Senin, 30 Oktober 2023 lalu menjadi hari yang paling menyedihkan buat kami sekeluarga besar. Pedih, perih, sedih, yang tak terkira. Luka yang begitu mendalam, bagai tersayat sembilu rasanya. Luka yang entah sampai kapan kan terobati. Begitu terpukulnya kami. Ya Tuhan…..takdirmu sungguh tak bisa terelakkan. Rasanya tak dapat diungkapkan lewat kata-kata manapun kesedihan yang kami rasakan. Bagaimana tidak, keponakan kami tercinta yang baru saja duduk dibangku SMA kelas sepuluh harus pergi untuk selamanya.
Hari itu, sesaat sebelum adzan berkumandang kami terbangun dari lelapnya malam panjang. Bergegas kami mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat subuh berjamaah di rumah. Setelah itu tak lupa seperti biasa kubaca Al Qur’an terlebih dahulu sebelum memulai aktivitas pagi. Hari ini adalah jadwal upacara pengibaran bendera di sekolah, itu artinya aku harus berangkat lebih awal dari biasanya. Namun, sebelum ke dapur kuambil handphone untuk cek baterai lalu mengecasnya.
Sebelum tidur malam aku selalu mematikannya. Ku aktifkan HP ku, bunyi pesan dan panggilan masuk terdengar begitu ramai. Aku mulai curiga…ada apakah ini?. Ah, moga semua baik-baik saja pikirku. Satu persatu kubuka kontak yang sebelum subuh tadi menghubungiku. Juga grup keluarga. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un telah meninggal dunia Firdias Eboy bin Hari Wibowo, semoga Allah berikan tempat terbaik di sisiNya. Begitu bunyi salah satu pesan masuk yang kubaca. Kaget luar biasa bercampur sedih tak terkira mimpikah aku? Tak kuasa tangisku pun pecah sambil terus kubaca istighfar untuk menenangkan hatiku. “ Ada apa bunda?, ada apa! Pertanyaan yang sama terlontar dari mulut suami dan juga dua anakku. Kelu rasanya lidah ini untuk bicara hingga tak kuasa ku menjawab pertanyaan mereka.
Tak menunggu lama segera kami bersiap-siap untuk pergi ke rumah duka. Sesampainya di sana keluarga sudah berkumpul. Kami Pun masuk lalu mendoakan almarhum. Ingin sekali aku mencium dan memeluknya untuk yang terakhir kalinya, tapi entahlah sekedar membuka penutup wajahnya saja aku tak sanggup. Kuhampiri ibunya, mak….begitu panggilan akrab kami untuk kakak iparku. “Begitu cepatnya semua ini mak….rasanya baru kemarin kita masih bersama-sama”. Baru kemarin si kembar lulus SMP dan sekarang sudah duduk di bangku SMA. Tapi maut telah memisahkan kita. “Yang sabar ya mak, kita ikhlaskan dan doakan semoga Allah mengampuni semua dosa-dosanya dan menerima segala amal perbuatannya”. Bibirku bisa berkata seperti itu guna menghibur kakak iparku, tapi hati ini remuk redam rasanya.
Setelah selesai mengurus jenazah, memandikan, mengkafani dan menyolatkan keluarga pun segera mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya. Namun, sejenak kami harus bersabar menunggu karena ada saudara yang sedang dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Tak lain dia adalah kakak dari almarhum. Terlihat begitu lemas dan pucat wajahnya saat sampai di rumah melihat adiknya tercinta telah terbujur kaku.
Sesampainya di pemakaman keluarga segera memasukkan jenazah ke liang lahat. Panasnya terik mentari kala itu tak menyurutkan semangat para penggali kubur. Terlihat keringat mereka mengalir deras. Bukti betapa lelahnya mereka. Tepat di depan makam kulihat adik kembarnya tak mampu berdiri menyaksikan pemakaman kakaknya. Begitu sedih rasanya. Dia yang selama ini menjadi teman dalam kesehariannya. Suka-duka dilalui bersama harus lebih dulu meninggalkannya. Kupegang pundaknya sambil kubisikkan….“Le….kamu yang kuat ya?, yang tegar, sabar, ikhlaskan dia, Kamu tidak boleh lemah”.
Kuambil bunga dan kutaburkan di atas pemakaman, sambil terus mendoakan semoga Allah memberikan tempat yang layak untuk keponakan kami tercinta. Ayah dan ibunya terlihat begitu berduka, rasanya tak rela melepas kepergian putranya. Setelah prosesi pemakaman usai kami pun beranjak pulang. Sampai di rumah aku mencoba menanyakan penyebab meninggalnya keponakan kami itu.
Malam itu tak biasanya Eboy pergi ke rumah sahabatnya yang berjarak kurang lebih 2,5 KM dari rumahnya. Di sana telah berkumpul teman-temannya yang lain. Melihat kedatangan Eboy tuan rumah juga semua temannya menyambutnya dengan gembira. Pukul 21.30 WIB Eboy pulang. Ketika sudah hampir sampai rumah, tiba-tiba terdengar bunyi suara motor menabrak pohon di pinggir jalan, sepertinya remnya ngancing. Begitu kata saksi mata yang tengah duduk di teras rumah tepat di depan tempat terjadinya kecelakaan tunggal tersebut yang juga masih merupakan saudara almarhum. Langsung saja dibawanya korban menuju rumah praktek dokter yang tak jauh dari lokasi. Sesampainya di sana sang penolong segera memberi kabar orang tuanya.
Mendengar kabar anaknya kecelakaan, yang tergambar dalam angan ibunya adalah badan yang berlumuran darah. Maka ia pun menyiapkan pakaian untuk ganti. Sesampainya di rumah dokter sang ibu kaget karena ternyata tak ada darah yang menetes. Setelah diperiksa dokter menyarankan supaya membawa korban ke Puskesmas untuk dilakukan tindakan mengingat di rumahnya kurang lengkap peralatan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tentunya orang tua mulai panik dengan kondisi putranya itu. Sesampainya di Puskesmas korban segera diperiksa dan diberikan pertolongan pertama. Waktu itu keluarga yang lain pun seperti om dan nenek korban sudah berada di sana. Mereka bahkan sempat ngobrol dengan almarhum. Almarhum bicara pada ibunya…”Mak, aku ngantuk”. “Le, ada yang sakit nggak?”. “Nggak mak”. “Yadah istirahat dulu ya?”. Almarhum yang terbiasa tidur ditemani bantal guling ini pun mulai terlelap tidur.
Tak lama dokter menghampiri keluarga dan mengatakan bahwa almarhum harus segera dibawa ke rumah sakit mengingat luka dalamnya yang cukup parah dan harus segera diberikan pertolongan. Mendengar hal itu Sang ibu dan ayah berpamitan pada om dan nenek supaya menjaga putranya, karena mereka akan pulang untuk menyiapkan segala perlengkapan yang harus dibawa ke rumah sakit. Baru saja beberapa menit mereka pergi ternyata sang anak justru dipanggil Sang Maha Pencipta. Si nenek dan om langsung menghubungi handphone ibunya. Tapi sayang sekali panggilan berulang-ulang tak juga terjawab.
Setelah selesai berkemas ibu dan ayah almarhum segera menuju ke Puskesmas. Betapa terkejutnya mereka mendapati putranya yang sudah tak bernyawa. Rasa penyesalan yang tak terkira, begitu sesak rasa di dada. Andai saja tau putranya akan meninggal, tentu mereka memilih untuk menunggu nya. Takdir memang tak bisa disangka. Dan kematian tak harus menunggu tua. Sungguh banyak pembelajaran yang begitu berharga. Bagaimana belajar ikhlas, sabar, kuat dan tegar menghadapi segala yang Allah berikan. Semoga keluarga senantiasa diberi kekuatan menerima semua ini. Meski kini betapa rindu ini terasa menyiksa, namun jumpa takkan pernah ada.
Kreator : Sri Dewi Rejeki
Comment Closed: Rindu yang Menyiksa
Sorry, comment are closed for this post.