Adzan subuh sudah berkumandang sejak 15 menit yang lalu, aku pun baru saja mau beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar kecil untuk melakukan aktivitas seperti biasanya, segera kuambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, sholat subuh selalu ku awali dengan sholat Sunnah 2 rakaat yang menurut hadist bahwa shalat Sunnah subuh dua rakaat sebelum subuh lebih baik dari dunia dan seisinya. Setelah mengucapkan salam, aku pun membaca dzikir yang biasa ku baca setiap hari dan ku akhiri dengan doa. Seperti hari-hari biasa, aku pun menuju ke dapur untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk keluargaku, selain itu aku juga mulai menyiapkan gorengan yang biasanya dijual di koperasi siswa di sekolah. Tepat jam 6 pagi, pekerjaan rutinku di dapur sudah beres dan seperti biasa gorengan yang kubuat akan dibawa oleh anak gadisku yang bernama Alifia. Alifia Azzahra, itulah namanya gadisku yang cantik ini sekarang sudah duduk di kelas XI SMA. Anak yang pintar, namun sedikit pemalu dan introvert Namun demikian, ia tetap aktif pada semua kegiatan organisasi di sekolah.
“Ma…gorengannya dimana? Fia berangkat ya, Assalamualaikum.” teriaknya di depan pintu.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
Itulah kata yang selalu diucapkan ketika berangkat sekolah.
Setelah selesai makan dan mandi aku pun bersiap untuk berangkat ke sekolah. Dengan mengendarai motor, tidak sampai lima menit, aku sudah sampai di sekolahku, sekolah tempatku mengabdi sebagai guru selama lima belas tahun.
Hari ini adalah H-1 puncak perayaan ulang tahun di sekolahku. Terlihat berbagai macam kesibukan dari panitia dan siswa yang latihan untuk mempersiapkan penampilannya esok hari. Pembawa acara pun sibuk merangkai kata untuk disampaikan saat nanti saat di panggung. Dengan kesibukanku sendiri di koperasi siswa, aku mendengar melalui pengeras suara di sekolah bahwa mereka disuruh bersiap-siap untuk gladi bersih pada hari ini.
“Anak-anak, hari ini kita gladi bersih.” kata koordinator acara, yaitu Bu Tita. Pembawa Acara pun bersiap dan membacakan susunan acara dari awal sampai selesai. Demikian juga dengan acara non formal, mereka juga membacakannya sampai habis.
Aku sedikit mendengar ada kata kata yang belum pas ketika pembawa acara membacakannya dan aku pun mendekati mereka lalu memberi sedikit perbaikan.
Ku lihat Bu Tita duduk menyendiri tepat di depan perpustakaan sekolah sambil memperhatikan mereka. Rupanya dia mau menghitung waktu setiap penampilan peserta yang akan menghibur nantinya supaya tahu waktu yang diperlukan, katanya. Tepat sehabis sholat dzuhur, aku mengumpulkan siswa di Aula SMA bagi yang menjadi pembawa acara di hari perayaan puncak ulang tahun nanti. Fia dan Dwina kebagian di acara formal, sedangkan Laila dan Ilham di bagian acara non formal.
Beberapa jam sebelumnya, aku mendengarkan keluhan dari Bu Tita bahwa dia merasa menyerah melatih Ilham karena tidak ada kemajuan saat latihan hari ini, dan aku pun mengatakan bahwa aku ingin mencoba melatihnya. Namun sayangnya, aku tidak menyebutkan jam berapa aku akan melatihnya. Setelah beberapa saat, kami berlatih di sana dengan serunya. Tiba-tiba, Fia berbisik pelan padaku.
“Bu… Ibu sudah bilang belum dengan Bu Tita kalau Ibu mau melatih kami?”
Dengan agak sedikit emosi, aku menyahut.
“Iya, sudah. Jangan khawatir,”
Sesaat kemudian dia berbisik lagi.
‘Tapi, Bu Tita marah di grup, Bu. Katanya, tidak ada satupun pembawa acaranya berkumpul padahal acara mau dimulai.”
Aku pun bingung mau acara apa. Wajah mereka juga terlihat bingung bercampur ketakutan, Jantungku mulai berdetak kencang, jemariku bergerak cepat mencari kontak di WhatsApp. Nama Bu Tita ku tekan, di layar ponsel menunjukkan berdering tanda bahwa WhatsApp-nya aktif dan tak lama diangkatnya. Walaupun jantungku masih belum normal detaknya, aku berusaha menjelaskan dengan tenang kalau mereka sedang ku latih di aula. Emosiku pun memuncak saat kudengar jawaban ketus seolah menyalahkanku dan tiba tiba langsung memutuskan sambungan telepon. Sambil bergetar, dengan cepat aku mengetik kata pembelaan bercampur emosi juga, egoku masih menguasaiku. Usiaku jauh lebih tua darinya, berani beraninya dia memperlakukan aku seperti Ini. Batinku bergemuruh, badanku gemetar, wajahku terasa panas, tenggorokanku tercekat menahan air mata, setan sedang menyalakan api emosi di jiwaku. Sambil mendekat, ia berkata,
“Bu, jangan di chat gitu.’ pintanya.
Sepertinya dia khawatir aku dan Bu Tita berkelahi, perang mulut, atau cakar-cakaran seperti perempuan yang berkelahi di sinetron. Tapi, aku tidak menggubrisnya. Yang jelas jantungku masih berdetak cepat karenanya.
Latihan dihentikan dan mereka pun ku suruh ke lapangan untuk mendatanginya. Aku pun melangkah ke koperasi siswa dan membersihkannya karena bersiap untuk tutup. Salah satu siswaku bernama Faisal datang dan menjadi pelanggan terakhir yang datang membeli pentol dan kuberi bonus. Dengan lahap dia langsung menghabiskan jumlah yang sudah dibeli beserta bonusnya, melihatnya memakan dengan cepat dan lahap membuatku tertawa dan melupakan emosi tadi, setelah selesai semua pekerjaan di Kopsis aku terpikir dengan anak anak tadi, apa yang dilakukan Bu Tita kepada mereka, memarahi…. Pasti lah, batinku berkata.
Dengan cepat, aku segera menuju ke kantor untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Sesampainya di Ruang Guru aku kaget melihat Bu Tita bercucuran air mata dan di depannya ada empat orang siswa tadi juga diam membisu dengan mata yang merah, sepertinya juga menahan tangis mereka. Ku hampiri mereka dengan perasaan heran bercampur emosi, jantungku berdegup kencang lagi. Sempat terjadi sedikit perdebatan, aku bertahan dengan egoku, dia pun begitu, merasa benar dengan tingkahnya dan menuduh aku tidak menghargainya. Aku pun bingung dimana letak kesalahanku, dimana letak tidak menghargainya. Melihat keempat siswaku yang bingung dan seperti ketakutan jika kami bertengkar, aku pun mulai menurunkan egoku. Ku dengarkan dulu dia bercerita sambil menangis dari awal sampai akhir. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa semuanya terjadi hanya karena kesalahpahaman saja, aku pun berbesar hati dengan mengatakan bahwa aku salah paham dan minta maaf atas kesalahpahaman tadi. Ku ulurkan tangan dan kami pun saling bermaafan. Setelah itu, baru kami ceritakan semua kejadian dari awal menurut versi dia, juga versiku. Anak-anak yang awalnya terlihat tegang melihat kami berdebat, kini mulai sumringah lagi. Kami pun menyuruh mereka ke lapangan lagi untuk berlatih mengatur posisi masuk teman-temannya yang nanti akan tampil di depan panggung. Setelah itu, kami pun berdiskusi lagi tentang kegiatan di acara perayaan ulang tahun sekolah nanti, dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa setiap ada masalah seharusnya kita komunikasikan dulu dengan kedua belah pihak supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Sabar dan berpikir tenang ketika menghadapi masalah itu memang mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan. Perlu ilmu menguasai diri yang tinggi, namun pengalaman demi pengalaman bisa kita jadikan sebagai pelajaran dan semoga bisa menjadikan kita lebih dewasa lagi dalam menghadapi masalah dan mengelola emosi .
Pandih Batu, 23 November 2024
Kreator : Norlaila
Comment Closed: Salah Paham
Sorry, comment are closed for this post.