Suara gelas kopi berdenting dan obrolan ringan The Gank pun bergulir.
Sambil menyeruput kopi Ardo membuka pembicaraan,”Jadi, Wid, lo percaya nggak sih sama teori konspirasi soal hantu? Katanya, hantu itu cuma proyeksi ketakutan orang tua sendiri.”
Widya mengernyitkan dahi,”Ardo, lo lagi ngalamin midlife crisis apa gimana sih? Ngajak ngomongin hantu segala.”
Moses tertawa kecil dan berkata,”Aku sih percaya, tapi lebih ke hantu lapar. Kalau udah denger suara perutku bunyi, rasanya kayak ada hantu lapar yang lagi ngintil.”
Azeta, dengan nada serius,”Aku juga pernah ngalamin yang kayak gitu. Dulu, tanteku setiap kali ngasuh aku, sering bilang kalau aku nakal, gak mau tidur-tidur juga, nanti ada pocong yang bakal narik kaki. Sampai sekarang, kalau mati lampu, aku masih suka ngebayangin ada tangan pocong narik kaki aku dari bawah, gak kepikiran tuh kalau pocong itu kan tangannya dibalut kain lah, ya gak mungkin bisa narik kaki aku. Jalan aja dia udah susah.”
Sambil menunjuk ke arah Azeta, Ardo berkomentar,”Nah, lo lihat sepupuku ini. Si Azeta ini, dulu waktu kecil, dia tuh anak yang paling takut sama hantu. Sampai-sampai kalau mau tidur, harus selalu minta ditemenin. Waktu masih kecil sih memang bisa, tapi waktu udah gede kan risih, males amat deh mesti ngasuh adek bawel kayak dia.”
Azeta sambil pura-paru malu,”Masa iya sih, Kak?”
Widya menjawab sambil tertawa,”Tapi sekarang, Azeta udah jadi psikolog handal. Lihat deh, viral banget.”
Moses bertanya seraya mengarahkan tatapannya kepada Azeta,”Kamu beres Ta sekarang? Maksudku, sudah gak takut lagi kan sekarang pastinya? Gimana caranya? Self-suggestion?”
Widya dan Azeta, dua orang psikolog anak dengan gelar Doktor, Ardo – seorang dosen filsafat, dikenal sangat kritis humoris dan Moses – pengusaha sukses, seorang bapak rumah tangga yang baru saja menjadi seorang ayah. Empat Sekawan itu masih menjalin komunikasi sejak bertemu di acara reuni kampus Angkatan 2014 di sebuah café yang sering dikunjungi kalangan intelektual.
Azeta menyela dengan tatapan serius,”Waktu kecil, tiap malam aku kan gak diurus Papa-Mama aku ya karena mereka sibuk terus pulangnya suka malem banget. Nah, aku diurus tante dan dia punya kebiasaan langka kalau pas jam tidur aku, dia gak seneng bacain dongeng sebelum tidur atau semacamnya yang mengandung pesan moral lah paling tidak sekalipun mengarang dadakan. Dia justru sering bahkan selalu nyeritain cerita horor dan tokoh favoritnya adalah pocong, bukan drakula, bukan setan iblis demon atau apalah, atau alien paling tidak. Ini, pocong. Ngak tahu, punya obsesi apa dia sama pocong. Jangan-jangan dia korban masa kecil yang buruk juga lagi. Korban teror pocong kayak aku juga, jangan-jangan. Hehehehehe.”
Moses terlihat terkejut,”Memang bisa? Korban horor pocong malah jadi suka nyebar cerita soal pocong lagi, bukan justru menghindari atau minimal gak suka gitu?”
“Bisa Mos, bisa banget justru!”sahut Widya,”Nih, denger ya. Sama kayak begini. Korban jotos, atau penganiayaan, justru malah bisa jadi pelaku jotos dan penganiayaan serupa di masa depan!”tegasnya.
“Sadis amat!” Moses terbelalak.
“Memang sadis. Itu istilahnya semacam siklus kalau yang sekarang lagi viral itu seperti Siklus Kekerasan, kayak KDRT gitu. Konsepnya sama yaitu pengulangan. Konsep paling umum yang menggambarkan pola berulang dimana korban cenderung mengulangi pola yang sama dalam menjalani hubungan, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban gitu lhoh. Dan ngak cuman itu aja Mos, si korban kekerasan atau korban ditakuti-takuti kayak aku dulu atau apalah itu, seringkali belajar bahwa hal yang dialaminya itu adalah cara yang efektif untuk mengatasi masalah sekaligus melindungi diri. Ini yang akhirnya bikin korban-korban itu justru kemudian mengadopsi perilaku serupa ketika berada dalam situasi yang terasa mengancam.”jelas Azeta.
“Mencontek, mengulang. Memangnya nggak bisa berubah apa? Gak bisa ngelawan gitu?”tanya Moses penuh rasa penasaran.
“Bisa. Sebenernya bisa. Ini aku? Sekarang udah nggak pocong minded lagi kan? Yang kayak gitu itu sebenernya bisa banget dibenerin sama diri sendiri asal dirinya memang benar-benar mau berubah, sanggup menolak meng-copy. Awalnya, dulu aku takut maksi. Aku gak bisa tidur dan kalaupun ketiduran karena kecapean, biasanya aku mimpi buruk. Sekalipun bukan tentang pocong ya tapi aku tidurnya gak pernah beres waktu-waktu dulu itu,” ungkap Azeta menjelaskan
Ardo mengangguk,”Itulah yang terjadi kalau menakut-nakuti anak. Awalnya orang tua tidak tahu bakalan berefek seburuk itu kan ya tapi ternyata kelakuan ortu yang gak normal semacam itu malah justru meninggalkan trauma psikologis yang cukup dalam.”
Widya seopini,”Aku setuju. Ini agak ilmiah dikit gak apa-apa ya. Jadi, penelitian menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil yang traumatis, seperti sering ditakut-takuti, dipukuli, dibully, dijahati dan semacamnya itu, dapat mempengaruhi perkembangan otak si anak hingga meningkatkan risiko mengalami gangguan kecemasan atau depresi di kemudian hari, di masa depannya.”
Azeta,”Waktu itu, efeknya aku sulit percaya sama orang lain, aku jadi tertutup dan sulit bersikap terbuka. Aku gak pernah mau diajak bicara oleh orang lain apalagi untuk curhat.”
Moses terlihat semakin paham,”Bisa begitu ya? Untung aku gak pernah galak apalagi neror anak. Orang Tua wajib cari cara positif buat didik anak. Jangan sampai anak jadi korban di masa depan gara-gara kebodohan orang tua.”
Azeta,”Memang urusan serius Mos kalau udah urusannya sama anak. Menurut aku pribadi, pendidikan yang baik itu bukan hanya soal nilai akademis, tapi juga soal kesejahteraan mental anak. Orang tua harus sanggup menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman supaya hubungan anak-orang bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, tanpa noda.”
Semua orang terdiam sejenak, merenungkan apa yang baru saja Azeta ucapkan.
Widya setengah bercanda,”Selamat Zet, kamu lulus, lulus ujian hidup jadi pocong hehe.”
“Semoga aku kalau nanti-nanti di masa depan harus jadi orangtua, aku bisa jadi ortu yang belajar banyak, wise dan punya pola asuh yang sempurna, yang gak ada cacatnya, yang nggak bikin anak jadi stres, depresi atau bahkan takut parah sama orangtuanya seperti takut ketemu monster sampai kapok ketemu orangtua,”ujar Ardo.
“Setuju,”sambut Moses disusul Widya dan Azeta sambil mengangkat cangkir kopi mereka masing-masing, lalu mereka pun melanjutkan diskusi dalam suasana yang lebih hangat.
Perspektif Azeta sebagai seorang Gen Z memberikan dimensi baru dalam diskusi. Dilatarbelakangi pengalaman hidupnya, ia mewakili generasi muda yang lebih sadar akan kesehatan mental serta pentingnya pola asuh yang positif. Ia mengungkapkan bahwa trauma masa kecil akibat sering ditakut-takuti masih membekas hingga makan waktu sangat lama untuk bisa lupa. Ini menunjukkan bahwa dampak dari tindakan menakut-nakuti anak bisa berefek sangat panjang.
Diskusi itu menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Dengan menambahkan perspektif Widya yang sama-sama seorang psikolog profesional, diskusi mereka menjadi lebih kaya dan relevan dengan isu-isu kontemporer terkait kesehatan mental dan pengasuhan anak.
Kebetulan sekali Widya membawa sebuah jurnal ilmiah dalam tasnya. Majalah itu terlihat ketika Widya membuka tas untuk mengeluarkan telepon selulernya. Sementara Ardo menikmati kopinya,”Wid, apa tuh?”
“Oh ini,”jawab Widya seraya menunjukkan jurnal tersebut ke atas meja.
Azeta yang sudah tahu, kemudian membantu menjawab,”Eh, itu di halaman depan ada tentang dampak psikologis dari metode pengasuhan yang otoriter, terutama yang melibatkan gaya menakut-nakuti anak. Banyak sekali penelitian yang menunjukkan efek buruknya pada perkembangan anak.”
“Kok masih ada gaya parenting kayak gitu, jaman 5.0 begini? Serius? Ketinggalan jaman banget,”Moses berkomentar.
Dengan sedikit menyindir Ardo berkata,”Jangan salah Mos, kamu masih gak percaya kalau gaya zaman barbar itu masih banyak yang pake sampai zaman sekarang? Masih banyak lho orangtua yang bodoh, Mos. Yang masih butuh ilmu parenting terupdate sesuai zaman. Parah banget, udah bodo, merasa paling bener lagi. Mereka gak peduli, justru merasa bangga kalau disegani anak-anaknya melalui cara menakut-nakuti. Ortu jenis begitu itu justru bangga kalau jadi sosok yang ditakuti oleh anak-anaknya. Dasar orangtua gila. Walau kaya, tetap saja tolol, gak punya ilmu yang cukup untuk mendidik anak. Koq bisa-bisanya ya bikin anak banyak-banyak sambil gak punya ilmunya. Ditambah gak merasa bersalah lagi.”
Widya,”Bener banget. Parah ya sebenarnya ternyata negeri ini masih menampung banyak ortu yang gak bisa ngurus anak-anaknya. Bayangkan, seorang anak kecil yang seharusnya merasa aman dan bahagia, malah tumbuh dengan rasa takut yang berlebihan, justru malah berubah karakter jadi liar, kasar, urakan, bebal dan sudah pasti bodoh juga. Pasti mereka meniru kelakuan ortu-ortu mereka. Itulah jadinya kalau pola asuh yang tidak pakai ilmu. Kualitas emosi anak jadi gak stabil, lingkungan sosialnya juga gak becus, bahkan kondisi kognitif mereka malah lebih bodoh daripada orangtuanya. Sampai banyak yang dipenjara segala gara-gara aksi kriminal.”
Moses terlihat ragu,”Kalau aku cuma mau anak aku jadi anak yang baik. Itu doang, gak ada maksud untuk mengintimidasi atau minta disegani. Tapi kalau tidak ditakut-takuti, nanti apa mungkin malah jadi bandel? Bagaimana tuh?”
Ardo tertawa kecil,”Moses, coba jadi orangtua itu bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda. Apakah anak yang takut akan menjadi anak yang baik? Atau justru sebaliknya, mereka akan cenderung menyembunyikan kesalahan mereka karena takut dimarahi. Ingat bagaimana kamu dulu oleh orang tua kamu? Takut? Jadi nurut? Apa? Maksudku jadi gini, Mos. Kalau kamu terus-terusan menakut-nakuti anak kamu misalnya taruhlah dengan pocong, nanti dia jadi takut sama semua hal, termasuk sama diri kamu sendiri. Nanti dia malah manggil tukang paranormal buat ngusir kamu dari rumah! Wkwkwkwkwk.”
Moses tertawa terbahak-bahak,”Kepikiran banget ya yang kayak gitu sama kamu? Jenius. Aduh, tapi ya jangan gitu dong. Aku gak mau anakku trauma akut sampai kronik sama aku.”
Ardo merespon cepat,”Nah, kan. Itu tahu sendiri. Supaya anak kamu gak takut sama kamu, kamu ajak main petak umpet aja. Biar dia belajar berani dan kreatif. Siapa tahu nanti dia jadi atlet parkour. Jago loncat. Beda sama pocong gaya loncatnya. Hehe.”
Sementara Azeta tersenyum sambil menikmati kopinya, Widya menanggapi,”Bener banget! Kalau anak terus-terusan dikasih ‘suntikan’ ketakutan, ya pasti dia jadi minder. Kayak tanaman yang nggak pernah disiram, gimana mau tumbuh subur? Jadi kayak dikasih pupuk pestisida gitu. Lebih baik memberi pupuk kompos aja biar anak itu tumbuh jadi pribadi yang kuat dan sehat. Jangan lupa, kasih vitamin cinta juga. Hehe.”
Ardo menambahkan dengan gayanya,”Kalau anak terus-terusan takut sama hantu, nanti dia malah bikin klub penggemar pocong. Terus bikin acara cosplay pocong setiap minggu.”
Sambil tertawa terbahak-bahak, Moses berkata,”Wah, jadi influencer pocong dong anakku.”
“Nggak apa-apa, yang penting dia bahagia. Siapa tahu dia bisa jadi duta besar pocong untuk Indonesia. Jadi orang besar Mos,”ujar Ardo lagi sambil tertawa diikuti senyuman Widya dan Azeta.
“Ingat, Moses, investasi terbaik yang bisa orangtua berikan kepada anak-anak adalah kasih sayang, perhatian, dan pendidikan yang berkualitas,”Azeta mengingatkan.
Ardo menimpali lagi,”Kamu tahu juga nggak, Moses? Kalau anak terus-terusan ditakut-takuti, nanti dia jadi punya kekuatan super. Tapi bukan kekuatan super yang keren, malah kekuatan super takut kegelapan. Nanti dia bisa jadi kayak vampir yang takut sama matahari. Atau dia akan jadi superhero yang punya kemampuan menghilang setiap kali dia ketakutan. Terus lama-lama dia jadi hantu beneran!”
Moses tertawa terbahak-bahak lagi,”Aduh, makin parah ngajak ngakak aja dari tadi. Tapi bener juga sih, aku nggak mau anak aku jadi hantu beneran.”
“Itu belum parah, Mos. Kalau anak kamu master matematika, dia akan jadi punya hobi ngitung pocong tiap malam, sampai hilang fokus, gak bisa mengerjakan tugas-tugas sekolahnya karena sibuk berat menghitung pocong di bawah ranjangnya. ” ujar Ardo lagi.
Moses ngakak lagi,”Sekalian bikin kos-kosan spesial buat pocong.”
“Ya pokoknya, jangan bikin anak jadi minder ketakutan lah, tertekan sampai nggak mau keluar kamar akibat menemukan tempat yang aman dari badai kritik orangtuanya,” Azeta kembali menegaskan pendapatnya.
Moses menjawab dengan sangat paham,”Iya, bener, kayak burung dalam sangkar. Sayang banget kalau sampai potensinya nggak bisa berkembang.”
Ardo tampak puas,”Nah, itu ngerti. Bayangin aja, anak yang takut sama ortu atau hantu dan semacamnya itu sama saja dengan kucing yang ketakutan sama timun. Padahal, timun itu kan cuma sayur.”
Widya,”Iya, sama juga kayak anak yang takut gagal. Padahal, gagal itu kan bagian dari hidup. Nggak perlu takut sebenarnya, sebab kegagalan itu di kemudian hari justru akan jadi pelajaran yang berharga.”
“Jadi, intinya orangtua harus kasih anak ruang untuk tumbuh dan berkembang, bukan malah bikin mereka takut. Begitu kan?” Moses menyimpulkan.
Azeta teringat,”Kalau anak terus-terusan dikasih tugas yang terlalu berat, itu sama saja dengan orangtua nyuruh anak ayam buat terbang ke bulan. Nggak mungkin kan? Nyiksa itu namanya. Terlebih kalau punya niat melampiaskan mimpi pribadi sang orangtua yang tidak sempat terwujud di masa lalu, untuk dijalani dan diwujudkan oleh anak agar sesuai seperti mimpi kita di masa lalu. Itu toxic.”
Ardo,”Iya, benar. Lebih baik orang tua ajarin dia cara terbang dasar, tapi pakai kertas dulu, jangan parasut, biar dia nggak langsung patah semangat. Siapa tahu entar dia jadi pilot kertas terkenal di masa depan!”
“Jadi orangtua memang harus sabar ya ngajarin anak. Ngak boleh terlalu tinggi ekspektasinya supaya anak ngak stres, lalu bikin pesawat kertas buat kabur dari rumah!” Moses menambahkan bumbu segar atas candaan Ardo.
Ardo,”Awas kertas bekas jangan dibuang sembarangan. Mendingan kamu ajarin dia untuk jadi kertas HVS, biar bisa berguna banyak buat banyak hal, buat semua orang!”
Kali ini Moses tak mau kalah,”Tugas orang tua itu kayak printer, mencetak generasi penerus yang berkualitas. Jadi gak boleh lupa mengisi tinta, biar warnanya bagus dan tulisannya jelas! Gitu kan maksud kamu?”
“Itu ngerti!” balas Ardo dengan gembira disusul Azeta yang mengakhiri obrolannya dengan menekankan pentingnya memberikan dukungan yang cukup sebagai peran orangtua bagi anak-anaknya.
Pesan Moral:
Orang tua bertanggung jawab memberikan pengalaman hidup terbaik bagi anak-anaknya, meliputi menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan kondusif terkait tumbuh kembang mereka.
Mendidik anak dengan cara menakut-nakuti adalah salah satu bentuk kekerasan psikologis yang berdampak buruk pada perkembangan anak.
Mengancam anak dengan ketakutan, sifatnya kontraproduktif dan dapat berdampak buruk pada perkembangan jangka panjang mereka. Alih-alih menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif, orang tua justru menanamkan benih ketakutan dan ketidakpercayaan dalam diri anak.
Sebagai gantinya, marilah orangtua berinvestasi dalam membangun hubungan yang positif dengan anak-anak. Dengan memberikan dukungan emosional, membimbing mereka dalam menghadapi tantangan, dan merayakan keberhasilan mereka, orang tua dapat membantu mereka tumbuh menjadi individu yang mandiri, percaya diri, dan bahagia. Ingat, anak-anak layaknya bunga yang membutuhkan perawatan dan kasih sayang agar dapat tumbuh dengan indah. Mengancam anak dengan ketakutan, baik itu dengan ancaman hukuman yang berlebihan atau menciptakan rasa takut yang tidak berdasar, adalah bentuk kekerasan psikologis yang dapat menghambat perkembangan otak anak.
Penelitian dalam bidang neuroplasticity menunjukkan bahwa otak anak terus berkembang dan merespons lingkungannya. Ketika anak-anak terus-menerus terpapar ancaman, otak mereka akan membentuk koneksi saraf yang menguatkan respons ketakutan dan kecemasan. Hal ini dapat menghambat perkembangan kognitif, emosional, dan sosial mereka.
Perilaku orangtua yang justru menanamkan benih ketakutan dan ketidakpercayaan pada diri anak, sangat berlawanan dengan prinsip attachment theory yang menekankan pentingnya ikatan emosional yang aman antara anak dan pengasuhnya, terutama orang tua.
Ketika anak merasa aman dan terlindungi, mereka akan lebih berani untuk mengeksplorasi dunia dan mengembangkan potensi mereka. Dengan menerapkan prinsip positive reinforcement, orang tua dapat mendorong perilaku positif pada anak melalui pujian, penghargaan, dan penguatan. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi intrinsik mereka.
Selain itu, orangtua juga perlu membimbing anak-anak dalam menghadapi tantangan dan kegagalan. Dengan demikian, mereka akan belajar mengembangkan resiliensi, yaitu kemampuan untuk bangkit kembali setelah menghadapi kesulitan.
Dengan memberikan dukungan emosional yang konsisten, orangtua telah membantu anak membangun fondasi yang kuat untuk masa depan mereka. Mereka akan tumbuh menjadi individu yang mandiri, percaya diri, dan memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai tantangan hidup.
Kreator : Adwanthi
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Resilience
Sorry, comment are closed for this post.