Bagaikan banjir bandang yang menerjang sungai di tengah derasnya hujan. Gelombang air keruh bergolak sepanjang sungai berliku. Gemuruh ombak berkejaran susul menyusul. Larah-larah sampah terombang ambing ke sana kemari dihempas guncangan air tak beraturan. Hantam sana hantam sini tiada peduli kanan kiri. Pohon diterjang. Sawah dihantam. Apapun diterjang. Parit sawah bukan penghalang. Parit sawah dan tanaman pun ludes hancur berantakan. Dihantam banjir bandang yang datang tak diundang.
Begitulah gambaran remuknya hatiku menahan rindu yang tak tertahankan. Rindu berat yang kian bertumpuk hari demi hari, dimana hati ini rindu tak terbendung ingin bertemu Ibunda tercinta. Kubayangkan Beliau yang jauh di sana. Walaupun wajah dan jiwa serasa hadir di depan mata. Namun, hanya bayangan yang tak mampu kupeluk dan kusapa.
Kutatap langit-langit kamarku yang terbuat dari anyaman bambu. Seakan tampak jelas wajah Ibu. Gerak langkahnya terbayang jelas olehku, seolah aktivitas keseharian Ibu muncul kembali di depan mataku. Rinduku semakin berat. Tak terasa air mengalir menganak sungai di pipiku. Kuusap dengan tangan mungilku. Dan, ku lanjutkan lamunanku, bahagia bertemu Ibu, tapi hanya semu.
Semenjak kulangkahkan kaki ini, kupaksa rasa hati tuk mampu mengikuti. Di mana hati ini yang seharusnya masih bermanja dalam pelukan Ibu, namun, harus pergi merantau jauh dari orang tua, berkumpul dengan orang lain yang bukan sanak saudara. Di mana raga ini lelah banting tulang angkat beban bagaikan kuli bangunan. Di usia sedini itu kutempuh semua demi sesuap nasi.
Kadang hati ini merintih sedih meratapi nasib diri. Teringat saat dimarahi majikan muda seorang janda. Gegara si kambing yang teriak sepanjang malam karena tidak suka rumput yang aku sajikan.
Namun, tekad kuat memberi semangat dan kekuatan untuk bertahan. Walaupun harus bekerja dan hati merana. Bukan demi cita-cita setinggi langit, namun hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Tapi bangga dan lega karena tidak minta makan kepada orang tua dalam sehari-harinya. Ini semua kurasakan karena aku paham betapa susahnya kedua orang tuaku mencarikan makan demi menghidupi kami di masa kecil. Maka, ketika usia beranjak remaja kurela pergi meninggalkan mereka.
Hari demi hari kulalui. Pekan demi pekan kulewatkan. Bulan demi bulan kujalani. Tahun demi tahun silih berganti. Ternyata rindu pada orangtua muncul di hati semakin menjadi. Kupendam, kutahan, kurasakan, kuhempaskan, kutarik nafas dalam-dalam. Tak mampu mengobatinya. Justru semakin kuat muncul dalam ingatan betapa Bapak bekerja keras banting tulang, tak kenal lelah, tak kenal pagi siang, tak kenal panas hujan, tak kenal sakitnya badan. Kerja di sawah, di ladang, di hutan, bertani dan nderes getah kayu pinus sambil menggembala sapi. Semua itu demi mencarikan makan untuk kami, anak-anaknya. Maa syaa Allah, semoga Allah membalas amal baik Bapak dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Tak kalah keras, sepak terjang Ibu pun muncul dalam ingatanku. Betapa beliau semangat bekerja menembus derasnya hujan. Hanya bertudungkan caping gunung menyusuri lereng pinggir sungai untuk mencari rebung tunasnya bambu. Bambu Ori berduri tunduk di tangan Ibuku yang hanya bersenjatakan sebuah sabit mungil tuk menembus barongan demi memetik rebungnya ori. Subhanallah.
Dan muncul pula di mana Ibu yang kuat memanjat pohon yang tinggi untuk memetik daun sirih yang merambat tinggi menjulang setinggi pohon itu. Di mana kala itu angin bertiup kencang, sedang Ibu berada di atas ketinggian. Tak mampu aku berbuat apa-apa saat itu. Namun, ternyata semua itu terekam jelas dalam sanubariku.
Tak terlewatkan pula, kenangan di mana saat Ibu menempuh perjalanan jauh berpuluh kilometer dengan berjalan kaki sambil menggendong hasil bertani. Banyak macam hasil kebun untuk dijual ke pasar. Setiap hari pasaran, Ibu pergi ke pasar menjual rebung, sirih, laos, ganyong, tewel, jahe, ubi, dan singkong, serta banyak lagi macam hasil kebun lainnya. Tapi, kala itu sangat murah harganya. Dan, selain itu terus bermunculan berbagai macam gerak langkah sepak terjang kedua orang tuaku di masa kecilku. Betapa Bapak dan Ibu adalah idolaku.
Rinduku semakin menjadi. Rasa bersalah dan berdosa menghantui. Betapa aku belum bisa berbakti dan mengabdi serta melayani kedua orang tuaku. Namun, kini Bapak telah tiada. Tinggal Ibu yang berada nan jauh di sana. Ingin kupeluk Ibu. Ingin aku tidur bersamanya. Ingin kudekap dalam tidurku. Ingin ku bercanda bersamanya. Ingin kubuatkan kopi kesukaannya. Ingin ku cucikan bajunya. Ingin kusiapkan handuk untuknya saat mandi. Ingin ku rebuskan air buat mandi untuknya. Ingin ku masak terenak untuknya. Ingin aku pijat kakinya. Ingin ku potongin kuku-kukunya. Ingin kugendong Ibuku.
Namun apa daya, kini aku di sini, Ibu di sana. Kan ku telepon tiada handphone, kan ku WA tiada data, kan ku-tele tiada daya, kan kutulis surat tiada pena. Buntu sudah rasanya dunia.
Ya Tuhan, ampunilah aku. Engkau yang Maha Pengampun, Engkau yang Maha Penyayang, Engkau yang Maha Kuasa atas segalanya, mohon disampaikan salam hormat pada Bapak dan salam rindu buat Ibu.
Ya Allah Tuhanku, ampunilah aku dan Ibu Bapak. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecilku. Wahai Dzat yang Maha Sempurna, tempatkanlah Bapak di surga-Mu dengan rahmat dan kasih sayang-Mu. Ya Allah Dzat yang Maha Agung, karuniakan lah pada Ibu umur panjang yang bermanfaat yang barokah, Iman Islam yang kuat, berikanlah beliau senantiasa sehat kuat jasmani rohani, berikanlah beliau senantiasa bahagia ayem tentrem tenang dan nyaman, ya Allah. Ya Robbi Dzat yang Maha Sempurna, jadikanlah Ibuku ridha kepadaku dan aku pun ridha kepadanya, ya Allah… aamiin aamiin aamiin yaa Robbal’alamiin.
#########################
Kreator : Endah Suryani, S. Pd AUD
Comment Closed: Salam Rindu Buat Ibu
Sorry, comment are closed for this post.