Reza yang terlihat paling cemas. Ketika ditanya oleh Beni, ia terlihat sangat gugup dan ragu untuk menjawab.
“Kau sedang memikirkan apa, Za? Tak biasanya.” tanya Beni.
“Ahh, tidak. Aku sedang tidak memikirkan apa apa.” jawab Reza.
“Kau sudah berteman belasan tahun bersamaku, mau bohong denganku ya tidak bisa, Za.” sahut Beni. Dia yakin bahwa sahabatnya sedang menyembunyikan sesuatu.
“Nggak, nggak ada apa apa kok, Ben. Tenang saja.” jawab Reza berusaha meyakinkan.
Arim pun ikut penasaran apa yang sedang disembunyikan Reza.
“Iya, Za. Kalau kamu masih anggap kita sebagai sahabat, ya ngomong lah. Kita pasti dengerin, kok.” sahut Arim.
“Jadi, gini…” kata Reza mencoba menjelaskan. “Aku mau kuliah di Jogja.”
“APA, ZA??!!” ujar Beni dan Arim bersamaan, sambil bangkit dari tempat duduk mereka.
“Iya, aku ingin menimba ilmu di sana.” jawab Reza, masih berusaha tenang dan menyembunyikan keraguannya.
Beni sangat sedih. Kemarin pacarnya yang harus pergi, sekarang sahabatnya yang harus meninggalkannya.
“Kita jadi bubar beneran nih? Nggak asyik loe bercandanya, Za.” ucap Beni sedih.
“Tapi tenang, Ben. Aku masih lama kok pergi ke Jogja. Sebelum aku pergi ke Jogja, aku punya satu keinginan.” kata Reza sambil menepuk bahu Beni.
“Keinginan apa, Za?” tanya Arim. Lalu, Reza duduk di antara Beni dan Arim.
“Aku ingin kita tampil di televisi untuk Arim.” jawab Reza.
“Untuk gue?” tanya Arim kaget.
Beni masih diam. Dia masih tidak percaya bahwa akan berpisah dengan pacar dan sahabatnya. Sesaat sebelum Reza melanjutkan, Beni tiba-tiba bangkit.
“Demi persahabatan kita, boleh kita lakukan, Za.” sahut Beni dengan wajah sumringah. Reza bangkit dan merangkul Beni.
“Kamu memang sahabatku, Ben.” kata Reza.
Reza dan Beni saling berpelukan erat. Melihat hal tersebut, Arim sangat terharu.
“Aku sangat beruntung memiliki kalian.” ucap Arim menepuk bahu kedua sahabatnya itu. Mereka berpeluh kesedihan karena akan berpisah dan berpencar. Namun, mereka bangga dengan persahabat mereka yang kukuh.
Hari itu telah tiba yaitu hari pengumuman, dimana semua siswa kelas 12 dan wali murid berkumpul di gedung sekolah untuk menghadiri pengumuman dan wisuda. Terlihat semua siswa dan wali murid sudah hadir. Bapak dan Ibu Guru juga sudah terlihat siap untuk memulai acara. Satu per satu siswa dipanggil naik ke atas panggung untuk menerima samir dan nilai ujian. Reza terpilih sebagai wisudawan terbaik karena nilai ujiannya paling bagus di sekolah. Setelah prosesi wisuda, Reza, Beni dan Arim naik ke atas panggung untuk menampilkan penampilan band mereka. Mereka tampil dengan baik, meskipun ada sedikit keresahan di hati karena ini adalah penampilan terakhir dan harus berpisah. Semua siswa yang hadir terlihat terbawa suasana dengan lagu yang sedang dibawakan oleh mereka bertiga. Semua siswa terharu. Mereka sangat sedih karena harus berpisah dengan teman teman yang lain, apalagi ada yang berencana ingin kuliah dan ada juga rencana yang hendak bekerja. Mereka saling mendukung satu sama lain.
Reza, Beni dan Arim juga terlihat menangis. Mereka juga sangat merasa sedih, yang biasanya bersama sebentar lagi harus berpisah. Arim yang harus ikut pindah orang tuanya dan Reza yang akan mengambil beasiswa kuliah di Jogja. Sedangkan Beni ingin kuliah sambil bekerja. Band yang mereka bentuk dengan susah payah harus vakum karena mereka harus berpisah, itulah yang mereka pikirkan. Namun, demi masa depan mereka, mereka siap melakukan apa saja. Selesai dari acara wisuda, Arim, Beni dan Reza berkumpul di belakang panggung sambil menatap satu sama lain.
“Di manapun kalian berada, jangan lupakan aku, ya.” ucap Beni. Ia merangkul Reza dan Arim.
“Iya, Ben. Aku nggak akan lupain kau. Kita kan sahabat sejak kecil.” balas Reza.
Terlihat Arim menangis. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan dan kesedihannya.
“Aku juga nggak akan lupain kalian, kok. Meski harus jauh dari kalian, jujur aku sedih banget. Tapi kita harus tetap komunikasi ya, biar kita bisa melepas rindu.” ucap Arim. Mereka saling berpelukan.
Terlihat orang tua mereka mendekati mereka bertiga.
“Sudah … Ini kan demi karir kalian masing masing. Kalian harus saling support.” ucap Ibu Reza sambil menyentuh mereka.
”Benar. Lagian kalian juga masih bisa teleponan.” ucap Ayah Arim.
Lalu, mereka bertiga bersalaman dengan orang tua masing-masing. Mereka sudah terlihat sangat akrab seperti keluarga sendiri.
“Ya sudah, mari kita pulang.” ajak Ibu Reza, lalu mereka pulang.
Di taman, tepat pukul delapan, terlihat Arim sedang menunggu Reza dan Beni sambil melihat jam di tangan. Arim duduk di kursi yang ada di taman tersebut. Setelah lima menit kemudian, Beni dan Reza datang.
“Hei, Rim. Sorry ya telat.” sapa Reza.
”Iya, Rim. Maaf yah,” ucap Beni. Mereka berdua duduk di dekat Arim.
“Iya, nggak papa, kok.” sahut Arim.
“Oh ya, Ben, Za, aku nggak bisa lama di sini. Sebentar lagi harus berangkat.” lanjut Arim.
“Iya aku ngerti kok, Rim. Ini untukmu, kenangan dari aku. Disimpan ya, dijaga baik-baik seperti kamu menjaga hatiku.” ucap Beni sambil memberikan kado kenang-kenangan untuk Arim. Arim pun menerimanya.
“Iya, kamu tenang aja. Makasih ya, Ben.” balas Arim sambil tersenyum.
“Maaf ya, Rim. Aku nggak bisa kasih kenang-kenangan buat kamu. Aku hanya bisa doain, semoga kamu bahagia di sana. DI tempat barumu.” sahut Reza.
“Iya, Za. Nggak papa kok. Makasih ya udah mau doain aku.” jawab Arim.
“Oh ya, Ben. Mending kamu anterin Arim ke bandara, deh.” usul Reza.
“Ah, nggak usah. Nanti aku dijemput sama sopir aku, kok.” ucap Arim menolak.
“Oh ya, benar juga apa katamu, Za.” ucap Beni setuju.
“Mau ya, Rim. Please, mau ya.” ucap Beni memohon dan memelas.
Lama juga Arim berfikir. Jika diantar Beni, maka akan kasihan sopirnya. Sebab Arim sudah terlanjur menyuruhnya untuk menjemput.
“Gimana ya, Ben. Sebenarnya aku mau, tapi aku udah terlanjur menyuruh Pak Sopir untuk jemput.” jawab Arim. Keningnya berkerut.
Lalu, Reza memberi usul, “Gampang, Rim. Sekarang, kamu telepon sopir kamu kalau kamu nggak jadi dijemput.”
“Pintar kali kau, sahabatku.” sahut Beni sambil meledek Reza sambil mengacak rambutnya.
Arim menelpon sopirnya kalau ia tidak jadi dijemput. Selesai Arim menelepon sopirnya, ia pun mengajak Beni.
“Ya udah, ayo kita berangkat, Ben.”
“Oke, ayo kita berangkat sekarang.” jawab Beni sambil menyiapkan motornya.
“Lah, kamu gimana, Za?” tanya Arim.
Dengan santai dan tenang reza menjawab, “Udah, nggak usah pikirin aku. Gampang kok, kan ada ojek. Santai aja.”
Beni memakai helm dan helm yang satu diberikan kepada Arim. Arim naik motor di belakang Beni.
“Za, tinggal dulu, ya.” ucap Beni pamit.
“Iya, hati hati kalian.” jawab Reza.
Setelah Beni dan Arim berangkat, Reza lalu memesan ojek online untuk pulang.
Sesampainya Arim dan Beni di bandara, keluarga Arim sudah menunggu di lobi bandara.
“Arim kok lama amat, sih.” tanya Ayah Arim.
“Sorry, Yah. Tadi ketemu dulu sama Reza dan Beni.” jawab Arim.
Lalu, Beni bersalaman dengan Ayah Arim.
“Lah, Reza mana?” tanya Ayah Arim kepada Beni.
“Hm, anu Om, Reza nggak ikut soalnya motornya nggak muat.” jawab Beni sambil nyengir, Ayah Arim pun tertawa.
“Ya sudah, ayo kita berangkat, Rim. Pesawatnya sudah menunggu.” ajak Ayah Arim. “Ben, salam ya buat Reza.”
“Kamu jaga diri baik-baik, ya.” ucap Arim. Beni memegang tangan Arim.
“Rim, tenang aja. Aku bakal jaga diri baik-baik kok. Kamu juga baik-baik ya di sana.” balas Beni.
“Ya udah, aku pamit, Ben. Salam buat Ibu kamu.” ucap Arim sambil menjabat tangan Beni.
“Iya nanti aku sampaikan kok. Hati-hati ya, Rim.” sahut Beni dengan nada sedih.
Arim meninggalkan Beni menuju ruang tunggu di bandara, karena sebentar lagi pesawat yang ditumpangi Arim akan berangkat.
Hari itu, Beni benar-benar sedih karena harus berpisah dengan Arim, pacarnya. Tidak seperti biasanya yang mereka berdua selalu bersama, kondisi ini membuat Beni sangat sedih. Ia harus berhubungan jarak jauh dengan pacarnya dan tidak bisa bertemu langsung, istilah remaja sekarang LDR atau pacaran jarak jauh.
Bersambung….
Kreator : Sumadi Dhiak
Comment Closed: Remaja part 12
Sorry, comment are closed for this post.