Penulis : Patrisia Carolina (Member KMO Alineaku)
Kajang Rabang, sebuah kelurahan di Indonesia Timur tepatnya di Maumere, Flores-NTT. Awal tahun 2016 orang tuaku membeli sebidang tanah di salah satu kelurahan di Kabupaten Sikka, jaraknya hanya 6-8 kilo dari pusat kota. Namun, daerah tersebut terdapat banyak batu, kering, tandus, dan susah air. Aku yang sudah biasa hidup di tanah yang rata dan tidak pernah melihat lahan dengan hamparan batu yang luas, terkejut melihat pemandangan di depan.
Tanah yang dibeli oleh orang tuaku dari ujung ke ujung penuh dengan batu besar. Aku, adik dan mama hanya saling pandang sedangkan bapak berbincang dengan pemilik tanah.
“Apa bisa kami bagun rumah ditanah ini? Hampir tidak ada tanah yang terlihat, semuanya batu. Dan air. Kami harus mengambil dari mana? Kalau beli, bagaimana caranya mobil tangki lewat? Tidak ada jalan. Sumur pun tidak ada. Mana kering dan rumah hanya ada beberapa, itu pun dengan jarak yang cukup jauh. Bagaimana kalau ada pencuri?” berbagai macam pertanyaan mengusik otakku. Karena penasaran aku mendekati mama dan bertanya kepadanya.
“Mama, kenapa bapak harus beli tanah disini? tidak ada tempat lain. Batu semua in,” ucapku. Mama hanya tersenyum, merasa tidak enak karena pemilik tanah mendengar ucapanku. Setelah melakukan pembayaran kami kembali ke kota, tepatnya rumah kontrakan kami sejak aku kelas satu SMP hingga pada saat aku semester tiga.
Sampai di kontrakan kami bertiga bertanya pada bapak akan masalah itu dan bapak hanya menjawab “bapak bisa beli tanah di kota, tapi resikonya kalian berdua tidak bisa melanjutkan sekolah kalian. Bapak membeli tanah disana karena murah, biar batu banyak tidak apa-apa. Nanti sepuluh atau dua puluh tahun kemudian pasti banyak rumahnya.”
Pertengahan tahun 2017 bapak dan mama sudah bolak-balik Kajang Rabang-Maumere. Pada saat itu di tanah yang penuh bebatuan bapak membangun rumah. Jika tidak kuliah saya akan membantu memasak untuk para tukang. Dan pada Akhir tahun 2018 kami sekeluarga mantap menetap di Kajang Rabang.
Pada awal kami tinggal di sana, saya dan adik selalu mengeluh tentang air. Karena kami tidak punya bak penampung permanen hanya bak penampung dari terpal yang berisi satu tengki. Itu pun hanya untuk mandi. Namun itu hanya awalnya saja, setelah itu kami setiap pagi dan sore hanrus mengangkut air dari sumur yang berjarak kurang lebih satu kilo.
Kadang kami mulai jam 2 siang dan selesai jam 6 sore dengan berjalan kaki bolak-balik untuk di tampung di gentong berisi 500 liter. Belum lagi untuk disimpan di jerigen yang berisi 5 dan 50 liter. Tiap pagi sebelum ke kampus sekitar jam 5.30 kami harus ke sumur. Tentu bukan hanya kami saja yang mengambil air dari sumur tersebut, sekitar 20 lebih rumah mengambil air dari sana. Sumur itu dalamnya 12 meter tanpa menggunakan mesin. Itu pun bukan sumur dari pemerintah melainkan sumur penduduk setempat yang baik hati memberikan air ke pada kami dengan gratis.
Hari Minggu adalah jadwal mencuci bagi kami. Sepulang dari gereja kami bergegas ke sumur untuk mencuci pakaian, tentu dengan tujuan agar mendapatkan tempat yang teduh. Selama tiga tahun kami melakukan kegiatan itu.
Hingga suatu saat seorang tetangga kami sebut saja Pak Files, mengatakan akan membor sumur. Kami tentu bersyukur karena kami tidak akan terlalu jauh mengambil air. Awalnya mereka gagal karena tempat mata air terhalang batu yang menyebabkan alat bor rusak. Namun, Pak Files tidak patah semangat. Pak Files kembali mencari tempat mata air dan mendapatkanya. Uang ratusan juta habis untuk membor sumur dan membeli smua peralatan. Menariknya, ketika berhasil kekuatan air diukur menggunakan aplikasi di hp dan diatur oleh hp. Awalnya, air digunakan hanya untuk mengairi kebun tomat dengan sistem irigasi tetes milik mereka. Lama-kelamaan dan banyak permintaan dari warga setempat kepada Pak Files akhirnya beliau meminta dinask kesehatan untuk mengetes kelayakan air. Dari dinas pun menyatakan jika air tersebut layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Mulai dari saat itu Pak Files mulai berbisnis air.
Pada awalnya Pak Files menggunakan sistem tarik selang (air dari penampungan dialiri menggunakan selang, namun bukan selang yang tanam atau permanen) setiap ada yang membutuhkan air Pak Files beserta anaknya akan ke rumah tersebut tentu dengan membawa serta selang. Melihat kegigihan dari Pak Files sebagian warga menyarankan agar Pak Files membuat seperti sistem PAM. Dimana tiap rumah hanya perluh memasang meteran air dan dibuat jadwal aliran air. Hingga pada tahun 2020 Pak Files berhasil mengumpulkan semua alat dan bahan, percobaan pertama terjadi di lingkungan kami. Kini usaha air Pak Files bisa di rasakan hingga puluhan rumah di wilayah kelurahan kami. Dulu kami yang selalu kecapaian karena mengangkat air dari sumur dengan jarak yang cukup jauh, kini kami hanya perlu membuka meteran air di samping rumah.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Sang Penyelamat Kekeringan
Sorry, comment are closed for this post.