Sebuah Orkestra Rasa dari Lima Penulis Hebat
Bukan sekadar antologi, ini adalah kepingan hidup dari lima penulis luar biasa yang menenun gagasan, pengalaman, luka, dan harapan menjadi satu rangkaian karya penuh makna.
Di tangan mereka, Taluh bukan sekadar nama; tapi jiwa yang hidup dalam berbagai bentuk: sebagai pelajar, pendidik, ibu, pemimpin, atau pejuang yang diam-diam menyimpan badai namun tetap tersenyum.
Titi Inayati; Membesarkan Anak dan Ilmu dengan Cinta
Titi membuka buku ini dengan kelembutan yang menghunjam. Lewat Meaningful Learning, ia tidak hanya membahas metode pembelajaran, tapi menghadirkan roh pendidikan itu sendiri; bahwa belajar harus menyentuh hati, bukan sekadar menyentuh kepala.
Tulisannya It Takes a Village to Raise a Child adalah pengingat kuat bahwa membesarkan anak adalah tugas kolektif. Bahwa pendidikan sejati terjadi tidak hanya di kelas, tapi di rumah, di jalan, di pasar, dimanapun ada kasih dan keteladanan.
“Anak bukan kertas kosong yang harus diisi. Mereka adalah taman yang perlu dipahami, disirami, dan dicintai.”
Titi menulis seperti seorang ibu yang memeluk, bukan memerintah. Dan dari tulisan itu kita belajar bahwa cinta adalah bentuk pendidikan paling murni.
Arie Widowati; Ketika Ilmu Menyatu dengan Nurani
Arie hadir dengan ketajaman pemikiran dan kelembutan hati. Dalam tulisannya tentang pemanfaatan teknologi nuklir untuk mengatasi gizi buruk, ia menegaskan bahwa sains bukan untuk ditakuti, tapi untuk dimaknai. Ia membawa kita pada kisah-kisah nyata di mana isotop dan teknologi nuklir menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia yang kekurangan gizi.
Di sisi lain, ia menampilkan harapan baru dalam Menggenggam Masa Depan Bersih, mengajak kita berpikir bahwa teknologi bisa jadi jalan menuju bumi yang lebih sehat; bila digerakkan oleh hati nurani.
“Ilmu yang tidak menyentuh kehidupan, hanya akan menjadi angka. Tapi ilmu yang digunakan untuk menyelamatkan hidup, adalah cinta yang mewujud dalam bentuk paling terang.”
Arie menulis bukan hanya dengan logika, tapi dengan kompas kemanusiaan.
Leli Suryani; Sunyi yang Menyembuhkan
Leli tidak bicara keras. Ia menulis dengan suara lirih yang menyentuh hati terdalam. Dalam kisahnya, Desember tidak selalu tentang kembang api dan pesta. Namun tentang refleksi, tentang merangkul luka-luka lama yang belum sempat sembuh, dan tentang harapan yang pelan-pelan tumbuh kembali.
Ia mengajak pembaca untuk tidak lari. Karena kadang, dalam diam itu, kita akhirnya menemukan diri kita yang sesungguhnya.
Leli menunjukkan bahwa menulis bisa jadi terapi. Setiap paragraf bisa membuat pembaca terdiam, menghela nafas panjang atau bahkan menitikkan air mata; karena seakan sedang membaca luka dan harapan mereka sendiri.
Umul Muarofah; Merawat Jiwa, Menyambut Cahaya
Umul hadir sebagai penyejuk. Tulisannya tentang kesehatan mental dan pesan-pesan inspiratif bulan Desember; hadir seperti segelas teh hangat di malam dingin.
Ia tidak menggurui. Ia hanya bercerita dengan jujur. Tentang bagaimana hidup kadang penuh tekanan, namun selalu ada ruang untuk pulih. Ia mengajak kita untuk mendengar suara dalam diri, untuk tidak malu mengakui lelah, dan untuk tetap percaya bahwa langit tak pernah benar-benar gelap bagi yang mau menengadah.
“Kita tidak selalu harus kuat. Kadang, keberanian terbesar adalah ketika kita jujur pada rasa rapuh kita sendiri.”
Tulisan Umul adalah sahabat bagi siapapun yang sedang mencoba bertahan.
Hary Kuswanto; Dari Luka ke Lompatan, dari Konfrontasi ke Kolaborasi
Hary menutup simfoni ini dengan kekuatan yang menyentak. Ia bicara tentang konflik, tantangan, dan bagaimana semua itu bisa menjadi titik balik yang luar biasa bila dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang bersih.
Melalui “Mengubah Tantangan Menjadi Kesempatan” dan “Dari Konflik ke Sinergi”, Hary menghadirkan potret nyata kehidupan kerja dan sosial; bahwa hidup bukan tentang menghindar dari masalah, tapi tentang mengolahnya menjadi pijakan naik.
Ia menulis sebagai pria yang matang secara emosional, pemimpin yang mengerti bahwa kemenangan terbesar bukan mengalahkan orang lain, tapi mengalahkan ego sendiri.
Penutup; Taluh Adalah Kita
Taluh bukan tokoh fiktif. Ia adalah kita; yang pernah rapuh namun tetap berdiri. Yang pernah ingin menyerah, tapi memilih menyalakan lilin di tengah gelap. Yang tidak selalu tahu arah, tapi tetap berjalan sambil berdoa.
“Desember Ceria; Suara Hati Taluh” adalah buku yang layak jadi teman di penghujung hari, saat kita butuh istirahat bukan hanya dari rutinitas, tapi dari luka-luka yang belum sempat dibalut.
Buku ini cocok untuk guru dan pendidik yang ingin kembali pada hakikat mengajar; pemimpin yang ingin memimpin dengan empati; orang tua yang sedang belajar memahami anak dan diri sendiri; dan siapa pun yang sedang mencari makna dalam sunyi Desember.
Karena di tengah riuh dunia, Taluh hadir sebagai suara hati yang tak pernah lelah menyuarakan kebaikan❣️💕💞
Bogor, 23 Juni 2025
Kreator : Nurul Jannah
Comment Closed: Review Buku: “Desember Ceria; Suara Hati Taluh”
Sorry, comment are closed for this post.