Reyhan duduk sendirian di beranda rumahnya yang kecil di pinggir kota. Matahari sore mulai tenggelam, menyisakan semburat jingga di langit. Ia memeluk lututnya, menggigit bibir bawah, dan menatap jalan kecil di depan rumah yang sepi.
Di dalam rumah, suara televisi menggelegar. Adiknya, Lala, menangis karena Ibu memarahinya. Lagi-lagi soal hal kecil—susu tumpah, mainan berantakan, atau kamar yang tidak rapi. Sudah biasa. Suara seperti itu terdengar setiap hari di rumah ini.
Reyhan mendengus pelan. Ia baru kelas enam SD, tapi entah kenapa akhir-akhir ini merasa… tidak betah di rumah sendiri. Tidak ada yang memukul, tidak ada kekerasan. Tapi juga tidak ada pelukan. Tidak ada canda. Tidak ada tanya yang tulus.
Ayah pulang malam, Ibu selalu terlihat lelah dan kesal, Lala sering menangis. Dan dirinya? Hanya seperti penghuni tambahan yang tidak terlalu dianggap ada.
Malam itu, setelah mencuci kaki dan masuk kamar, Reyhan menulis di buku tulis bekas:
“Perjalanan Mencari Cinta di Rumah”
Ia menuliskan dengan spidol biru besar-besar.
Di bawahnya ia tulis:
“Cinta bukan cuma soal suka terhadap lawan jenis. Aku cuma mau rumah ini hangat lagi Seperti dulu.”
Membantu Ibu
Keesokan paginya, Reyhan bangun lebih awal. Ia menyapu halaman sebelum Ibu bangun. Lalu membantu Lala memakai kaus kaki dan menyiapkan bekal sekolah mereka berdua. Saat Ibu keluar kamar, wajahnya masih sayu.
“Lho, ini siapa yang nyapu?” tanya Ibu, setengah bingung.
“Aku, Bu” jawab Reyhan pendek.
“Kenapa? Ada apa?”
“Enggak, cuma pengen bantu.”
Ibu tak menjawab. Hanya diam tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, suara omelan pagi tidak terdengar. Reyhan mencatat itu sebagai “tanda kecil.”
Di sekolah, ia tidak cerita pada siapa pun. Bahkan pada Dimas, sahabatnya, ia hanya bilang, “Gue lagi cari sesuatu di rumah.” Dimas mengangkat alis, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu Reyhan bukan tipe yang suka menjelaskan.
Malamnya, Reyhan membantu Ibu mencuci piring. Walau hanya sedikit, dan tangan kecilnya kaku, Ibu sempat berkata, “Nanti sabunnya boros, Han.” Tapi ucapannya itu… diiringi senyum tipis bukan omelan.
Bermain Bersama Lala
Hari kedua, Reyhan pulang sekolah dan tidak langsung masuk kamar. Ia mencari Lala di ruang tengah. Gadis kecil itu sedang menggambar di atas lantai, dengan krayon berantakan di sekelilingnya.
“Mau Abang temenin?” tanya Reyhan, duduk di sebelahnya.
Lala mengangguk cepat, matanya berbinar.
Mereka menggambar rumah, matahari, dan orang-orangan dengan kepala besar. Lala menggambar semua orang satu-satu: Ayah, Ibu, Reyhan, dan dirinya sendiri.
“Aku kasih hati di atas rumah.” katanya, sambil menambahkan simbol cinta besar berwarna merah muda.
Reyhan diam sebentar, lalu tersenyum. Ia menulis di bukunya malam itu:
“Lala masih percaya cinta itu ada di rumah. Mungkin aku juga harus belajar lagi dari dia.”
Menunggu Ayah
Hari ketiga, Reyhan tidak langsung tidur. Ia duduk di ruang tamu sampai jam delapan malam. Angin malam mulai dingin. Lampu ruang tengah menyala kekuningan. Suara motor akhirnya terdengar, Ayah pulang.
Pria itu tampak lelah seperti biasa—jaket lusuh, wajah berminyak, dan langkah kaki berat.
“Ayah,” sapa Reyhan.
Ayah menoleh cepat, tampak kaget.
“Ya, kenapa belum tidur?”
“Aku mau ngobrol sebentar.”
Ayah menghela napas. “Nanti ya, Ayah mau mandi dulu.”
“Sebentar aja… Aku cuma mau tanya satu hal.”
Ayah diam. Lalu duduk di kursi rotan yang sudah mulai reot.
“Ayah masih sayang sama aku nggak?”
Pertanyaan itu membuat Ayah terdiam. Dahi berkerut. Tatapannya lurus ke arah Reyhan yang duduk bersila di lantai.
“Ayah sayang… tentu aja. Tapi kenapa nanya kayak gitu?”
“Soalnya sekarang kita nggak pernah ngobrol. Ayah pulang malam, atau kalau ayah pulang sore di rumah hanya memandangi HP saja, aku juga nggak tahu Ayah lagi sibuk apa.”
Ayah mengangguk pelan. “Ayah kerja keras, Han. Supaya kalian bisa sekolah, biar kamu bisa punya masa depan.”
“Aku ngerti, Tapi… aku juga pengen Ayah di rumah nemenin aku belajar atau makan bareng, nggak setiap hari kadang aja cukup.”
Ayah memejamkan mata sebentar, lalu berdiri, dan mengusap kepala Reyhan perlahan.
“Maaf ya mulai besok Ayah berusaha memperbaiki semuanya.”
Reyhan mengangguk perlahan, di bibirnya tersungging senyum yang tipis, seraya berkata “terimakasih ayah, sudah mendengarkan kegalauanku.”
Perubahan Kecil
Hari-hari berikutnya tidak berubah drastis, tapi Reyhan merasakan ada yang mulai bergeser. Ibu mulai menyapa lebih lembut, Lala lebih ceria. Ayah, meski tetap pulang malam, kini menyempatkan lima belas menit duduk bersama mereka di meja makan. Walau hanya ngobrol soal game atau pertandingan sepak bola, bagi Reyhan, itu sudah cukup.
Suatu sore saat hujan deras dan listrik padam, keluarga mereka duduk bersama di ruang tengah dengan lilin kecil. Ibu mulai bercerita soal masa kecilnya, Ayah ikut menimpali. Reyhan dan Lala tertawa. Tidak ada televisi, tidak ada ponsel hanya mereka berlima dan suara hujan.
Malam itu, Reyhan merasa rumah itu benar-benar seperti rumah lagi.
Sepuluh hari setelah petualangan kecilnya dimulai, Reyhan membuka kembali buku tulisnya. Halaman terakhir ia isi perlahan:
“Cinta itu bukan selalu pelukan atau kata-kata manis. tapi hadir dalam hal kecil: perhatian, mendengar, tertawa bersama, kadang kita pikir cinta hilang dari rumah, padahal ia cuma sembunyi di balik lelah dan diam. Kalau dicari, cinta itu bisa ditemukan lagi.”
Ia menutup buku itu dan menyimpannya di dalam laci.
Suatu pagi, Ibu menyentuh pundaknya sebelum berangkat sekolah.
“Terima kasih ya, Han. Kamu anak hebat.”
Reyhan hanya tersenyum. Ia tidak butuh banyak kata. Ia tahu sekarang: cinta memang tidak pernah pergi dari rumah. Kadang hanya perlu dipanggil pulang.
Kreator : Aminatus Sayidah
Comment Closed: Rindu Rumah
Sorry, comment are closed for this post.