KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Sarapan, Cinta dan Bumi yang lelah

    Sarapan, Cinta dan Bumi yang lelah

    BY 28 Jul 2025 Dilihat: 15 kali
    Sarapan, Cinta dan Bumi yang lelah_alineaku

    Resto Makaroni Panggang Bogor, 22 Juni 2025

    Pagi itu, langit Bogor masih menyimpan sisa-sisa gerimis semalam. Embun bertahan malu-malu di pucuk-pucuk daun, seolah belum rela digantikan cahaya. Udara yang masuk dari jendela membawa aroma tanah basah; segar, jujur, dan seolah mengingatkan satu kenangan indah.

    Lalu ponselku bergetar.

    “Aku culik kamu pagi ini. Sarapan yuk, di tempat biasa. Tapi kali ini… kita bawa misi untuk bumi.”

    Pesan dari Liana, sahabatku. Singkat. Tegas. Tak memberi ruang untuk menolak. Seperti biasa.

    Beberapa menit kemudian, mobil putihnya berhenti di depan rumah. Ia turun dengan senyum khas; senyum yang selalu mengisyaratkan petualangan dan kejutan yang tidak bisa ditebak.

    “Hari ini bukan sekadar sarapan. Ini tentang cinta…”

    “Cinta?” tanyaku sambil masuk ke mobil. Mataku masih berat, sisa begadang semalam mengecek laporan Tugas Akhir mahasiswa yang seakan tak kunjung usai.

    “Cinta pada bumi kita. Yang kian letih karena kita terus-menerus mengambil, tapi lupa memeluknya.”

    Aku terdiam. Mobil melaju pelan menyusuri Jalan Salak. Trembesi tua berjajar di sisi jalan, seperti barisan penjaga kenangan. Setiap rantingnya seakan menunduk, menyapa dengan hikmat. Kota ini masih sama… tapi entah mengapa, pagi ini terasa berbeda.

    Ada getar di udara. Ada rindu yang menggantung tanpa bentuk. Seperti suara masa lalu yang berbisik lewat daun-daun yang berayun pelan.

    Resto Makaroni Panggang menjadi target tempat sarapan. Tempat legendaris di mana mimpi tentang bumi yang lebih hijau pernah kami bisikkan sambil mengunyah keju dan menyeruput teh jahe panas.

    Kami duduk di meja pojok yang sama. Sudut kecil yang menyimpan banyak kenangan. Pelayan datang, tapi Liana tak butuh menu.

    “Lemang ketan, teh jahe dua, makaroni panggang keju ekstra” tandasnya tanpa ragu.

    Aku tertawa kecil, meledeknya. “Kamu tetap saja penuh drama.”

    “Karena bumi kita juga layak diperjuangkan dengan drama. Biar orang-orang akhirnya sadar, bahwa cinta pada lingkungan bukan sekadar kampanye musiman.”

    Makanan datang. Lemang ketan hangat dengan balutan serundeng gurih. Teh jahe mengepul perlahan. Aroma makaroni panggang yang melelehkan keju memenuhi udara, tapi yang menghangatkan bukan itu.

    Yang terasa mengenyangkan pagi itu adalah obrolan yang mengisi ruang jiwa.

    “Nurul,” katanya pelan sambil mengaduk teh. “Aku sedih lihat bumi kita. Sungai-sungai mati perlahan. Hutan-hutan meranggas dan gundul. Laut kita penuh luka. Dan anak-anak… mengira daun asli hanya bisa dilihat dari layar gawai.”

    “Minggu lalu aku ajak siswa SMA ke kebun. Mereka takut menyentuh tanah. Salah satu dari mereka berkata, ‘Ih, itu cacing beneran ya, Bu?’ Bayangkan… anak-anak itu asing dengan rumahnya sendiri.”

    “Mereka tidak mengenal tanah, karena sejak kecil hanya diajari menatap langit; prestasi, gengsi dan panggung megah. Tapi tidak pernah diajak mencium wangi bumi, tempat semua kehidupan bermula.”

    “Mereka diajari terbang, tapi lupa diajari mendarat. Mereka bahkan tidak pernah tahu di mana dan kapan harus mendarat.”

    “Kalau kita mulai dari yang kecil… mungkinkah?” tanyanya lirih.

    “Bukan mungkin, tapi memang seharusnya. Karena cinta pada lingkungan tidak harus menunggu besar. Ia tumbuh dari yang sederhana; meja makan, ruang kelas, cerita pengantar tidur. Tanam satu pohon. Ceritakan dongeng tentang laut yang kesepian. Ajak anak turun langsung menyapa matahari, bukan hanya lewat jendela.” jelasku.

    Mata Liana tampak gelisah.

    “Masih ada waktu dan harapan. Yuk, kita hidupkan kembali mencintai dengan cara sederhana. Bukan yang viral di media, tapi yang diam-diam melekat di hati. *Cinta yang bekerja, bukan hanya berbicara*.” kataku mencoba menguatkannya.

    Kami membayangkan sekolah-sekolah dengan kebun kecil. Restoran tanpa sedotan plastik. Anak-anak belajar tentang air, bukan dari definisi di buku, tapi dari gemericik sungai yang mereka rawat bersama.

    “Nurul, coba bayangkan…” suaranya bergetar, *“jika setiap anak menanam satu pohon, lalu menyiramnya dengan penuh cinta; apa yang akan terjadi dua puluh tahun dari sekarang?”*

    Aku tidak menjawab. Tenggorokanku tercekat. Mataku mendadak panas.

    Karena kadang, cinta pada bumi tidak perlu teriak. Cukup hadir. Menyentuh. Merawat. Dalam diam yang penuh makna.

    Pukul 09.04, kami harus kembali pada dunia nyata. Tapi pagi itu, ada sesuatu yang tumbuh di hati kami. Bukan sekadar harapan, tapi janji.

    Sebelum beranjak, kami sepakat untuk terus mencintai bumi. Dalam diam, dalam karya. Karena tanpanya, kita bukan siapa-siapa.

    Kami pulang dengan perut kenyang. Tapi yang lebih penting, jiwa terasa lebih penuh dan hidup.

    Dan pagi itu, meninggalkan kesan yang tidak akan aku lupa;

    Bahwa cinta pada bumi bisa tumbuh dari sepotong makaroni, dari segelas teh jahe, dan dari dua sahabat yang saling percaya… bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari panggung besar, tapi bisa mekar dari meja kecil yang penuh cinta.❤‍🔥🌹🎀

     

    Bogor, 23 Juni 2025

     

     

    Kreator : Nurul Jannah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Sarapan, Cinta dan Bumi yang lelah

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021