Mendekati bulan suci Ramadhan, di kampung-kampung maupun di kota-kota ada semacam tradisi yang melekat pada masyarakat, yaitu melakukan kunjungan ke makam keluarga. Membersihkan sampah atau dedaunan, mencabut rerumputan yang tumbuh di sekitar makam, yang diakhiri dengan berdzikir dan berdo’a yang ditujukan untuk arwah orang-orang yang mereka sayangi. Resti wanita paruh baya, baru saja meninggalkan Tempat Pemakaman Umum (TPU) dimana suami, dan kedua orang tuanya dimakamkan di sana. Hari itu dia memutuskan untuk pergi sendirian ke pemakaman, karena kedua anaknya masih pada sibuk bekerja. Dia berjalan menyusuri jalan kecil yang menghubungkan antara pemakaman dan perkampungan. Dari kejauhan dia melihat sebuah pohon yang cukup rindang. Tepat di depan pohon itu dia berhenti, matanya melihat kekiri dan ke kanan, seakan-akan ada yang tengah dia cari. Perlahan dia berjalan ke bawah pohon.
“Dulu…, disini ada bangku yang cukup lebar.” Gumamnya dalam hati. Pikiranya mulai melayang kemasa silam. Tiga puluh tahun yang lalu, dimana dia duduk di tempat itu dengan Ahmadi, laki-laki yang pernah dia cintai dan Ahmadipun sangat mencintainya.
“Bagaimana Resti …. ?” Tanya Ahmadi saat itu.
“Ahmadi….., kayanya….., hubungan kita tidak akan bisa berlanjut sampai ke jenjang yang kita harapkan.”
“Kenapa ? Tanya Ahmadi
“Ayahku….., ayahku …..”
“Kenapa dengan ayahmu ? “
“Ayahku ….. menerima pinangan orang lain, Ahmadi….” Jawab Resti dengan tangisannya yang mulai pecah.
“Terus…., kamu setuju ?”
“Maafkan aku, Ahmadi…., Aku tidak bisa menolak keinginan ayahku.”
Mendengar jawaban dari Resti seperti itu, Ahmadi menarik napas dalam-dalam lalu melepasnya sampai terdengar keluhanya. Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam lagi, lalu dia teriak sekeras-kerasnya. Selanjutnya dia mengambil beberapa batu yang ada di sekitar itu, lalu melemparkannya ke persawahan yang membentang di depanya.
“Hentikan, Ahmadi…., hentikan ,,,, !” Resti mencoba menghalangi Ahmadi yang tengah melepas segala kekecewaannya.
Ahmadi berlutut dengan kedua tangan di muka, butiran peluh dan tetesan air mata mengucur cukup deras. Dia tidak bicara, hanya napasnya yang nampak turun naik.
“Kalau kamu mau marah, marahlah sama aku, Ahmadi. Kalau perlu pukul aku, sampai kamu merasa puas !” Resti menyodorkan tubuhnya
Ahmadi memandang Resti dengan mata berbinar-binar. “Tidakkah kamu katakan pada ayahmu, kalau kamu sudah memiliki kekasih, Resti ? Tidakkah kamu katakan ?” Bentaknya
“Aku sudah mengatakannya Ahmadi, aku sudah mengatakannya. Tapi ayahku tetap tidak menghiraukanya.” Jawab Resti
“Siapa nama laki-laki itu ?”
“Mansur ….” Ucap Resti sambil menundukan wajahnya
“Mansur ? Mansur anak juragan sayur itu ?”
Resti tidak menjawab dengan kata-kata, dia hanya menganggukan kepalanya tanda membenarkan apa yang dikatakan Ahmadi.
“Pantas orang tuamu menerimanya, karena dia jauh lebih kaya dari aku. Kamu juga suka kan sama dia ?” Ahmadi bertanya dengan nada sinis pada Resti.
“Aku sudah katakan, aku tidak berdaya Ahmadi, aku tidak berdaya.” Jawab Resti diiringi dengan isak tangis yang semakin meninggi. “Sampai detik ini……, aku masih mencintaimu Ahmadi…… !” Lanjutnya di tengah-tengah isak tangisnya.
“Resti ……! Ucap Ahmadi dengan nada datar. “Berhentilah menangis ! Karena tangisanmu tak akan mengubah keadaan.” Pintanya
“Menurut kamu, apa yang dapat mengubah keadaan? Apa kamu mau mengajak aku kabur.?” Resti menatap Ahmadi. “Kalau kamu sanggup, aku siap ikut denganmu.”
“Tidak….., aku tidak akan melakukan tindakan sekonyol itu. Aku lebih baik mengalah. Aku akan pergi meninggalkan kampung ini, sekaligus aku mencoba mengeluarkan diriku dari hatimu. Dan aku harap, kamu pun harus berusaha keluar dari hatiku
“Kamu mau kemana, Ahmadi ?”
“Entahlah ….., yang jelas aku akan menjauh dari sini.”
“Ibumu…., bagaimana ?”
“Kalau dia mau, aku akan mengajaknya. Kalau dia tidak mau, aku akan titipkan ke kakaku yang ada di kampung sebelah.”
“Maafkan aku Ahmadi …., maafkan aku … !” Resti memeluk tubuh Ahmadi diiringi isak tangis yang semakin tak tertahankan.
Ahmadi melepaskan pelukan Resti. Dihadapkannya wajah Resti ke wajahnya. Ditatapnya dia dalam-dalam, seakan-akan itu adalah tatapannya yang terakhir. Lalu dia tengadahkan mukanya ke atas pohon.
“Pohon ini adalah saksi bisu cinta kita. Dulu kita bertemu disini, dan sekarang kita berpisah disini pula. Kudoakan semoga kamu bahagia hidup dengan orang pilihan kedua orang tuamu. Assalamu alaikum …. !” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Ahmadi langsung balik kanan lalu pergi meninggalkan Resti sendirian.
“Wa alaikum salam “ Hanya itu yang terucap dari mulut Resti. Tidak ada kata- kata lain. Dia setengah tidak percaya terhadap kejadian yang terjadi begitu cepat. Matanya tidak berkedip menatap Ahmadi yang sedang berjalan gontai, hingga menghilang ditelan persimpangan.
Resti menjatuhkan dirinya, duduk berlutut di atas tanah. “Ahmadi… Ahmadi…. Ahmadi ….!” Ucapnya di tengah isak tangisnya.
Saat itu seorang anak muda datang menghampiri Resti. Dia adalah Ridwan, anak kedua dari hasil perkawinannya dengan Mansur.
“Mamah …. !” Ucap Ridwan dengan suaranya pelan, sambil memegang pundak ibunya yang sedang bersimpuh.
Sekalipun suara Ridwan pelan, Resti tetap terlihat kaget. Dia segera menghapus air matanya yang masih tersisa. Kabur sudah semua kenangan nya dengan Ahmadi.
“Ada apa, mah ….? Kenapa mama menangis ?” Dua pertanyaan langsung datang dari anaknya.
“E …. eng… nggak apa-apa, mama ga apa-apa ?” Jawabnya gugup
“Kalau ga apa-apa, kenapa mamah menangis ?”
“Mamah hanya ingat, papah kamu saja.” Jawabnya berusaha menutupi apa yang telah terjadi pada dirinya.
“Kalau ingat papah, kenapa nangisnya disini ?” Kata Ridwan setengah tidak percaya.
“Kan kalau nangis di kuburan itu ga boleh, begitu kan kata pak Ustadz ?” Resti mencoba membela diri. Dia berusaha untuk tersenyum, menutupi kebohongannya.
“Ah …., mamah ada-ada aja.” Kata Ridwan. “Mamah sudah ke makamnya ?” Tanyanya
“Sudah……., tapi mamah belum membersihkan rerumputan yang tumbuh di makam papah kamu.”
“Kenapa ?”
“Nunggu kamu saja.”
“Ya… udah, yuk kita bersihkan !” Ajak Ridwan
“Ayooo. “ Balasnya
Ridwan menuntun mamanya menuju pemakaman untuk membersihkan rerumputan yang tumbuh di sekitar makam papah, kakek, dan neneknya. Resti merasa sangat bersyukur anaknya tidak menayakan lebih jauh, mengenai penyebab dirinya menangis.
Sampai Ridwan anak bungsunya berusia dua puluh lima tahun, Resti masih tetap merahasiakan kisah cintanya dengan Ahmadi pacar pertamanya. Yang tahu hanyalah ayah dan ibunya yang kini sudah menempati Taman Pemakaman Umum (TPU) yang sekarang lagi dia ziarahi. Entah sampai kapan dia sanggup memendamnya.
Kreator : Baenuri
Comment Closed: Saksi Bisu
Sorry, comment are closed for this post.