Beberapa hari yang lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut konsumsi rokok di Indonesia terbesar kedua setelah beras, bahkan lebih besar daripada konsumsi protein seperti telur dan ayam. “Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 % untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63% untuk masyarakat miskin pedesaan. Itu adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur, ayam, tahu maupun tempe yang dibutuhkan masyarakat.” Kata Menteri Keuangan seperti dilansir Bisnis.com (4/11/2022).
Pernyataan ibu Menkeu menarik untuk dicermati, sekaligus menjadi sebuah ironi. Bahwa masyarakat miskin justru lebih mengutamakan rokok daripada mengalokasikan uangnya untuk membeli makanan yang bergizi. Memang salah satu ciri menonjol dari negara berkembang adalah konsumsi rokoknya yang tinggi, hal ini bisa dilihat dari beberapa negara dengan jumlah perokok terbesar antara lain, India, Indonesia, Filiphina, Bangladesh.
Pemerintah sebenarnya telah begitu gencar melakukan upaya untuk menekan jumlah perokok di Indonesia, mulai dari memberikan iklan tentang bahaya merokok, sampai yang paling aktual yaitu rencana menaikan cukai rokok menjadi rata-rata 10% pada Tahun 2023 dan 2024. Disisi lain edukasi tentang bahaya rokok juga dilakukan pada program-program kesehatan, semisal kegiatan UKS di sekolah. Perlu dikaji lebih dalam kaitan antara tingkat pendidikan atau intelektualitas dengan pilihan seseorang terhadap suatu hal, misalnya apakah pilihan untuk menjadi perokok banyak terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah.
Perlu ditempuh cara-cara luar biasa dan sepenuh hati untuk menanggulangi permasalahan rokok di Indonesia. Kita tahu bahwa perokok di Indonesia cenderung seenaknya dan tidak menghormati orang lain, sehingga bahaya rokok tidak hanya menimpa dirinya sendiri tapi juga orang lain di sekitarnya. Menurut hemat saya ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk menekan angka perokok antara lain :
Menaikan cukai menjadi lebih tinggi
Dengan menaikan cukai rokok otomatis harga jual rokok akan ikut mengalami kenaikan. Sebagai perbandingan di negara Australia misalnya harga sebungkus rokok Marlboro dijual Rp. 368.128, atau sekitar 10 kali lipat harga jual di Indonesia. Selain itu dengan naiknya harga jual terdapat keuntungan lain yaitu dapat ikut menekan daya beli masyarakat terhadap rokok.
Membatasi pendirian pabrik rokok
Pendirian pabrik rokok perlu dibatasi atau bila perlu dimoratorium, hal ini jika kita memang sepenuh hati untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia. Saat ini jika kita perhatikan yang menjadi fokus adalah pabrik rokok illegal, itu berarti pendirian pabrik rokok legal masih diperbolehkan.
Mengarahkan petani tembakau
Tidak adil rasanya jika kita hanya berfokus pada persoalan hilir tapi melupakan persoalan hulu. Perlu dipikirkan alternatif pencaharian bagi petani tembakau untuk beralih ke usaha atau menanam komoditas lain.
Keteladanan
Dibutuhkan keteladanan dalam segala hal. Kita memperhatikan di sekitar kita terutama di daerah, peraturan tentang kawasan tanpa rokok masih menjadi formalitas belaka. Tidak jarang dijumpai pejabat publiknya melakukan pelanggaran misalnya merokok di ruang publik ataupun merokok di ruang ber-AC.
Memperbanyak ruang khusus untuk merokok
Di negara maju seperti Jepang, perokok diberikan ruang khusus yang terlihat menyiksa yaitu ruang sempit yang membuat perokok menghirup sendiri asap rokoknya, hal tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera.
Membuat peraturan yang mengatur perijinan bagi penjual rokok, sehingga tidak setiap warung/toko dapat berjualan rokok secara bebas.
Terkadang untuk menjadi baik dibutuhkan tekad yang kuat, dan juga sedikit paksaan, hal ini hanya dapat dilakukan oleh pemerintah selaku pemilik otoritas atau kewenangan terhadap suatu negara. Masyarakat tentu akan mendukung setiap kebijakan yang diambil pemerintah untuk penanganan kesehatan dalam hal ini pengurangan jumlah perokok aktif.
Comment Closed: Rokok
Sorry, comment are closed for this post.