Resto Makaroni Panggang Bogor, 22 Juni 2025
Pagi itu, langit Bogor masih menyimpan sisa-sisa gerimis semalam. Embun bertahan malu-malu di pucuk-pucuk daun, seolah belum rela digantikan cahaya. Udara yang masuk dari jendela membawa aroma tanah basah; segar, jujur, dan seolah mengingatkan satu kenangan indah.
Lalu ponselku bergetar.
“Aku culik kamu pagi ini. Sarapan yuk, di tempat biasa. Tapi kali ini… kita bawa misi untuk bumi.”
Pesan dari Liana, sahabatku. Singkat. Tegas. Tak memberi ruang untuk menolak. Seperti biasa.
Beberapa menit kemudian, mobil putihnya berhenti di depan rumah. Ia turun dengan senyum khas; senyum yang selalu mengisyaratkan petualangan dan kejutan yang tidak bisa ditebak.
“Hari ini bukan sekadar sarapan. Ini tentang cinta…”
“Cinta?” tanyaku sambil masuk ke mobil. Mataku masih berat, sisa begadang semalam mengecek laporan Tugas Akhir mahasiswa yang seakan tak kunjung usai.
“Cinta pada bumi kita. Yang kian letih karena kita terus-menerus mengambil, tapi lupa memeluknya.”
Aku terdiam. Mobil melaju pelan menyusuri Jalan Salak. Trembesi tua berjajar di sisi jalan, seperti barisan penjaga kenangan. Setiap rantingnya seakan menunduk, menyapa dengan hikmat. Kota ini masih sama… tapi entah mengapa, pagi ini terasa berbeda.
Ada getar di udara. Ada rindu yang menggantung tanpa bentuk. Seperti suara masa lalu yang berbisik lewat daun-daun yang berayun pelan.
Resto Makaroni Panggang menjadi target tempat sarapan. Tempat legendaris di mana mimpi tentang bumi yang lebih hijau pernah kami bisikkan sambil mengunyah keju dan menyeruput teh jahe panas.
Kami duduk di meja pojok yang sama. Sudut kecil yang menyimpan banyak kenangan. Pelayan datang, tapi Liana tak butuh menu.
“Lemang ketan, teh jahe dua, makaroni panggang keju ekstra” tandasnya tanpa ragu.
Aku tertawa kecil, meledeknya. “Kamu tetap saja penuh drama.”
“Karena bumi kita juga layak diperjuangkan dengan drama. Biar orang-orang akhirnya sadar, bahwa cinta pada lingkungan bukan sekadar kampanye musiman.”
Makanan datang. Lemang ketan hangat dengan balutan serundeng gurih. Teh jahe mengepul perlahan. Aroma makaroni panggang yang melelehkan keju memenuhi udara, tapi yang menghangatkan bukan itu.
Yang terasa mengenyangkan pagi itu adalah obrolan yang mengisi ruang jiwa.
“Nurul,” katanya pelan sambil mengaduk teh. “Aku sedih lihat bumi kita. Sungai-sungai mati perlahan. Hutan-hutan meranggas dan gundul. Laut kita penuh luka. Dan anak-anak… mengira daun asli hanya bisa dilihat dari layar gawai.”
“Minggu lalu aku ajak siswa SMA ke kebun. Mereka takut menyentuh tanah. Salah satu dari mereka berkata, ‘Ih, itu cacing beneran ya, Bu?’ Bayangkan… anak-anak itu asing dengan rumahnya sendiri.”
“Mereka tidak mengenal tanah, karena sejak kecil hanya diajari menatap langit; prestasi, gengsi dan panggung megah. Tapi tidak pernah diajak mencium wangi bumi, tempat semua kehidupan bermula.”
“Mereka diajari terbang, tapi lupa diajari mendarat. Mereka bahkan tidak pernah tahu di mana dan kapan harus mendarat.”
“Kalau kita mulai dari yang kecil… mungkinkah?” tanyanya lirih.
“Bukan mungkin, tapi memang seharusnya. Karena cinta pada lingkungan tidak harus menunggu besar. Ia tumbuh dari yang sederhana; meja makan, ruang kelas, cerita pengantar tidur. Tanam satu pohon. Ceritakan dongeng tentang laut yang kesepian. Ajak anak turun langsung menyapa matahari, bukan hanya lewat jendela.” jelasku.
Mata Liana tampak gelisah.
“Masih ada waktu dan harapan. Yuk, kita hidupkan kembali mencintai dengan cara sederhana. Bukan yang viral di media, tapi yang diam-diam melekat di hati. *Cinta yang bekerja, bukan hanya berbicara*.” kataku mencoba menguatkannya.
Kami membayangkan sekolah-sekolah dengan kebun kecil. Restoran tanpa sedotan plastik. Anak-anak belajar tentang air, bukan dari definisi di buku, tapi dari gemericik sungai yang mereka rawat bersama.
“Nurul, coba bayangkan…” suaranya bergetar, *“jika setiap anak menanam satu pohon, lalu menyiramnya dengan penuh cinta; apa yang akan terjadi dua puluh tahun dari sekarang?”*
Aku tidak menjawab. Tenggorokanku tercekat. Mataku mendadak panas.
Karena kadang, cinta pada bumi tidak perlu teriak. Cukup hadir. Menyentuh. Merawat. Dalam diam yang penuh makna.
Pukul 09.04, kami harus kembali pada dunia nyata. Tapi pagi itu, ada sesuatu yang tumbuh di hati kami. Bukan sekadar harapan, tapi janji.
Sebelum beranjak, kami sepakat untuk terus mencintai bumi. Dalam diam, dalam karya. Karena tanpanya, kita bukan siapa-siapa.
Kami pulang dengan perut kenyang. Tapi yang lebih penting, jiwa terasa lebih penuh dan hidup.
Dan pagi itu, meninggalkan kesan yang tidak akan aku lupa;
Bahwa cinta pada bumi bisa tumbuh dari sepotong makaroni, dari segelas teh jahe, dan dari dua sahabat yang saling percaya… bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari panggung besar, tapi bisa mekar dari meja kecil yang penuh cinta.❤🔥🌹🎀
Bogor, 23 Juni 2025
Kreator : Nurul Jannah
Comment Closed: Sarapan, Cinta dan Bumi yang lelah
Sorry, comment are closed for this post.