“Mba Kamilla ingat saya?” tanya seorang pria paruh baya dengan pakaian kemeja dan celana jogger khas seorang pekebun. Ia juga mengenakan topi dengan tali yang menyangkut di bawah dagunya.
Kamilla hanya memindai dari atas hingga Sepatu bot lelaki yang mengaku bernama Sastraatmadja ini. “hehe, maaf, enggak.” Jawabnya singkat.
Lelaki paruh baya itu tersenyum mendengar jawaban dari Kamilla, lalu mempersilahkan gadis berusia tiga puluh tiga tahun ini untuk memasuki mobil sedan keluaran tahun sembilan puluhan. Tanpa basa-basi, Kamilla pun mengikuti arahan pria ini. Sekoper besar berwarna hitam yang penuh dengan stiker dan sebuah ransel besar yang digendong di salah satu pundak adalah hal berharga terakhirnya yang mampu ia bawa menuju rumah seseorang yang katanya adalah neneknya.
Ya, walau dengan sadar Kamilla mengikuti perintah seorang pria bernama Sastraatmadja ini, pikirannya masih penuh tanda tanya tentang sosok seorang nenek yang katanya mengurus dari ia kecil hingga dewasa. Masih ada keraguan, namun ia berusaha berpikir positif, mencoba percaya, karena tak ada pilihan lain dalam hidup Kamilla selain mengikuti Pak Saatraatmadja untuk bertahan hidup dan mendapatkan tempat tinggal yang layak selama ia belum mendapatkan pekerjaan tetap.
“Yang menyetir ini anakku. Asep, namanya. Dia seumuran denganmu. Saat kecil, Aseplah satu-satunya temanmu. Dia selalu menemanimu di rumah nenek. Karena nenekmu tak pernah mengizinkanmu untuk bermain dan memiliki teman di luar.” “Sep, ingatkah kamu dengan Neng Kamilla ini?” tanyanya sambil memukul lembut bahu seorang lelaki yang sedang menyetir itu. Lelaki bernama Asep tersebut hanya mengangguk dan tersenyum kaku menanggapi pembicaraan yang katanya ayahnya itu.
“Aku gak tahu apa yang menimpamu setelah lima belas tahun belakangan setelah kamu pergi meninggalkan rumah. Sampai-sampai kamu terlihat asing melihatku dan Asep. Tapi mudah-mudahan setelah sampai rumah nanti, kamu bisa ingat kembali, ya.” Harapnya.
‘terlalu mencolokkah wajahku ini? Aku memang masih bingung dan mencerna semua ini’ gumam Kamilla dalam hati.
Setelah menerima surat hari itu, Kamilla merasa bisa bernafas sejak hampir tiga bulan merasa sesak didada. Ia tidak terlalu peduli dengan nenek, Sastraatmadja, dan lain-lain. Ia hanya tertarik pada cerita sawah seluas satu hektar dan sebuah rumah warisan. Kamilla hanya berpikir ini adalah satu-satunya cara ia untuk bertahan hidup.
Dua jam setelah mobil sedan ini meninggalkan kota tempat Kamilla tinggal sebelumnya, jalanan mulai berubah. Dari aspal yang rata menjadi jalan bebatuan. Semakin dalam mereka menyusuri jalan bebatuan ini, semakin berbeda landscape yang kamila lihat dari jendela disisinya.
Di sisi kiri mobil terlihat tebing dengan rerumputan dan pohon tinggi diatasnya. Di sebelah kanan terlihat jurang yang tak terlihat dimana dasarnya. Kamilla tiba-tiba ragu, ia sempat berpikir akan diculik atau diasingkan di suatu tempat di pegunungan ini.
“Benarkah ini jalannya?” tanya Kamilla memberanikan diri. “Iya, beginilah keadaan jalan berjarak kurang lebih seratus kilometer dari ibukota tempatmu tinggal. Kamu tak perlu khawatir. Ini jalan yang benar.” Sepertinya Pak Sastraatmadja ini mampu membaca pikiran Kamila.
“Ini kebun milik nenekmu. Tapi ia mewariskannya padaku dan keluarga. Katanya sebagai tanda terima kasih karena aku sudah setia menemani nenekmu hingga akhir hayatnya.” Bukanya setelah sekitar setengah jam kami melalui jalan berbatu dengan jurang di sampingnya ini. Kamilla melihat kebun yang ditunjukkan Pak Sastraatmadja dengan tenang. Ia tidak merasa marah, bahkan sepertinya tak peduli jika benar neneknya sudah mewariskan kebun luas ini pada orang lain yang bukan keturunannya.
Tak lama kemudian, mulai terlihat beberapa rumah warga yang jaraknya jauh satu sama lain. Rumah dari kayu dan bilik sederhana. Setelah rumah-rumah tersebut, terlihatlah hamparan sawah dengan sistem terasering. Sawah ini terlihat seperti tangga alami menuju sebuah rumah tua dan terlihat paling besar diantara rumah-rumah sebelumnya.
Benar saja, mobil ini akhirnya berhenti di depan sebuah rumah tua berukuran cukup besar diatas puncak sawah terasering.
Kamilla turun dengan ragu. Walau berukuran cukup besar dan berumur tua, sepertinya rumah ini terawat dengan baik. Halamannya bersih dari sampah plastic atau dedaunan, lantai berwarna kuning kecoklatan berukuran dua puluh kali dua puluh khas zaman dulu pun terlihat mengkilap. Kaca-kaca yang terpasang di sepasang pintu utamanya juga hampir tak terlihat saking bersihnya. Seorang wanita paruh baya, dengan penutup kepala keluar melalui pintu utama itu sembari tersenyum.
“Alhamdulillah, Neng Milla sudah sampai. Capek ya,neng?” sambutnya sambil mengambil alih koperku dan membawanya ke dalam. Aku melihat sekeliling sambil berjalan pelan mengikuti arah wanita itu.
“Duduk, Mil.” Asep ikut membantu wanita itu untuk mempersilahkan aku masuk dan duduk di sebuah ruangan cukup luas. Aku duduk di atas sebuah kursi kayu dengan anyaman. Walau terlihat tua, tapi duduk disini terasa nyaman sekali.
Ibu itu kembali menghampiriku sembari membawa tiga cangkir dan setoples makanan ringan. Pak Sastraatmadja, Asep dan wanita paruh baya itu duduk berdampingan di sebuah kursi Panjang tepat di hadapanku.
“Kata bapak, kamu gak inget sama semuanya ya?” wanita itu membuka pembicaraan. Aku mengangguk pelan dan tersenyum menanggapi pertanyaan itu. “memang apa yang terjadi sampai kamu lupa kami serta nenekmu, Mil?” tanyanya kembali. Tapi tak sepatah pun keluar dari mulut Kamilla.
“Mungkin dia capek, bu. Biarkan dia istirahat dulu. Nanti kita bicara lagi.” Pungkas Pak Satraatmadja.
“Masuklah ke kamarmu, Kamilla. Emak akan menyiapkan makan malam, bapak dan Asep mungkin juga akan beristirahat di rumah belakang. Jika butuh sesuatu, datanglah ke dapur atau ke rumah belakang ya.” Ucapnya lembut sambil menggiringku ke sebuah kamar tak jauh dari ruangan aku duduk tadi.
Pak Sastraatmadja, Asep serta wanita paruh baya yang memanggil dirinya sebagai emak itu akhirnya pergi meninggalkan Kamilla sendirian. Kamilla masih sesekali melihat sekeliling, lalu memasuki kamar yang katanya adalah kamar dirinya sendiri. Kamilla merasa tak yakin dengan dirinya. ‘Benarkah aku Kamilla yang mereka maksud atau bukan?’
Kamar ini cukup luas dibandingkan dengan kamar kosnya. Jika dihitung, mungkin sekitar empat kali lima meter luasnya. Dari pintu kamar, ia ke arah kanan menuju ranjang kayu jati dengan kelambu warna merah muda. Di sisi kanan dan kiri ranjang terdapat nakas yang juga terbuat dari kayu jati. Kamilla duduk di atas ranjang dekat nakas sebelah kanan. Diatas nakas itu terpampang foto seorang nenek dengan gadis berusia sekitar lima belas tahun menggunakan gaun putih dan rambutnya dikepang dua. Foto itu memperlihatkan senyuman nenek yang sangat lebar dan bahagia. Tapi sebaliknya, gadis itu tidak terlihat Bahagia sebagaimana neneknya. Ia malah terlihat murung dan memaksakan diri untuk tersenyum.
Dalam pikirannya yang semakin mendalam, Kamilla mencoba mengingat semuanya. Tentang siapa dirinya sesungguhnya, siapa neneknya, siapa ketiga orang tadi, rumah, sawah, kebun dan semua yang ada disini. Hingga tiba-tiba,
‘cekrek!’ suara pegangan pintu kamar terdengar. Kamilla menoleh ke arah pintu aitu berada di belakang. Alangkah terkejutnya ia melihat seorang wanita tua, persis seperti yang ada di foto itu muncul di pintu kamar. Nenek tua itu menggunakan baju kebaya putih dan kain batik merah darah. Rambut putihnya berantakan seperti singa jantan yang siap menerkam. Tangannya terangkat dan terlihat kuku-kuku yang panjang. Nenek itu mengeluarkan suara aneh seperti seseorang yang sedang tercekik. Kamilla terkejut dan amat sangat ketakutan. Seluruh badannya kaku, bulir keringat sebesar biji jagung mulai bermunculan dari dahi kanan dan kirinya. Bibirnya gemetar dan kaku hingga tak sanggup untuk bicara apalagi berteriak minta tolong. Nenek itu kemudian melangkah perlahan mendekati Kamilla yang ketakutan. Kamilla kembali berusaha berteriak sekuat tenaga yang ia miliki, tapi lagi-lagi gagal dan terasa amat sulit. Kamilla hanya bisa menutup mata dan telinga dengan kedua tangannya. Kemudian ia mengumpulkan tenaga dan mencoba kembali berteriak minta tolong. “Emaaaakkkkk……!”
Kreator : Hymemy
Comment Closed: Rumah Nenek (chapt.2)
Sorry, comment are closed for this post.