihat acuh tak acuh melihat Arim dan Beni yang baru datang. Arim pun menyapa Reza untuk mengurangi rasa canggung.
“Hei, Za. Sorry ya, kita terlambat.” ucap Arim sambil meringis.
Beni pun ikut menyahut, “Iya, Za. Kita lupa kalau hari ini latihan. Sorry ya, Za.” ucap Beni sembari mengacungkan dua jarinya, memberi tanda peace.
Reza terlihat marah dengan mereka berdua. Ia masih asyik mengulik gitar tanpa mempedulikan Beni dan Arim.
“Tuh kan, Ben. Reza pasti marah,” bisik Arim.
“Salah loe sih, Ben!” lanjut Arim sambil mencubit Beni hingga membuatnya kesakitan.
“Aduhhh!! Iya, sorry deh. maaf.” ucap Beni sambil meringis kesakitan.
Reza pun bangkit dari tempat duduknya, “Aku mau pulang. Ini udah waktunya aku pulang.” ucap Reza.
“Kalau mau latihan, latihan saja. Aku udah latihan dari tadi.”
Reza berjalan keluar studio. Beni dan Arim melihat kepergian Reza dengan raut wajah merasa bersalah.
Hari itu, Reza merasa sangat kecewa terhadap Beni dan Arim. Selama ini Reza masih tahan terhadap sikap mereka berdua yang sering menghabiskan waktu berdua untuk bermesra-mesraan. Tapi kali ini lain cerita. Reza pulang dengan lesu dan loyo, tidak semangat seperti biasanya.
Sesampainya di rumah,
“Assalamualaikum.” ucap Reza sambil mencium tangan ibunya.
“Waalaikumsalam. Udah pulang, Dik?” tanya Ibu heran.
“Iya. Sudah, Bu. Za mau istirahat dulu ya bu di kamar.” sahut Reza.
Reza langsung masuk kamar dan rebahan. Ibu yang berdiri di dalam rumah terdiam melihat Reza yang tidak seperti biasanya. Lalu, Ibu mengetuk pintu kamar Reza.
“Dik, kamu kenapa? Nggak biasanya kamu kayak gini, loh. Kamu sakit?” tanya Ibu penasaran.
“Nggak, Bu. Reza nggak apa-apa. Za hanya butuh waktu sendiri dulu.” jawab Reza sambil memegang keningnya.
Kemudian, Ibu meninggalkan Reza menuju dapur. Ibu tahu, Reza sedang ada masalah. Namun, masalah apa yang sedang dialami, Ibu tidak tahu. Terlihat dari gerak tubuh dan raut muka anaknya sedang ada masalah.
Pagi di sekolah, Reza yang berjalan sendiri masih terlihat sangat lesu. Lalu, Beni menghampirinya.
“Za, nanti sore kita latihan lagi, kan? “ tanya Beni kepada Reza.
Reza hanya terdiam dan tetap berjalan. Namun, Beni tak tinggal diam. Dia mencegah Reza, memintanya untuk berhenti.
“Za, gue tahu gue salah. Tapi, apa harus seperti ini?” tanya Beni dengan tegas.
Reza masih terdiam dan berjalan dengan tatapan muka yang serius.
“Mau loe apa sih, Za?” Beni mulai jengkel. “Apa gara-gara kemarin gue lupa, terlambat latihan, dan band kita jadi bubar?”
Suara Beni cukup kencang sehingga semua siswa memandang ke arah mereka berdua.
“Jawab, Za!” teriak Beni sekali. Reza pun berhenti dan membalikkan badan menghadap ke arah Beni.
“Aku kecewa sama loe!” jawab Reza.
“Loe lupa sama sahabat karib loe, hanya gara gara seorang cewek.” lanjut Reza.
“Maksud loe, apa? Gue tahu kemarin gue terlambat latihan,“ tegas Beni
“Terlambat lima belas menit masih gak papa, Ben. Tapi loe terlambat dua jam!” seru Reza. “Aku udah chat, telepon, tapi gak ada balesan dari loe.”
“Aku tahu, Beni. Kalian berdua pacaran, butuh waktu untuk bermesraan. Aku juga tahu kalian berdua kemarin jalan di taman, tapi gak seharusnya loe lupain latihan kita.” lanjut Reza penuh amarah.
“Gue lupa, Za. Serius.” ucap Beni.
”Buat apa loe bohongin aku, Gue udah ngehubungin loe, seharusnya loe tahu kan. Tapi loe berdua malah asyik sendiri!” seru Reza.
Suasana berubah gaduh. Reza yang tak biasanya emosi, hari ini dia terlihat sangat marah dan kecewa terhadap kedua temannya. Suasana semakin memanas, Beni yang sudah tidak bisa mengontrol dirinya, menonjok Reza yang membuat Reza terkejut. Sambil memegangi luka tonjokan tadi, Reza juga melayangkan tinju ke Beni. Melihat hal itu dari kejauhan, Arim datang memisahkan mereka berdua.
“Sudah!! Beni! Reza! Hentikan!!” teriak Arim melerai.
Reza pun pergi meninggalkan Beni dan Arim. Beni yang terluka ringan dibantu Arim berjalan ke UKS untuk mengobati lukanya. Sesampainya di UKS, Beni diobati oleh petugas UKS dan Arim mencoba membantunya.
“Nggak seharusnya loe berantem dengan Reza, kan.” ucap Arim sembari mengobati Beni.
“Gue tahu gue salah, Rim. Gue juga lepas emosi.” jawab Beni.
Reza yang sehari tidak terlihat di sekolah, memilih pulang untuk mengobati lukanya di rumah.
“Kenapa bisa seperti ini sih, Dik?” tanya Ibu sambil mengobati luka Reza.
“Za juga gak ngerti, Bu,” jawab Reza. “Aduh. Sakit, Bu.”
Pagi itu, Reza merasa sangat kacau tidak menyangka akan berkelahi dengan sahabat karibnya. []
Kreator : Sumadi Dhiak
Comment Closed: Remaja (Cinta Membuat Persahabatan Renggang)
Sorry, comment are closed for this post.