Siang itu dengan tekad yang bulat Mang Komar berangkat dari Jawa Tengah menuju Lampung, dengan tujuan hendak mencari rezeki. Sebenarnya sudah bukan waktunya lagi orang tua seusia Mang Komar pergi merantau. Usianya yang kini kurang lebih sudah mencapai 60 tahun tentu membuat tenaganya tak sekuat dulu. Namun semangatnya untuk menghidupi keluarga membawanya ikut bekerja sebagai pekerja jalan. Kebetulan waktu itu ia mendengar kabar dari tetangganya ada proyek pembangunan jalan ke Lampung. Tanpa pikir panjang ia pun segera mendaftarkan diri. Kondisi ekonomi keluarga yang sulit dan lapangan pekerjaan yang sangat minim membuat kehidupan mang Komar dan keluarga sangat memprihatinkan. Ditambah harga-harga kebutuhan pokok yang kian melambung tinggi.
Dulu ia terbiasa menyadap nira aren milik saudaranya untuk dibuat gula merah. Itupun hasilnya tak seberapa karena harus bagi hasil dengan si pemilik aren. Terkadang ia juga buruh tani di kampungnya saat musim tanam padi tiba. Namun sekarang padi-padi itu tinggal beberapa bulan lagi panen. Sementara pohon-pohon aren yang biasa disadapnya sudah kurang produktif. Sang istri juga terbiasa buruh cuci pakaian ke tetangga, tapi hasilnya hanya cukup untuk membeli sayur sehari-hari.
Sesampainya di Lampung, ia teringat dengan saudara kandungnya yang sudah lama sekali tidak bertemu. Kurang lebih sepuluh tahun lamanya tidak saling mengunjungi. Selain jarak tempuh juga karena kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Jangankan untuk ongkos ke Lampung, buat makan sehari-hari saja rasanya sangat sulit. Seminggu telah berlalu sejak ia bekerja ikut mandornya itu, keinginannya untuk bertemu saudaranya pun makin besar. Kerinduannya itu membuatnya sering bermimpi bertemu dengan Kang karim saudara kandungnya. Hal itu membuat batinnya terasa tersiksa. Bahkan hal itu cukup mengganggu pikirannya. Segera diutarakan keinginannya itu kepada mandornya. Sebenarnya sang mandor merasa berat hati dengan permohonan Mang Komar, mengingat baru satu minggu mang Komar bekerja. Tapi karena keinginan Mang komar yang begitu besar membuatnya tak tega hingga akhirnya mengizinkannya.
Pagi itu dengan wajah yang berbinar-binar dan penuh semangat, Mang Komar segera mencari kendaraan ke arah daerah tempat saudaranya tinggal. Rasanya ia sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu. Perjalanan yang cukup panjang membuat tubuh tuanya mulai merasa lelah dan matanya pun mengantuk. Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu saudaranya itu. Saudaranya memakai baju serba putih dengan wajah tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya. Mang Komar pun segera memanggil namanya. “Kang Karim..Kang Karim..!”, teriaknya. Namun yang dipanggilnya justru tiba-tiba menghilang. Tersentak kaget ia saat sang sopir membangunkan tidurnya. “Mbah..Mbah..bangun, sudah sampai pasar”. “Astaghfirullahaladzim”….sudah sampai rupanya, Ya tuhan kiranya aku hanya bermimpi”. Ucapnya. Segera ia turun dari mobil dan membayar ongkos ke sopir sambil tak lupa mengucapkan terima kasih.
Jarak dari pasar menuju rumah Kang Karim kurang lebih hanya seratus meter, jadi Mang Komar tak perlu naik ojek. Sementara keluarga di Jawa tengah cemas menunggu kabar di mana keberadaan Mang Komar. Karena ternyata beliau pergi tanpa pamit. Entah lupa atau memang sengaja. Tinggal beberapa langkah kaki saja mang komar sampai di rumah Kang Karim, namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat bendera kuning tertancap tepat di depan rumah saudaranya itu. “Ya Tuhan…ada apa ini?, benarkah Kang Karim meninggal?, inikah arti mimpiku tadi di mobil?. Ah, mudah-mudahan saja bukan”. Begitu katanya dalam hati.
Assalamu’alaikum…pintu rumah sudah terbuka dan nampak ibu-ibu tua menyambut kedatangannya. “Yuk, bagaimana kabarmu?”. Tanyanya pada perempuan tersebut. Ia adalah istri dari Kang Karim. Yang ditanya bukannya menjawab malah menangis tersedu-sedu. “Yuk, ada apa ini?, siapa yang meninggal, kenapa ada bendera kuning di depan?”. Begitu pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. “Kakangmu Mang..”. Jawab Yuk Darni. “ Innalillahi wainnailaihi rojiun, ya ampun Kang… kenapa engkau sudah pergi?. Kerinduanku kini tak kan pernah terobati”. Ucap Mang Komar. Lalu ia pun terdiam dan duduk di kursi sambil meneteskan air mata. Ia baru sadar mengapa selama ini kerinduannya begitu mendalam pada saudaranya itu. Tak lama ia meminta tolong keponakannya untuk menghubungi keluarganya di Jawa, guna memberitahu keberadaannya sekarang. “ Maafkan aku Kang, aku yang selama ini tak pernah mengunjungimu, dan sekarang engkau pergi takkan pernah kembali lagi. Hanya doa yang bisa kupanjatkan, semoga kau tenang di sana”. Ucapnya dalam hati.
Kreator : Sri Dewi Rejeki
Comment Closed: Rindu Tak Terbalas
Sorry, comment are closed for this post.