“Ayo, kita makan!” tiba-tiba saja Pak Sastraatmadja sudah berada di dalam saung. Asep segera bergeser mempersilahkan bapaknya untuk juga duduk di atas amben. Sedangkan Kamilla nampaknya masih menatap petani wanita yang ia lihat seperti neneknya.
“Mil, ayo makan bersama!” ajak Pak Sastraatmadja. Namun ia masih saja mematung memandang wanita itu. Asep kemudian menyentuh bahunya dan sedikit menggoyang badan Kamilla. Kamilla sadar dan nafas terengah-engah. Ia mulai melihat Pak Sastraatmadja dan Asep yang sama-sama sedang memandangnya keheranan.
“Itu, itu…” tunjuk Kamilla ke arah tengah sawah.
“Itu Nenek kan, Pak?” tanya Kamilla pada Pak Sastraatmadja.
Mereka menoleh ke arah yang Kamilla tunjuk, namun tak melihat siapapun. Kamilla meyakinkan bahwa wanita itu ada. Ia menunjuk ke tengah sawah dan menoleh ke arahnya, namun di tengah sawah itu benar-benar tak ada siapapun.
“Bapak tadi berbicara dengan siapa di sana?” tanya Kamilla keheranan.
“Oh, itu tadi salah seorang petani kita, Namanya Mak Ijah. Kenapa memang?” Pak Sastraatmadja bertanya balik.
“Dia mirip dengan foto yang ada di kamarku, Pak. Dia Mirip Nenek.” Kamilla mencoba menjelaskan.
“Ah, ngawur kamu! Mak Ijah itu badannya kecil, nenekmu tinggi. Mak Ijah juga usianya lebih muda dari Nenek, bentuk wajahnya saja beda. Mana mungkin ia mirip nenekmu.”
“Tapi aku benar-benar melihatnya mirip Nenek dengan kebaya putih.” Kamilla tetap meyakinkan.
“Mak Ijah memakai baju hijau, Mil.” Ucap Asep kemudian.
Sesaat mereka saling memandang dan terdiam.
“Sudahlah, ayo kita sarapan bersama. Mungkin kamu lapar, Nak.” Pak Sastraatmadja mengakhiri ketegangan mereka.
Mereka bertiga akhirnya makan dengan senyap. Dalam hatinya, Kamilla tetap yakin bahwa ia tak salah lihat. Tapi kenapa Mak Ijah yang memakai baju hijau terlihat berkebaya putih oleh Kamilla.
Bayangan nenek di tengah sawah dengan senyuman sampai ke sisi telinga membuat Kamilla bergidik.
“Beneran kamu lihat Nenek di tengah sawah tadi, Mil?” tanya Asep, sepertinya dia penasaran.
“He em” jawab Kamilla singkat.
“Biarkan saja. Jangan dibahas lagi depan Bapak, ya.” pesan Asep.
“Kenapa memang kalau bilang?”
Pertanyaan Kamilla dibiarkan begitu saja oleh Asep. Kamilla dan Asep menyusuri jalan kecil menuju rumah utama.
Sesampainya di rumah, Kamilla langsung mencari Emak. Rupanya, Emak tengah menjemur pakaian di halaman belakang rumah utama.
“Mak, dimanakah letak kuburan Nenek?” tanya Kamilla tiba-tiba setelah ia bertemu Emak.
Emak sempat menghentikan kegiatannya beberapa saat, kemudian melanjutkannya lagi.
“Kenapa memangnya, Mil?” tanya Emak agak gugup.
“Dari awal kalian bilang bahwa Nenek sudah tiada, tapi belum ada dari kalian yang menunjukkan dimana makam Nenek berada.” tanya Kamilla penuh selidik.
“Kalau berdoa kan bisa dari rumah, Mil. Gak usah pergi ke kuburannya segala.” Jawab Emak tenang.
“Aku hanya ingin sekadar melihatnya, Mak. Meyakinkan aku bahwa Nenek benar-benar sudah tiada.” Ucap Kamilla bersungguh-sungguh.
Namun, sepertinya Emak enggan melanjutkan pembicaraan ini. Emak langsung bergegas masuk ke rumah setelah ia selesai menjemur pakaian.
***
Malam itu, setelah mereka semua selesai makan malam bersama di meja makan rumah utama, Pak Sastraatmadja buru-buru pergi begitu saja, begitu juga dengan Asep. Emak yang biasanya banyak bicara pun, sekarang hanya diam dan segera membereskan semuanya. Terakhir kali mereka berbicara saat Emak menjemur pakaian tadi pagi.
Kamilla juga sepertinya enggan bertanya lebih jauh. Entah mengapa keanehan tentang Nenek tak boleh dibicarakan dengan Bapak. Entah kenapa juga Emak begitu menghindar Ketika ditanya tentang makam Nenek. Kamilla tiba-tiba teringat akan suara misterius di malam pertama ia tinggal di sini. Suara yang mengatakan bahwa tak ada bukti jika Nenek sudah meninggal.
Kamilla memilih memendam dalam diam tentang kejadian aneh yang ia temukan sejak pertama datang ke rumah ini. Ia merasa tak ada seorang pun yang bisa mendengarkan pengalaman tak masuk akal ini. Akhirnya, Kamilla memilih menceritakannya pada sebuah tulisan. Ia mulai membuka kembali laptopnya dan menuliskan kisahnya tersebut.
“Siapa tahu, kisah horor ini bisa menjadi novel best seller selanjutnya.” pikirnya kemudian.
Kamilla menulis di ruangan depan. Ia menyimpan laptopnya di meja jati dan duduk di kursi kayu dengan anyaman bambu. Ia memulai kisahnya saat pertama kali datang ke rumah ini. Dalam larutnya suasana mencekam saat ia menuliskan kejadian di kamar yang mendengar suara misterius, samar-samar terdengar suara langkah kaki di halaman depan. Langkah kaki itu terdengar tanpa ragu dan semakin lama suaranya semakin mendekat. Kamilla memilih untuk menghentikan tulisannya. Ia meyakinkan apa yang sebenarnya ia dengar. Semakin didengar, semakin yakin bahwa suara itu benar-benar nyata.
Kamilla mulai beranjak, melangkah perlahan menuju pintu utama. Sekelebat bayangan seseorang membawa sebuah benda di tangannya, melintas melalui jendela berjajar yang tertutupi gorden tipis. Jantung Kamilla berdegup kencang. Kakinya mulai kaku untuk langkah selanjutnya. Ia mematung sejenak. Gemuruh petir yang sedari awal menemani Kamilla menulis, kini mulai berubah menjadi derasnya hujan disertai angin kencang. Jendela di sisi sebelah kiri pintu tiba-tiba terbuka. Kamilla buru-buru berlari dan menutupnya. Tangan dan kepalanya mulai basah oleh rintikan hujan yang masuk terbawa angin kencang. Butuh usaha lebih untuk menutup jendela ini. Setelah berhasil, matanya kini tertuju pada jajaran jendela sebelah kanan pintu. Ia memastikan apakah bayangan seseorang tadi masih ada atau tidak.
Ternyata kini sudah tak nampak lagi. Ia menghembuskan nafas lega. Kamilla segera memutuskan untuk kembali ke tempatnya dan melanjutkan tulisannya tadi. Saat kilat menyambar, bayangan seseorang di depan jendela itu mulai terlihat kembali. Kamilla menjerit, karena kini bayangan itu terlihat membawa batang panjang. Kamilla kembali beranjak dan kini ia menuju jendela tempat bayangan itu terlihat. Ia benar-benar memberanikan diri untuk melangkahkan kaki menuju bayangan dengan gagang panjang itu. Tangannya mulai menjulur untuk bersiap membuka gorden. Kamilla berhitung dalam hatinya. Dalam hitungan ketiga, ia akan membuka gorden dan melihat siapa sesungguhnya bayangan itu.
Satu…. Dua….. Tiga!!!
SREEKKK…
Kamilla membuka gorden dan …
“AAaaaaaaaa…..!!!”
Seorang pria bertubuh tinggi besar berpakaian hitam-hitam memegang sebuah bambu panjang di tangan kanannya. Mereka saling bertatapan dan hanya terhalang oleh kaca jendela. Kamilla sungguh ketakutan dan tak hentinya menjerit. Sebuah tepukan di pundak kiri menambah kengerian. Kamilla menengok ke belakang dan,
“Kenapa, Mil?”
“Asep??!!”
Rupanya Asep mendengar teriakan Kamilla dan segera berlari ke rumah utama dari rumahnya di belakang. Asep memang terlihat basah kuyup karena terkena hujan angin saat melintasi perbatasan rumah belakang dan rumah utama.
Kamilla membuang nafas lega. Kemudian tanpa sadar ia merangkul lengan Asep dan menunjuk ke arah jendela. Asep kaget sejenak karena ia dirangkul oleh seorang wanita. Namun, ia segera menyadarkan diri dan melihat ke arah yang ditunjuk tangan Kamilla. Asep tak melihat siapapun di luar sana. Kamilla juga keheranan. Ia yakin tadi melihat seseorang di sana. Kamilla dan Asep sama-sama melangkah mendekati jendela, mereka benar-benar mencari seseorang yang Kamilla lihat sebelumnya.
“Nggak ada siapa-siapa, Mil.” Ucap Asep sambil melirik kanan dan kiri. Kamilla juga tak menemukan orang yang dimaksud. Tiba-tiba …
Braaakkkkk!!!!!
“Aaaaaaa…..!!!” Kini Kamilla dan Asep berteriak bersamaan.
Kreator : Hymemy
Comment Closed: Rumah Nenek (chapt.5)
Sorry, comment are closed for this post.