“Mil, bangun Mil. Ini sudah maghrib.”
Mata Kamilla terbuka perlahan, lalu ia duduk di atas ranjangnya.
“Makanya, jangan tidur saat ashar, Mil. Linglung kan jadinya.” Ucap Emak di kamar Kamilla sembari merapikan barang-barang bawaan Kamilla.
‘Benarkah aku tidur tadi? Apakah aku hanya bermimpi? Kenapa terasa amat nyata? Nenek itu …..’ membayangkannya saja, Kamilla merasa merinding.
***
“Besok, sekitar jam 9, ikutlah Asep berkeliling. Aku yakin kamu lupa dengan daerah ini. Khawatir kamu tersesat saat berjalan-jalan.” Ucap Pak Sastraatmadja membuka obrolan saat makan malam bersama.
Emak dan Asep tampak menikmati makan malamnya, Pak Sastraatmadja juga kembali menyantap makanan dari piringnya. Sedangkan Kamilla masih melihat-lihat ruangan sekitar sambil sesekali menyuap makanannya.
“Apa pekerjaanmu di kota sana, Mil?” tanya Asep. Nampaknya Emak dan suaminya juga tertarik dengan pertanyaan Asep ini.
“Hemm, aku, aku…..”
“Kalau tidak salah aku pernah melihatmu di berita online. Aku tak menyangka foto itu adalah Kamilla yang ku kenal dulu.” Lanjut Asep sambil tersenyum dan kembali menyuap makanannya.
“Mungkin dia belum siap bercerita, Sep. biarkan saja dulu dia beradaptasi di sini.” bela Emak. “Jika ada yang ingin ditanyakan, tanyakan saja pada kami ya, nak. Tak perlu segan.
“Oh ya, Mil. Setelah makan malam ini selesai, kami bertiga akan kembali ke rumah belakang dan kamu akan berada di rumah utama, sama seperti dulu. Kamu dan nenekmu di rumah utama dan kami di rumah belakang.”
Mendengar itu dari mulut Pak Sastraatmadja, Kamilla merasa agak terkejut. Ia tak yakin dapat bertahan sendirian di rumah utama yang berukuran besar ini. Apalagi setelah kejadian sore tadi. Tapi Kamilla merasa gengsi untuk meminta bantuan, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa kejadian tadi hanyalah mimpi. Mimpi buruk akibat dirinya yang kelelahan.
Emak telah selesai membereskan makan malam. Sedangkan Kamilla masih bertahan di kursi makannya.
“Kamu masih mau di sini atau akan ke kamarmu, Mil? Emak sudah selesai di sini. Aku akan kembali ke rumah belakang untuk beristirahat.” Kamilla hanya mengangguk membalas pertanyaan dari Emak. Sebenarnya dari wajahnya saja, Kamilla terlihat jelas merasa ragu dan sedikit takut. Tapi ia berusaha melawan rasa takutnya sendiri.
Setelah Emak kembali ke rumah belakang, Kamilla kini benar-benar sendiri. Baru saja ia beranjak untuk berdiri, tiba-tiba terdengar suara air di kamar mandi sebelah dapur menyala. Mata Kamilla membelalak, jantungnya benar-benar berdetak kencang, ia yakin betul Emak sudah keluar melalui pintu belakang tadi, lalu siapa yang ada di kamar mandi?
Kamilla memberanikan diri melangkah perlahan menuju kamar mandi. “Asep…. Sep, itu kamu kan?” ucapnya agak gugup.
Langkah Kamilla terhenti di depan pintu kamar mandi yang tertutup separuhnya, ia membuka pintu dengan cara membantingnya.
BRRAAKKK!!!!
Tak ada siapapun di sana. Tapi air keran itu menyala dengan derasnya, membuat air memenuhi bak mandi semen setinggi satu meter itu menumpahkan isinya.
Saat Kamilla sedang menutup kerannya, ia dikejutkan lagi dengan suara piring terbanting dan pecah di ruangan sebelah yang tak lain adalah dapur dan ruang makan, ruangan yang ia gunakan untuk makan tadi bersama keluarga Pak Sastraatmadja. Kamilla berlari ke ruangan makan tadi. Betapa terkejutnya ia melihat piring yang sudah dicuci oleh Emak tadi berserakan di lantai dan dalam keadaan pecahan yang berkeping-keping.
Kamilla berjalan perlahan, khawatir kakinya akan menginjak beling yang berserakan itu. Tapi matanya tak henti berkeliling, menyapu semua arah di ruangan seluas lima kali sepuluh meter itu. Kamilla berniat menuju kamarnya di depan, tetapi tiba-tiba saja meja makan itu bergerak sendiri menutupi lawang atau jalan satu-satunya menuju ruang depan. Ia mulai panik. Tapi masih enggan meminta tolong. Kamilla mulai memikirkan bagaimana cara agar ia berhasil ke kamarnya. Lampu bohlam berwarna oranye menambah suasana kengerian di ruangan ini. Lampu bohlam itu bergerak mengayun ke kanan dan ke kiri. Sepertinya kali ini nyali Kamilla mulai ciut. Ia berlari menuju halaman belakang melalui pintu yang tadi Emak lalui.
Huft, napas Kamilla tersengal-sengal karena ia sedikit berlari. Kamilla memperhatikan pintu belakang rumah utama yang tertutup sendiri setelah ia keluar melalui pintu belakang.
PAKK!!!
Seseorang menepuk pundak Kamilla, ia langsung membalikkan tubuhnya seratus delapan puluh derajat ke belakang,
“Asep!!!” pekik Kamilla lega.
Ternyata sedari tadi Asep memperhatikan Kamilla sejak ia terlihat berlari keluar dari rumah utama melalui pintu belakang. Kebetulan, rumah belakang tempat Asep tinggal menghadap ke belakang rumah utama tempat Kamilla tinggal sekarang.
“Kamu kenapa?” tanya Asep.
“Itu… tadi….” Mendengar jawaban Kamilla yang gugup, Asep segera melangkah memasuki rumah utama melalui pintu belakang.
Kamilla yang masih ragu memutuskan untuk mengikuti Asep masuk ke dalam rumah utama. Mereka maju perlahan, malah bisa dibilang mengendap-endap. Endapan mereka berhenti ketika Asep mulai memasuki ruang makan. Kamilla juga menghentikan langkahnya Ketika ia mulai memasuki ruang makan.
“Tak ada apa-apa, Mil.” Ucap Asep.
Kamilla yang semula ketakutan melihat sekeliling dan memastikan kembali keadaan ruang makan yang tadi kacau balau. Meja makan dan kursinya masih tertata rapi di tempatnya, piring bersih yang baru dicuci juga tersusun rapi di rak, lampu bohlam oranye yang tadi bergoyang kini sudah diam, keran air di kamar mandi juga dalam keadaan tertutup.
“Kamu lihat apa tadi?” tanya Asep penasaran. Kamilla yang masih kebingungan menolak untuk menjawab, karena kejadian tadi juga bertolak belakang dengan keyakinannya sendiri.
“Masuklah ke kamar, aku akan berkeliling untuk memastikan tak ada orang asing di rumah utama.” ucap Asep.
Kamilla menuruti perkataan Asep. Ia berjalan melewati ruang keluarga serta kamar neneknya yang kini kosong. Saat berjalan, Kamilla merasa melihat seseorang duduk di ranjang kamar nenek dari sudut matanya. Ia berhenti untuk memastikan bahwa apakah ada orang di kamar nenek. Kamilla menyingkap kain tirai penutup pintu kamar nenek. Benar saja, tak ada orang di sana. Kamilla hanya merasa salah lihat. Ia pun lega dan berjalan kembali menuju ke kamarnya yang berada di ruang depan.
Asep juga terlihat memeriksa setiap jendela yang ada di ruang depan. Kamilla melihatnya sepintas, lalu ia masuk ke kamar.
“Mil, sudah ku pastikan semua jendela dan pintu tertutup. Tidurlah. ini sudah larut. Aku akan kembali ke rumah belakang.”
Kamilla mengangguk dan segera menarik selimut. Sudah lama sekali ia tak tidur di tempat yang layak. Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaannya saat masih ada di kossan. Kini ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang empuk, sprei halus, terhindar dari nyamuk.
“Kenapa aku meninggalkan kenyamanan demi hidup susah di kota orang sendirian?” gumamnya dalam hati.
Matanya tak kunjung terpejam. Ia masih memperhatikan foto yang terpajang di nakas samping ranjang kelambunya.
“Kenapa aku sama sekali tak ingat siapa nenek ini? Kenapa pula aku tak ingat pernah tinggal di rumah sebesar ini?”
“Nek, datanglah ke mimpiku. Agar aku ingat masa-masaku bersamamu.” Ucapnya perlahan sambil memejamkan matanya.
“Kamilla…….” suara rendah khas orang tua terdengar samar-samar. Kamilla membuka matanya, ia yakin belum tidur, ia yakin suara itu nyata, ia yakin itu bukan mimpi.
“Akhirnya kamu pulang, cucuku…….. hihihihihihihihihi………”
Kreator : Hymemy
Comment Closed: Rumah Nenek (chapt.3)
Sorry, comment are closed for this post.