Di tengah dinginnya kabut yang menggantung di Dataran Tinggi Raung, kelompok pendaki Rebo, Edu, Artika, Kayla, dan Yan menelusuri jalur sempit yang membelah rimba lebat. Langit menggelap, mempercepat detik-detik senja yang mendekat. Langkah mereka mendadak terhenti ketika Rebo menemukan sesuatu yang tak lazim—sebuah pipa ventilasi tertancap di tanah.
“Ini apa?” tanya Rebo, suaranya penuh keheranan.
Edu mendekat, menyingkap dedaunan yang menutupi pipa itu.
“Ventilasi? Di tengah hutan seperti ini?”
Ketika Kayla hendak berkomentar, terdengar suara samar dari bawah tanah.
“Ada seseorang di sana,” katanya, suaranya gemetar.
Mereka segera beraksi, menggali dengan tangan kosong hingga menemukan sebuah kompartemen kecil, tempat seorang gadis kurus terbaring lemah. Anisa, namanya, terkubur hidup-hidup di dalam sana.
Artika, yang sejak awal tampak tenang, segera mengambil keputusan. “Kita harus membagi kelompok. Aku dan Rebo akan mengambil jalan pintas untuk meminta bantuan polisi. Jalannya lebih cepat meskipun berbahaya. Kalian, bawa Anisa ke desa terdekat lewat jalur utama.”
Yan merengut. “Kamu yakin? Jalan pintas itu penuh tebing terjal.”
“Tidak ada waktu,” jawab Artika tegas. “Kita nanti kehabisan siang.”
Edu, Yan, dan Kayla akhirnya menyetujui. Mereka mengangkat Anisa dan mulai menempuh jalur setapak sepanjang 48 km menuju desa berikutnya, sementara Rebo dan Artika memisahkan diri, memilih jalur memanjat batu yang sulit, hanya sejauh 25 km, demi mempercepat waktu.
—
Setengah perjalanan, suasana semakin mencekam. Edu mulai merasakan ada yang tidak beres. “Apa kalian dengar itu?” bisiknya.
Yan mengerutkan kening. “Suara air? Tapi di mana sungainya?”
Kayla menghela napas panjang, “Ini tidak mungkin… gunung ini terkenal dengan sungai bawah tanahnya. Suaranya bisa terdengar, tapi fisiknya tersembunyi di dalam bumi, sedalam satu kilometer.”
“Kita harus tetap fokus,” kata Edu, menggenggam kuat pergelangan Anisa. “Jangan biarkan pikiran kita terganggu.” Angin meraung-raung keras di area Raung…
Namun, langkah mereka semakin berat ketika terdengar suara lain—langkah-langkah cepat dari belakang. Edu menoleh dengan wajah pucat. “Mereka datang.”
Penculik. Tanpa ragu, mereka mulai berlari, meskipun Anisa dalam kondisi lemah. Mereka berusaha secepat mungkin, tapi bayangan hitam para pengejar semakin mendekat.
Yan menunjuk ke depan. “Di sana! Dua pohon besar!”
Kayla menyipitkan mata. “Tunggu, bukankah pohon itu…?”
“Itu yang disebut pohon raksasa,” sela Yan. “Banyak pendaki hilang di sekitarnya.”
Edu terdiam sejenak, memikirkan kemungkinan. “Kita harus lewat sana.”
Mereka semua ragu, tapi tidak ada pilihan lain. Para penculik semakin dekat, dan mereka kehabisan waktu. Sambil menarik napas panjang, Edu memimpin mereka berlari mengitari salah satu pohon raksasa itu. Namun, saat mereka mengelilingi batangnya yang sangat besar, perasaan aneh mulai menguasai mereka.
“Apakah kita masih di tempat yang sama?” tanya Kayla, matanya melirik ke arah hutan yang tampak berubah. Rimbanya terasa berbeda, lebih gelap, dan udara menjadi lebih berat.
Yan menggertakkan giginya. “Jangan pikirkan! Fokus pada jalur kita.”
Mereka terus berlari, tapi tiba-tiba langkah mereka terhenti. Di hadapan mereka berdiri seseorang—Rebo. Wajahnya terlihat cemas, dan Artika ada di sebelahnya.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Edu, kebingungan. “Bukannya kalian seharusnya sudah sampai di pos polisi?”
Artika menggeleng pelan. “Kami mengitari pohon itu dan kembali ke sini. Seperti ada yang mempermainkan kita.”
Tiba-tiba, suara tawa dingin terdengar di kejauhan. Sosok-sosok bayangan mendekat, penculik-penculik itu sudah hampir tiba. Mereka terperangkap di dalam permainan alam yang aneh, di antara pohon raksasa dan sungai yang tak terlihat.
“Apakah kita akan selamat?” tanya Anisa lemah, tatapan putus asanya beralih ke Edu.
Edu merasakan kengerian yang tak terungkapkan. “Aku tidak tahu,” jawabnya perlahan, “tapi kita akan mencoba.”
Di hadapan mereka, hutan menyempit, waktu terus berlari, dan nasib tergantung pada keputusan cepat yang harus mereka buat dalam perjalanan mencekam ini.
Setelah mereka memutari pohon raksasa itu, memang muncul perasaan aneh mulai menyelimuti seluruh kelompok. Edu, Artika, Rebo, Yan, Kayla, dan Anisa berdiri bingung di tengah hutan yang tampak berubah. Wajah-wajah cemas melingkupi mereka, sementara suara penculik semakin dekat, menghantui setiap detik.
“Kita sudah mengitari pohon ini, tapi malah kembali ke tempat yang sama!” seru Rebo, marah sekaligus putus asa.
“Ini pasti ada hubungannya dengan pohon ini,” Artika menambahkan. “Kita terjebak.”
Edu menghela nafas panjang, mencoba meredam panik. Ia memandang sekeliling, menatap pohon raksasa yang menjulang tinggi dengan batangnya yang seolah-olah tak terukur. Pikirannya berputar-putar mencari jawaban, sampai tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Sesuatu yang terasa mustahil, namun itu satu-satunya yang bisa ia pikirkan.
“Kita… kita harus berbalik,” Edu akhirnya berkata, tatapannya serius.
Yan mengerutkan kening, tidak mengerti. “Berbalik? Maksudmu apa?”
Edu menatap mereka satu per satu. “Daya magis ini, mungkin caranya bekerja adalah seperti perangkap. Kita memutari pohon ini searah jarum jam. Tapi bagaimana jika kita berbalik? Melawan arah? Berputar balik 360° dengan cara yang berlawanan?”
Artika mengangkat alis, tapi tampak ragu. “Kamu pikir itu akan berhasil?”
“Kita tidak punya pilihan lain,” jawab Edu mantap. “Kita hanya terus-menerus kembali ke tempat yang sama. Kalau kita tidak mencobanya, kita bisa terjebak di sini selamanya.”
Kayla menggigit bibirnya, melihat ke arah Anisa yang terkulai lemah di tangannya. “Baiklah, ayo kita coba.”
Dengan sedikit keberanian yang tersisa, mereka semua mengikuti instruksi Edu. Mereka memulai langkah mereka, berputar melawan arah jarum jam di sekitar pohon raksasa. Langkah demi langkah terasa berat, udara semakin tebal dan seolah-olah menahan mereka. Namun, mereka tetap berpegang teguh pada satu hal: harapan.
Setelah memutari pohon sepenuhnya, tiba-tiba dunia di sekitar mereka bergetar. Tanah di bawah kaki mereka berdenyut, dan suara gemuruh terdengar, seperti sesuatu yang terlepas dari genggaman magis. Dalam sekejap, mereka semua terhempas ke depan seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Pemandangan hutan yang tadi kelam berubah dengan cepat di hadapan mata mereka, hingga akhirnya…
Mereka terjatuh di tanah berumput yang berbeda—di tengah perkebunan kopi. Langit sudah berubah lebih terang, meski senja masih menggantung jauh di cakrawala.
Kayla yang pertama kali bicara. “Apa yang barusan terjadi?” tanyanya, masih terengah-engah.
Edu berdiri perlahan, merasakan tubuhnya yang lelah. “Aku… tidak tahu. Rasanya seperti kita melintasi dimensi lain. Seperti loncatan jarak yang sulit dijelaskan.”
Rebo menatap sekeliling, melihat deretan tanaman kopi yang hijau subur. “Kita jauh dari pohon raksasa itu… Jaraknya sekitar dua jam berjalan dari desa.”
Anisa yang kini terlihat lebih tenang, meski masih lemah, memandang ke sekeliling dengan pandangan tak percaya. “Ini… sungguh ajaib. Seperti kekuatan yang tidak bisa kita pahami.”
Yan, yang biasanya skeptis, akhirnya mengangguk pelan. “Kekuatan supernatural. Gunung ini lebih dari sekadar batu dan tanah.”
Artika tersenyum kecil. “Yang penting, kita selamat.”
Mereka semua akhirnya berjalan menuju desa, meninggalkan misteri pohon raksasa dan kekuatan magisnya di belakang. Perjalanan ini adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara logika—lintas dimensi yang mengguncang nalar. Namun, yang terpenting, mereka berhasil sampai dengan selamat di kebun kopi yang berada di dekat pemukiman desa.
“Siapa yang akan percaya kalau kita ceritakan ini nanti?” tanya Kayla sambil terkekeh, mencoba melempar lelucon di tengah kelelahan mereka.
Edu hanya tersenyum tipis. “Mungkin tidak ada yang percaya. Tapi ini kisah kita, dan itu sudah cukup.”
Setelah beberapa menit berjalan melalui kebun kopi, mereka akhirnya berhenti di bawah rindangnya pohon. Rasa lelah yang mencengkeram tubuh mereka mulai mereda, namun kekaguman atas apa yang baru saja mereka alami masih menggantung di udara.
“Ini gila,” gumam Rebo sambil mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. “Apa yang baru saja terjadi? Kita benar-benar melintasi waktu dan jarak?”
Edu, yang masih berusaha mencerna semuanya, hanya mengangguk. “Aku juga nggak tahu. Tapi, apa pun itu, kita berhasil keluar dari jebakan pohon itu.”
Kayla meregangkan punggungnya sambil menatap Anisa yang duduk tenang di samping mereka. “Kamu baik-baik saja, Anisa?”
Anisa tersenyum tipis, meski tampak masih pucat. “Aku akan baik-baik saja. Terima kasih sudah menyelamatkanku.”
Saat suasana mulai tenang, Yan, yang sejak tadi diam, tiba-tiba teringat sesuatu. Ia mengerutkan kening, memandangi Anisa dengan tatapan penuh tanda tanya. “Tunggu… kita sepertinya belum sempat bertanya, bagaimana ceritanya kamu bisa sampai diculik dan dibawa ke gunung ini?”
Pertanyaan Yan membuat semua orang terdiam sejenak, seakan baru sadar bahwa mereka belum menanyakan hal yang paling mendasar. Mereka terlalu sibuk dengan upaya melarikan diri dan menyelamatkan diri dari bahaya tadi.
Rebo mengangguk. “Iya, benar juga. Siapa yang menculikmu? Dan kenapa di gunung ini, yang jelas-jelas penuh dengan hal-hal mistis dan berbahaya?”
Anisa menunduk sejenak, seolah memikirkan jawabannya. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Aku seorang arkeologis. Aku dan timku sedang meneliti wilayah sekitar gunung ini. Kami menemukan beberapa tanda yang mengarah pada peninggalan kuno, sesuatu yang bisa mengubah pandangan sejarah daerah ini.”
Semua tertegun. “Kamu seorang arkeolog?” tanya Artika. “Dan kamu menemukan sesuatu di gunung ini?”
Anisa mengangguk, wajahnya serius. “Ya, tapi penelitian kami ternyata menarik perhatian pihak-pihak yang tidak menginginkan temuan itu terungkap. Mereka berusaha menghentikan kami, dan itulah mengapa aku diculik. Mereka membawaku ke sini, berharap aku tidak akan pernah ditemukan lagi.”
“Kenapa harus di gunung ini?” tanya Kayla, penasaran. “Bukankah lebih mudah membawamu ke tempat yang lebih sulit dijangkau?”
Anisa tersenyum pahit. “Gunung ini bukan sembarang gunung. Ada sesuatu di sini, sesuatu yang lebih tua dari sejarah manusia. Gunung ini menyimpan rahasia besar, dan beberapa orang percaya bahwa kekuatan mistis di sini bisa digunakan untuk kepentingan mereka.”
Edu bersandar ke batang pohon, merenungkan kata-kata Anisa. “Jadi mereka berharap gunung ini akan melakukan pekerjaan kotor mereka. Tapi kita berhasil keluar… meskipun dengan cara yang tidak kita pahami.”
Yan mengangguk pelan. “Seolah-olah gunung ini memiliki kekuatannya sendiri. Dan entah bagaimana, kita melintasi waktu dan ruang.”
Anisa menatap mereka satu per satu. “Kalian baru saja mengalami salah satu rahasia terbesar dari gunung ini. Banyak yang menduga, tetapi sedikit yang pernah benar-benar merasakannya.”
Rebo menghela napas panjang. “Dan sekarang kita tahu. Tapi ini semua masih terasa aneh, sulit dipercaya.”
Edu berdiri dan menepuk pundak Anisa. “Kita akan cari tahu lebih banyak nanti. Sekarang, yang penting adalah istirahat. Kita semua butuh pulih sebelum bisa berpikir jernih lagi.”
Mereka semua mengangguk setuju, meski dalam hati masing-masing masih dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh gunung ini? Dan seberapa besar rahasia yang sudah Anisa temukan sebelum diculik? Satu hal yang pasti, perjalanan ini baru awal dari misteri yang lebih besar.
Kreator : Mariza
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Ruang Raung
Sorry, comment are closed for this post.