KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Retak yang belum sembuh

    Retak yang belum sembuh

    BY 12 Des 2024 Dilihat: 117 kali
    Retak yang belum sembuh_alineaku

    Malam itu, aku duduk di meja kecil di sudut kamar, surat dari Papa tergeletak di depanku. Aku membaca ulang setiap kata, membiarkan pesan-pesan itu meresap ke dalam pikiranku. Namun, semakin aku mencoba memahami, semakin banyak pertanyaan yang muncul. 

    Kenapa mereka kehilangan aku? Kenapa mereka tidak menemukanku lebih cepat? Dan, kenapa aku tidak merasa lega meski akhirnya aku tahu siapa keluargaku?

    Ketukan pelan di pintu membuyarkan pikiranku.

    “Nak Mayang, boleh Mama masuk?” suara Nyonya Aditya terdengar dari balik pintu.

    Suara itu—”Mama”—terasa aneh di telingaku. Aku belum sepenuhnya yakin dengan panggilan itu.

    Aku menghela napas, menatap surat di depanku sejenak sebelum menjawab.

    “Masuk saja, Ma.”

    Nyonya Aditya masuk perlahan, membawa secangkir teh hangat di tangannya.

    “Mama pikir kau mungkin membutuhkannya, Nak.” katanya sambil meletakkan cangkir itu di meja.

    Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Ia duduk di kursi di seberangku, wajahnya penuh kelembutan tapi juga kecanggungan, seperti seseorang yang tidak yakin apakah ia diizinkan untuk berada di sini.

    “Nak Mayang,” suaranya pelan namun jelas.

    “Mama tahu ini semua terasa sulit untukmu, Nak. Mama juga tahu kau mungkin merasa marah, atau bingung. Tapi, Mama hanya ingin kau tahu, Mama benar-benar bersyukur kau di sini sekarang.”

    Aku menatapnya, mencoba menemukan sesuatu dalam kata-katanya yang bisa kubaca sebagai kebohongan, tapi aku tidak menemukannya. Matanya yang basah terlihat tulus, bahkan lelah, seperti seseorang yang telah menangis terlalu banyak dalam hidupnya.

    “Mama…”

    Aku mencoba memanggilnya begitu, meskipun rasanya aneh. Kata itu hampir tak keluar dari mulutku, seperti terjebak di tenggorokan.

    “Aku tidak tahu apakah aku bisa langsung menerima semuanya. Dua puluh tahun… itu bukan waktu yang singkat.”

    Nyonya Aditya mengangguk, air mata menetes di pipinya.

    “Mama mengerti, Nak. Mama tidak akan memaksamu. Mama hanya ingin kita punya kesempatan untuk mengenal satu sama lain lagi.”

    Aku menunduk, memainkan tepi surat dengan ujung jariku.

    “Aku juga tidak tahu apakah aku bisa memaafkan kalian.” Suaraku nyaris berbisik, tapi aku tahu ia mendengarnya.

    Mama mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

    “Itu hakmu, Nak. Dan, Mama tidak akan menyalahkanmu jika kau membenci kami. Tapi Mama tidak akan berhenti berusaha untuk mencintai dan menyayangimu. Apapun yang terjadi, kau tetap anak Mama.”

    Keesokan paginya, rumah mulai sibuk sejak dini hari. Aku terbangun oleh suara langkah kaki Willy dan Jay di lorong, serta aroma kopi dan roti panggang yang memenuhi udara. Meski rasa canggung masih menggantung di antara kami, aku memutuskan untuk keluar dari kamar dan mencoba bergabung.

    Di ruang makan, Willy sedang menuangkan kopi ke cangkir, sementara Jay mengoleskan mentega di sepotong roti. Mama berdiri di dapur, mengaduk sup yang sedang dimasaknya. Semua terlihat begitu harmonis, seolah-olah ini adalah rutinitas sehari-hari yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Aku merasa seperti orang asing yang tiba-tiba tersesat ke dalam adegan yang tidak seharusnya kulihat.

    “Pagi, May!” sapa Willy ceria saat melihatku berdiri di ambang pintu.

    “Kopi? Atau teh?”

    Aku ragu sejenak. “Teh, mungkin.”

    Jay menarik kursi di sebelahnya.

    “Duduklah. Sarapan sudah hampir siap.”

    Aku duduk dengan kikuk, merasa aneh berada di tengah keluarga yang tampak begitu santai. Saat Willy menyodorkan secangkir teh hangat, aku melihat sekilas senyuman di wajahnya, seperti ia mencoba membuatku merasa nyaman. Tapi aku hanya bisa mengangguk singkat, terlalu canggung untuk membalas senyumannya.

    “Jadi, apa rencanamu hari ini?” tanya Jay sambil mengunyah rotinya.

    Aku terdiam.

    Aku bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Selama ini, hari-hariku selalu penuh dengan rutinitas sederhana: bekerja, pulang, lalu tidur. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda, seolah-olah aku harus mulai merancang ulang hidupku.

    “Kau ingin keluar? Jalan-jalan mungkin?” usul Willy.

    “Aku bisa menemanimu.”

    Aku menggeleng.

    “Aku belum siap.”

    “Baiklah,” katanya sambil mengangkat bahu.

    “Tapi tawaranku selalu terbuka.”

    Setelah sarapan, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang. Tempat itu kecil, tapi setiap sudutnya memancarkan kehangatan yang sulit dijelaskan. Bunga-bunga warna-warni tertata rapi di sepanjang jalur setapak. Mawar merah dengan kelopak yang masih basah oleh embun berdiri di antara anggrek ungu yang merekah. Di sudut taman, rumpun melati putih menyebarkan aroma lembut yang terbawa angin pagi. Pohon besar di tengah taman itu terlihat kokoh, dengan dahan-dahan yang melambai perlahan seolah menyambutku.

    Aku duduk di bangku kayu di bawah pohon besar itu. Permukaannya kasar, penuh guratan yang sepertinya dibiarkan begitu saja oleh waktu. Dari sini, aku bisa melihat seluruh taman, bagaimana bunga-bunga itu membentuk pola yang hampir menyerupai pelukan. Tapi aku tidak merasakan kehangatan itu.

    Angin menyapu wajahku, membawa aroma tanah basah. Aku memejamkan mata, membiarkan pikiranku mengembara. Aku mencoba mengingat Papa—mencoba membayangkan sosok yang hanya kukenal melalui kata-kata.

    Apakah ia seperti pria yang kutemui di foto-foto lama? Apakah suaranya lembut, atau tegas? Apa dia benar-benar mencintaiku seperti yang tertulis di suratnya? Atau mungkin, ada saat-saat di mana dia merasa putus asa, ingin menyerah mencariku?

    Tapi mungkin, yang paling menyakitkan adalah pikiran bahwa dia pernah menyerah. Mungkin dia pernah berpikir aku sudah tidak ada, hilang untuk selamanya. Jika itu benar, apakah aku bisa menyalahkannya? Dua puluh tahun adalah waktu yang sangat lama untuk terus berharap.

    Aku membuka mata, mengembuskan napas panjang. Rasanya seperti ada sesuatu yang berat di dadaku, menekan setiap kali aku mencoba mengingat kenangan yang sebenarnya bukan milikku.

    “Papa sering duduk di sini,” sebuah suara lembut membuyarkan lamunanku.

    Aku menoleh. Mama berdiri tidak jauh dari bangku, tangannya memegang cangkir teh yang terlihat hampir kosong. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya, seperti biasa, membawa jejak lelah yang sulit disembunyikan.

    Dia melangkah mendekat, lalu duduk di sampingku di bangku kayu itu.

    “Dia suka memandang bunga-bunga ini sambil berbicara tentangmu,” katanya pelan, menatap taman di depan kami.

    “Tentang bagaimana dia membayangkan kau akan tumbuh besar, menjadi wanita yang kuat.”

    Aku menelan ludah, mencoba menahan sesuatu yang mulai mengganjal di tenggorokanku. Kata-katanya terasa nyata, tapi juga jauh. Bayangan seorang pria yang duduk di bangku ini, berbicara tentang seorang anak yang bahkan tidak ada di sisinya, terasa seperti mimpi yang suram.

    “Dia selalu bilang,” lanjut Mama, “suatu hari kau akan kembali. Dia tidak pernah kehilangan keyakinan itu.”

    Aku memandangi bunga-bunga di depan kami. Mawar-mawar itu tampak begitu hidup, begitu penuh warna. Tapi aku merasa seperti sedang menatap sesuatu yang tidak nyata. Rasanya aneh membayangkan seseorang merindukanmu begitu lama, sementara kau bahkan tidak tahu mereka ada.

    “Mama tahu Mama tidak punya hak untuk memintamu percaya dalam waktu sesingkat ini,” katanya lagi. Kali ini suaranya bergetar sedikit, tapi ia tetap mencoba terdengar tegar.

    “Tapi Mama harap kau tahu bahwa setiap keputusan yang kami ambil, semuanya karena kami ingin yang terbaik untukmu.”

    Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan kekacauan di dalam diriku. Kata-katanya, meski penuh kasih, tetap tidak bisa menghapus dua puluh tahun yang hilang begitu saja.

    “Tapi, kenapa aku harus hilang?” tanyaku akhirnya, suaraku lebih dingin dari yang kuharapkan.

    “Kenapa aku harus tumbuh besar tanpa kalian?”

    Mama menunduk, memandangi cangkir teh di tangannya. Air matanya mulai jatuh, membasahi permukaan cangkir itu.

    “Itu adalah pertanyaan yang Mama tanyakan pada diri Mama sendiri setiap hari, Nak. Dan sampai sekarang, Mama belum menemukan jawabannya.”

    Aku memalingkan wajah, menatap pohon besar di depan kami. Daun-daunnya bergoyang perlahan ditiup angin, menciptakan suara gemerisik yang hampir menenangkan. Tapi di dalam diriku, tidak ada yang tenang. Kata-kata Mama bergema di kepalaku, mengisi ruang yang seharusnya kosong.

    Kami duduk dalam diam cukup lama. Hanya ada suara angin, gemerisik daun, dan gelegar pelan dari kereta yang melintas jauh di sana. Aku tidak tahu apa yang Mama pikirkan saat itu, tapi aku merasa dia menungguku untuk mengatakan sesuatu, apa saja.

    Namun, aku tidak punya kata-kata yang tepat. Aku hanya bisa duduk di sana, membiarkan diam berbicara lebih banyak dari apa pun yang bisa kuungkapkan dengan suara.

    Malam itu, aku kembali ke kamar dengan langkah pelan. Udara malam yang dingin menyusup melalui celah jendela, tetapi aku tidak merasa terganggu. Pikiranku terasa lebih ringan, meskipun kekacauan kecil masih tersisa, seperti riak-riak di permukaan air yang tenang. Ada begitu banyak pertanyaan yang masih mengganjal, tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa mungkin aku tidak perlu menemukan semua jawabannya sekaligus.

    Aku menutup pintu kamar, membiarkan keheningan mengelilingiku. Cahaya lampu tidur yang hangat menyoroti dinding putih bersih, menciptakan bayangan samar di sudut ruangan. Aku meletakkan tanganku di dada, mencoba merasakan detak jantungku yang perlahan mulai tenang. Hari ini terasa panjang, penuh dengan percakapan dan emosi yang menggulung seperti ombak, tetapi untuk alasan yang tidak sepenuhnya kumengerti, aku merasa lebih… damai.

    Aku berbaring di tempat tidur, tubuhku tenggelam dalam kasur empuk yang terasa hampir terlalu nyaman. Langit-langit kamar tampak putih sempurna, tanpa cela, seperti kanvas kosong yang menunggu untuk diisi. Mataku menatapnya lama, mencoba mencari pola yang tidak ada, membiarkan pikiranku melayang bebas.

    Di meja kecil di sebelahku, surat Papa masih tergeletak. Amplopnya sedikit kusut setelah berkali-kali kubuka dan kulipat kembali. Aku meliriknya, merasakan getaran samar di dadaku, tapi kali ini tidak ada rasa takut. Surat itu bukan lagi sesuatu yang asing atau menakutkan. Aku tidak tahu apa yang berubah, tetapi aku tahu aku bisa membacanya lagi tanpa merasa tercekik oleh rasa sakit.

    “Ini baru permulaan,” gumamku pelan, hampir tidak terdengar di telingaku sendiri.

    Kata-kata itu terasa seperti pengingat sekaligus penegasan. Perjalanan ini baru saja dimulai, dan aku tidak yakin bagaimana semuanya akan berakhir. Masih ada begitu banyak hal yang belum ku ketahui—tentang mereka, tentang diriku, tentang semua yang terjadi selama dua puluh tahun terakhir.

    Aku memejamkan mata, membiarkan nafas perlahan mengalir masuk dan keluar. Dalam gelap, aku bisa mendengar suara detak jam di dinding, ritmenya stabil seperti napas seseorang yang sedang tidur nyenyak.

    Satu hal yang aku tahu pasti adalah bahwa aku tidak lagi berjalan sendirian. Mungkin itu yang paling menenangkan dari semuanya—kesadaran bahwa ada orang-orang yang, meskipun baru saja ku temui, siap berada di sisiku. Willy dengan senyum cerianya, Jay dengan tatapan penuh tanggung jawab, dan Mama dengan kata-katanya yang lembut namun tegas.

    Aku tidak tahu kapan aku mulai merasa seperti ini, kapan dinding yang kubangun selama bertahun-tahun mulai retak. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, aku merasa seperti ada celah kecil yang cukup untuk cahaya masuk. Itu bukan kehangatan yang tiba-tiba memenuhi seluruh ruangan, tetapi cukup untuk membuatku merasa aman, setidaknya untuk saat ini.

    Angin malam berhembus pelan, menyentuh wajahku melalui tirai jendela yang sedikit terbuka. Aku menghela napas panjang dan membiarkan tubuhku tenggelam lebih dalam ke tempat tidur. Langit-langit putih itu kini terasa seperti langit baru, tempat aku bisa menggantungkan harapan kecil yang mulai tumbuh di dalam diriku.

    “Tidak apa-apa untuk butuh waktu,” bisikku pada diriku sendiri, seolah meyakinkan hatiku.

    “Tidak apa-apa untuk tidak tahu segalanya sekarang.”

    Dalam keheningan malam itu, aku merasa tidak sendirian. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tetapi untuk pertama kalinya, aku tidak merasa takut untuk mengetahuinya.

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: Retak yang belum sembuh

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021