Awan sore menggantung rendah di langit kota. Rintik hujan turun pelan, seperti mewakili perasaan Damar yang tak menentu. Ia duduk di bangku taman, menatap langit abu-abu dengan pandangan kosong, sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Kirana tersenyum, mengenakan jaket abu dan celana jeans sederhana. Hujan tak membuatnya kehilangan pesonanya.
“Kamu masih suka hujan?” tanya Damar, mencoba menyembunyikan gundahnya.
Kirana mengangguk pelan. “Masih. Selalu. Sama kayak dulu.” jawabnya, sambil memainkan ujung lengan jaket.
“Dulu kita selalu lari-lari di bawah hujan sepulang sekolah.” kata Damar, tersenyum samar. “Kamu yang selalu pertama basah kuyup.”
Kirana tertawa kecil, lalu memandang Damar. “Dan kamu yang selalu minjemin jaket, terus masuk angin besoknya.”
Damar ikut tertawa, tapi dalam hatinya perih. Sejak SMA, mereka bersahabat. Kirana adalah sosok yang ceria, penuh semangat, dan selalu ada. Mereka tumbuh bersama, saling mendukung di masa-masa sulit, tertawa di hari-hari penuh tawa. Tapi seiring waktu, perasaan Damar berubah. Ia tak lagi melihat Kirana sekadar sahabat. Ia jatuh cinta.
Masalahnya, Kirana sudah bertunangan. Calon suaminya tinggal di luar kota, seorang pria yang ia kenal dari masa kuliah. Mereka menjalani hubungan jarak jauh, dan dalam beberapa bulan, Kirana akan menikah.
“Undangan pernikahan sudah selesai dicetak,” kata Kirana tiba-tiba, suaranya pelan, seperti sadar kalimat itu berat untuk diucapkan.
Damar menoleh, hatinya tercekat. “Wah… berarti tinggal nunggu hari ya?”
Kirana mengangguk. Tapi ada keraguan di wajahnya, sesuatu yang tak biasa. “Tapi, aku… akhir-akhir ini aku bingung, Dam.”
Damar diam. Ia takut mendengar kelanjutannya, tapi juga ingin tahu. “Bingung kenapa?”
Kirana menggigit bibirnya, menunduk. “Sama kamu. Sama perasaan aku sendiri.”
Suasana jadi hening. Hujan makin deras. Damar menoleh, menatap mata Kirana yang mulai berkaca-kaca.
“Kenapa baru sekarang kamu bingung?” tanya Damar dengan suara nyaris berbisik.
“Karena selama ini aku pikir kamu cuma sahabat. Tapi makin dekat hari pernikahan, makin sering kita ketemu, makin sering kita ketawa bareng… aku jadi mikir, apa yang aku rasain ini lebih dari sekadar persahabatan.”
Damar menelan ludah. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Kir, aku juga punya perasaan itu… dari dulu,” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar. “Tapi kamu udah punya dia. Aku gak mau hancurin itu.”
Kirana menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa gak bilang dari dulu?”
“Karena aku pikir kamu bahagia,” jawab Damar. “Dan aku terlalu takut kehilangan kamu, bahkan sebagai teman.”
Hujan kini menjadi simfoni kesedihan. Dua hati yang saling mencintai, tapi terjebak dalam waktu yang salah.
“Aku gak tahu harus gimana, Dam,” lirih Kirana.
“Aku sayang dia. Tapi aku juga… aku juga sayang kamu.”
Damar menunduk. “Mungkin… kita terlalu nyaman jadi sahabat, sampai gak sadar kita saling jatuh cinta.”
Kirana mengangguk pelan. Air mata jatuh di pipinya. Damar menghapusnya dengan jemari yang gemetar.
“Kalau saja waktu bisa diputar,” bisik Damar.
“Tapi waktu gak bisa,” potong Kirana. Suaranya bergetar. “Dan, aku gak mau menyakiti siapa pun.”
Keduanya terdiam, tenggelam dalam kesunyian yang menyakitkan. Mereka tahu bahwa apa yang mereka rasakan nyata, tapi mereka juga tahu bahwa hidup tidak sesederhana itu.
“Aku akan datang ke pernikahanmu,” kata Damar akhirnya. “Dan aku akan tetap jadi sahabatmu, meski hati ini gak akan pernah sama lagi.”
Kirana menutup matanya, menahan isak. “Terima kasih, Dam. Karena selalu ada. Karena selalu mencintaiku, diam-diam.”
Damar berdiri. “Selamat bahagia ya, Kir. Walau bukan denganku.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan taman yang basah oleh hujan dan air mata. Di belakangnya, Kirana duduk terpaku, menggenggam undangan pernikahannya yang diam-diam mulai basah.
Kadang, cinta datang di waktu yang salah. Dan meski dua hati saling mencintai, tak semua kisah berakhir bersama.
Kreator : Siti Rahmah
Comment Closed: SAAT SEMUA TERLAMBAT
Sorry, comment are closed for this post.