KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 3

    Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 3

    BY 05 Jan 2025 Dilihat: 183 kali
    Rona Rasa Dibalik Kanvas_alineaku

    Chapter 3: Kanvas Baru

    Beberapa bulan kemudian, Alya dan Raka mulai membangun hubungan mereka kembali. Namun, kali ini dengan pemahaman yang lebih dalam tentang satu sama lain. Mereka mulai bekerja sama di sebuah proyek seni kecil, bukan untuk galeri besar, tetapi untuk diri mereka sendiri.

    Alya menemukan kebebasan yang selama ini dia cari. Dia mulai menulis tentang seni dan menjalankan proyek-proyek yang mendukung seniman independen. Sementara itu, Raka terus melukis, kali ini tanpa rasa terpaksa, karena dia tahu bahwa Alya mendukung kebebasannya sebagai seniman.

    Hubungan mereka tumbuh perlahan, dengan warna-warna yang lebih lembut dan tenang, seperti kanvas baru yang siap untuk diisi dengan segala kemungkinan. Cinta mereka, meski tidak sempurna, mulai menemukan jalannya.

    Dengan kehadiran Alya di studio Raka, suasana menjadi lebih hidup. Mereka mulai menciptakan karya seni Bersama proyek yang mereka sebut “Kanvas Perasaan”. Raka melukis, sementara Alya menulis puisi yang terinspirasi dari lukisan tersebut. Setiap kali Raka menambahkan warna baru ke kanvas, Alya menambahkan bait puisi yang mencerminkan emosinya.

    Pada suatu sore, saat mereka sedang bekerja, Alya merasakan getaran dalam dirinya yang belum pernah ia alami sebelumnya.

    “Raka, apakah kamu pernah merasa bahwa sebuah lukisan bisa berbicara lebih keras daripada kata-kata?” tanyanya sambil mengamati warna-warna cerah yang mengalir di kanvas.

    Raka mengangguk.

    “Setiap kali aku melukis, aku merasa seperti membebaskan sebuah cerita yang terkurung. Warna-warna ini adalah bagian dari diriku—perasaan yang sulit diungkapkan. Seperti puisi yang kamu tulis, itu memberi makna pada semua yang kita rasakan.”

    Alya tersenyum, merasa seolah mereka berdua sedang berada dalam dunia yang sepenuhnya baru, di mana seni menjadi bahasa mereka. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada bayangan masa lalu yang masih menghantui mereka.

    Suatu hari, saat sedang berbelanja di pasar seni lokal, Alya mendengar bisikan tentang pameran seni besar yang akan datang. Meskipun dia tidak lagi bekerja di galeri, hatinya bergetar ketika dia mendengar bahwa Aditya berencana untuk mengundang seniman-seniman terbaik untuk mempersembahkan karya-karya mereka.

    “Raka, bagaimana kalau kita ikut pameran itu?” Alya bertanya di malam hari saat mereka menikmati teh di studio.

    Raka menatapnya dengan keraguan.

    “Kamu yakin? Itu artinya kita harus kembali ke dunia yang kau tinggalkan. Apakah kamu siap untuk itu?”

    Alya menghela napas.

    “Aku tidak ingin pergi ke sana sebagai kurator. Aku ingin pergi sebagai seniman bersama kamu. Kita bisa menunjukkan apa yang bisa kita buat bersama. Ini bukan tentang pengakuan atau uang, tapi tentang menunjukkan sisi seni yang lebih tulus.”

    Raka berpikir sejenak, lalu mengangguk.

    “Baiklah, kita coba. Tapi kita lakukan ini dengan cara kita sendiri. Kita tidak akan berkompromi dengan karya kita.”

     

    Malam pameran tiba. Studio Raka dihias dengan lukisan-lukisan mereka, lengkap dengan puisi-puisi Alya yang tertempel di samping kanvas. Mereka merancang ruang dengan cara yang mencerminkan kebebasan dan kreativitas sebuah tempat di mana orang bisa merasakan emosi yang terkandung dalam setiap karya.

    Saat acara dimulai, suasana di galeri dipenuhi oleh seniman, kritikus, dan penggemar seni. Alya dan Raka berdiri berdampingan di depan karya mereka, merasakan adrenalin yang bercampur dengan kegembiraan.

    Aditya mendekati mereka, wajahnya menunjukkan ketidakpastian.

    “Alya, kamu kembali! Karya ini… tidak biasa,” katanya, tampak terkejut namun tertarik.

    “Ini bukan tentang bisnis, Aditya. Ini tentang seni yang berbicara untuk diri sendiri,” jawab Alya dengan percaya diri.

    Setelah beberapa saat, orang-orang mulai mendekati karya mereka. Ada yang terpesona, ada pula yang bingung. Namun, yang paling penting, banyak yang merasakan kedalaman emosi dalam karya tersebut.

    Ketika malam semakin larut, seorang kritikus seni terkenal, Hanna, mendekati mereka.

    “Saya suka apa yang kalian lakukan di sini. Karya ini berbeda. Ini membawa pengalaman yang mendalam.”

    Kata-kata itu membuat Alya dan Raka merasa terbang. Mereka saling bertukar pandang, merasakan kebanggaan dan keberhasilan yang tidak hanya datang dari pengakuan, tetapi dari pencapaian yang telah mereka buat bersama.

     

    Setelah pameran itu, Alya dan Raka mulai mendapatkan perhatian yang lebih besar di dunia seni. Banyak orang mulai mengenali karya mereka, dan tawaran untuk pameran lainnya mulai berdatangan. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Alya merasa ada beban di pundaknya.

    “Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Raka? Apakah kita siap untuk menghadapi tuntutan dan ekspektasi baru ini?” tanyanya suatu sore, saat mereka duduk di teras studio, menikmati matahari terbenam.

    “Biarkan semua itu mengalir seperti air,” jawab Raka sambil menatap ke kejauhan.

    “Kita bisa mengambil kesempatan ini, tapi kita tidak boleh kehilangan jati diri kita. Ini adalah tentang seni, bukan tentang apa yang orang lain harapkan dari kita.”

    Alya tersenyum mendengar kata-kata Raka. Dia tahu bahwa bersama Raka, mereka bisa menemukan cara untuk menavigasi tantangan ini.

    “Aku rasa kita bisa membuat perjalanan ini lebih dari sekadar pameran, Raka. Bagaimana kalau kita mengadakan workshop seni? Kita bisa mengajak orang lain untuk merasakan seni dengan cara yang sama seperti yang kita lakukan.”

    Raka mengangguk, terinspirasi oleh ide Alya.

    “Itu ide yang bagus. Kita bisa berbagi proses kreatif kita dengan orang lain. Seni seharusnya menjadi pengalaman yang inklusif.”

     

    Mengukir Jejak Baru

    Seiring waktu berlalu, workshop yang mereka adakan semakin populer. Banyak peserta yang datang untuk belajar tentang cara melukis dan menulis puisi, serta menemukan cara untuk mengekspresikan diri mereka. Alya dan Raka menjadi mentor bagi banyak seniman muda, membantu mereka menemukan suara mereka sendiri.

    Di tengah kesibukan itu, hubungan Alya dan Raka semakin kuat. Mereka tidak hanya sebagai pasangan, tetapi juga sebagai rekan kerja yang saling mendukung dan mendorong. Setiap hari di studio menjadi petualangan baru baik dalam menciptakan seni maupun dalam menjalin cinta.

    Suatu malam, setelah menyelesaikan workshop, Alya dan Raka duduk bersama, memandangi langit berbintang.

    “Rasa syukur yang mendalam melanda diriku,” kata Alya.

    “Aku merasa hidupku kini lebih bermakna.”

    Raka menatap Alya dengan lembut.

    “Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan akan menemukan seseorang yang memahami dan mendukungku seperti kamu. Kamu adalah warna di kanvas hidupku.”

    Alya merasakan kehangatan di dadanya.

    “Dan, kamu adalah motivasiku untuk terus berjuang, Raka. Bersamamu, aku menemukan diri yang baru.”

    Tahun berlalu, dan karier seni mereka semakin berkembang. Pameran-pameran baru, publikasi, dan penghargaan mulai menghampiri. Namun, yang paling penting, mereka tetap berpegang pada prinsip awal mereka seni harus tetap menjadi pengalaman yang tulus dan tidak tertekan oleh dunia luar.

    Suatu malam, di studio mereka yang kini telah berkembang menjadi ruang seni yang nyaman dan inspiratif, Raka mengajak Alya untuk duduk di depan kanvas kosong. 

    “Mari kita buat sesuatu yang baru malam ini. Sesuatu yang bisa menggambarkan perjalanan kita.”

    Alya tersenyum lebar. 

    “Aku siap. Mari kita lukis masa depan kita bersama.”

    Mereka mulai melukis, menggabungkan warna-warna yang mencerminkan perjalanan emosional dan pengalaman yang telah mereka lalui. Setiap goresan kuas adalah ungkapan cinta, harapan, dan kebebasan yang mereka temukan di antara kanvas-kanvas yang telah terlukis sebelumnya.

    Ketika malam semakin larut, mereka menatap karya baru mereka sebuah lukisan yang menggambarkan perjalanan mereka dari ketidakpastian menuju kebahagiaan. Warna-warna cerah berpadu dalam harmoni, menciptakan gambaran indah yang mencerminkan cinta dan seni yang tidak terpisahkan.

    Alya dan Raka saling berpegangan tangan, menyadari bahwa mereka telah menemukan jati diri masing-masing, bukan hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai pasangan. Di balik kanvas, ada kisah yang tak terhingga, kisah cinta yang tak lekang oleh waktu, dan seni yang selalu menjadi penghubung di antara mereka.

     

    Setelah beberapa tahun berjalan, studio Raka menjadi pusat kreatif yang tidak hanya bagi mereka berdua, tetapi juga bagi banyak seniman muda. Banyak orang datang untuk belajar, berkarya, dan berbagi ide. Setiap hari, Alya dan Raka merasakan vibrasi positif yang mengalir di ruang itu.

    Suatu pagi, saat sedang bersiap untuk workshop baru, Alya menemukan selembar kertas di meja Raka. Ternyata, itu adalah sketsa wajahnya yang dibuat dengan cepat. Di bawah sketsa itu tertulis, “Seni adalah cara kita melihat satu sama lain.” 

    Alya merasa hatinya hangat. Karya-karya Raka selalu mampu menyentuh hatinya.

    “Raka, ini indah!” seru Alya sambil mengangkat kertas itu.

    “Kapan kamu menggambar ini?”

    Raka tersenyum sambil mengatur kuas di tangannya.

    “Tadi malam, saat kamu sedang tidur. Aku ingin menggambarkan betapa berartinya kamu dalam hidupku.”

    Alya merasa tersanjung.

    “Kamu tahu, kita harus memamerkan karya ini di workshop nanti. Orang-orang harus melihat bagaimana seni bisa menjadi ungkapan perasaan.”

    Raka mengangguk setuju.

    “Tentu. Dan aku juga ingin menggambarkan proses kita dalam berkarya. Kita akan membuat karya kolaborasi dengan para peserta.”

    Selama workshop itu, mereka berbagi pengalaman, tidak hanya tentang seni tetapi juga tentang kehidupan. Alya dan Raka mendorong peserta untuk mengeksplorasi perasaan mereka, dan lukisan demi lukisan mulai terlahir dari tangan-tangan muda yang penuh semangat. Melihat kebangkitan kreativitas di sekelilingnya, Alya merasakan sebuah kebahagiaan yang tulus.

     

    Hari-hari berlalu, dan Alya dan Raka semakin dikenal di kalangan seniman. Mereka menerima tawaran untuk mengadakan pameran seni di sebuah galeri besar di kota. Aditya, yang kini menjadi kurator seni terkemuka, menghubungi mereka dengan antusiasme yang baru.

    “Alya, Raka! Saya sangat terkesan dengan kerja keras kalian,” kata Aditya saat mereka bertemu di kafe. 

    “Pameran ini adalah kesempatan besar untuk menunjukkan karya kalian kepada dunia.”

    Raka terlihat ragu.

    “Aditya, kami tidak ingin terjebak dalam dunia komersial lagi. Kami ingin menjaga integritas seni kami.”

    Aditya mengangguk.

    “Saya mengerti. Tapi kali ini, kamu bisa mengatur konsep dan tema pameranmu sendiri. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan siapa kalian yang sebenarnya.”

    Alya merasa tertekan, namun sekaligus bersemangat.

    “Baiklah, mari kita pikirkan tema yang dapat merepresentasikan perjalanan kita. Sesuatu yang melibatkan kolaborasi antara kami dan seniman muda yang kami bimbing.”

    Raka tersenyum.

    “Aku suka ide itu. Mari kita panggil semua orang yang telah belajar di studio dan ajak mereka untuk berpartisipasi.”

    Selama beberapa minggu ke depan, mereka bekerja keras mempersiapkan pameran. Alya dan Raka mengundang para peserta workshop untuk berkolaborasi dalam membuat karya seni bersama. Proses ini menjadi pengalaman yang menyentuh bagi mereka semua. Setiap orang mengekspresikan diri melalui lukisan, puisi, dan instalasi.

    Pada suatu malam, mereka mengadakan pertemuan di studio. Raka mengatur lukisan-lukisan yang akan ditampilkan, sementara Alya mengorganisir pameran. Di tengah kesibukan itu, Alya merasa cemas. 

    “Raka, apakah kita benar-benar siap untuk menghadapi pameran ini? Bagaimana jika orang-orang tidak menyukainya?”

    Raka memegang tangan Alya.

    “Kita sudah melakukan yang terbaik. Yang terpenting adalah, kita telah menunjukkan sisi diri kita yang sebenarnya. Jangan biarkan ketakutan menghalangi kita.”

    “Benar. Aku hanya ingin agar semua orang merasakan kebebasan yang kita alami saat berkarya,” balas Alya.

    Ketika malam pameran tiba, atmosfer di galeri sangat hidup. Alya dan Raka menyambut pengunjung, dan seniman muda yang berpartisipasi terlihat bersemangat. Mereka mengamati orang-orang yang menikmati karya mereka, mendiskusikan interpretasi, dan merasakan emosi yang tersampaikan.

    Pameran berlangsung sukses, dengan banyak pujian datang dari para pengunjung dan kritikus. Alya dan Raka merasa terharu melihat orang-orang terinspirasi oleh karya mereka. Di tengah keramaian, mereka mendapati diri mereka berdiri di depan karya kolaborasi terbesar mereka—sebuah mural besar yang menggambarkan perjalanan mereka sebagai seniman dan sebagai pasangan.

    Di tengah kerumunan, Alya mendengar suara yang akrab.

    “Alya! Raka! Kalian luar biasa!” Aditya muncul di samping mereka, terlihat bersemangat.

    “Terima kasih, Aditya. Ini semua berkat dukunganmu,” balas Alya dengan senyuman.

    Aditya mengangguk.

    “Karya kalian sangat kuat dan autentik. Saya ingin mengajak kalian untuk berbicara di beberapa acara seni mendatang. Ini bisa menjadi platform yang bagus untuk lebih memperkenalkan karya kalian.”

    Raka menatap Alya, dan keduanya saling bertukar pandang. 

    “Kita harus membahas ini terlebih dahulu. Kami ingin menjaga agar semua tetap tulus,” kata Raka.

    Aditya mengerti.

    “Tentu. Ambil waktu kalian. Namun, saya percaya ini bisa menjadi langkah besar untuk karier kalian.”

     

    To Be Continued

     

     

    Kreator : Ihsan Mulia Siregar

    Bagikan ke

    Comment Closed: Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 3

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021