Aroma cengkeh dan pala menyeruak lembut di udara pagi yang sejuk. Kabut tipis masih menyelimuti perbukitan Tomohon, seakan enggan beranjak dari keindahan kota kecil yang tenang ini. Di sebuah rumah panggung kayu khas Minahasa, kehangatan Natal telah terasa sejak fajar menyingsing.
Di dapur, Oma Ebe, dengan rambut putihnya yang ditata rapi, sibuk mengaduk panci besar berisi bubur Manado yang mengepulkan asap harum. Di teras, Oma Mace dan Tante Etty cekikikan sambil menggoreng kue cucur dan membuat klapertart dalam kotak-kotak cantik. Sementara itu, di halaman rumah, Om Altin dan Om Ading tengah sibuk menata meja panjang beralaskan daun pisang di bawah kolong rumah, tempat di mana sebentar lagi tradisi makan bersama keluarga besar akan digelar.
Natal di Tomohon selalu menjadi momen yang paling dinantikan. Setiap akhir tahun, layaknya burung-burung yang kembali ke sarangnya, semua anggota keluarga yang merantau akan pulang ke tanah kelahiran. Dari Jawa, Bali dan Papua akan pulang kampung merayakan Natal bersama. Rumah Oma Ebe, dengan halaman luas dan suasana yang teduh, menjadi titik temu bagi seluruh keluarga besar.
Aku, yang telah lama menetap di pedalaman Papua, selalu merasa hatiku berdesir setiap kali menginjakkan kaki di tanah Tomohon. Rasanya seperti pulang ke pelukan hangat, ke tempat di mana segala penat dan beban hidup seketika luruh. Pulang ke tanah kelahiran dan tempatku dibesarkan.
Kenangan masa kecil tentang Natal di Tomohon selalu terukir indah dalam ingatanku. Dulu, saat Mama masih ada, kami selalu bangun pagi-pagi sekali untuk membantu Mama mengatur persiapan Natal. Aku ingat betapa lincahnya Mama kesana-kemari mengatur segala sesuatu agar bisa tersedia tepat waktu, betapa riuh cerewetnya saat mengarahkan ini dan itu, dan betapa hangatnya pelukannya saat kami berkumpul di depan pohon Natal.
Mama adalah manajer dari perayaan Natal keluarga kami. Dialah yang selalu memastikan semua persiapan berjalan lancar, dialah yang selalu menjaga agar api kebersamaan tetap menyala. Senyumnya yang tulus dan tawanya yang renyah adalah melodi terindah yang mengiringi setiap Natal kami.
Namun, tiga tahun yang lalu, tepat di hari Natal, Mama berpulang untuk selamanya. Kepergiannya yang tiba-tiba bagai petir di siang bolong, menyisakan duka yang mendalam bagi kami semua. Natal tahun itu, untuk pertama kalinya, kami merayakan Natal tanpa kehadiran Mama. Rumah terasa begitu sepi, hidangan Natal terasa hambar, dan kidung Natal terdengar makin sendu.
Kini, meskipun keceriaan Natal masih terasa, ada rongga kosong yang tak tergantikan di hatiku. Setiap kali melihat meja panjang di bawah kolong rumah, aku teringat Mama yang selalu sibuk mengatur sebelum makan. Setiap kali mendengar alunan lagu Natal, aku teringat Mama yang selalu menyanyikannya dengan penuh penghayatan.
Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, keluarga besar kembali berkumpul di rumah Oma Ebe. Meja panjang telah dipenuhi dengan aneka hidangan khas Minahasa: ayam rica-rica, ayam isi di bulu, ikan woku, sayur ganemo, dan tentu saja, bubur Manado buatan Oma Ebe. Semua duduk mengelilingi meja, menikmati hidangan lezat dengan penuh syukur.
Tawa dan canda kembali menggema di rumah Oma Ebe. Sepupu-sepupuku yang sudah beranjak dewasa asyik bercerita tentang pengalaman mereka di perantauan. Anak-anak kecil berlarian di halaman, sesekali mencuri kue dari meja. Oma Ebe, meskipun usianya telah senja, tetap semangat melayani cucu-cucunya.
Malam pun tiba. Lampu-lampu hias berkelap-kelip menghiasi pekarangan. Keyboard, gitar dan kolintang dimainkan dengan merdu. Suara-suara indah berpadu dalam harmoni yang syahdu, melantunkan lagu-lagu Natal yang membangkitkan kenangan.
Di tengah keceriaan itu, aku menyelinap ke halaman belakang. Di bawah langit malam Tomohon yang bertabur bintang, aku memejamkan mata, membiarkan angin sejuk menerpa wajahku. Dalam hati, aku berdoa untuk Mama.
“Mama, meskipun Mama tidak lagi bersama kami, kenangan indah tentang Mama akan selalu hidup di hati kami. Terima kasih, Mama, atas semua cinta dan kasih sayang yang telah Mama berikan. Natal tahun ini, kami merayakannya dengan penuh syukur, mengenang Mama, dan meneruskan tradisi keluarga yang Mama cintai.”
Tetes air mata jatuh di pipiku. Namun, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata rasa syukur dan kasih sayang yang abadi. Aku tahu, di suatu tempat di sana, Mama beristirahat dengan tenang, menanti pagi yang cerah saat Ia datang menjemput.
Rumah, tempat hati kembali, akan selalu menjadi sandaran ternyaman, di mana cinta dan kenangan indah tersimpan abadi.
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Rumah Kenangan: Di Mana Waktu Terhenti
Sorry, comment are closed for this post.