Ketika kita berbicara tentang normalitas, kita berbicara tentang sebuah konsep yang hampir tak terjangkau. Alfred Adler, dengan bijaknya, mengungkapkan bahwa “Satu-satunya orang yang normal, adalah orang yang tidak anda kenal dengan baik.” Kata-kata ini begitu dalam, begitu meresap ke dalam realitas kehidupan sehari-hari kita.
Pada permukaan, kita semua terlihat normal. Kita tersenyum, menyapa, menjalani rutinitas kita dengan ketertiban yang seolah-olah tak tergoyahkan. Namun, semakin kita mengenal seseorang, semakin banyak lapisan yang terkelupas, dan di situlah ketidaksempurnaan muncul. Setiap orang memiliki cacatnya sendiri, kelemahannya sendiri, dan kesalahannya sendiri. Dan begitu pula kita, di mata orang lain.
Dalam hubungan apa pun, semakin dekat kita dengan seseorang, semakin kita terpapar pada ketidaksempurnaan mereka. Betapa ironisnya, bahwa cinta dan persahabatan, yang seharusnya membawa kita lebih dekat, seringkali menjadi jembatan ke realitas yang keras ini. Ketika kita tak mampu menerima ketidaksempurnaan ini, kita mulai merasakan jarak. Kita mulai merasa tidak cocok, dan istilah “tidak normal” mulai menghantui pikiran kita.
Suami-istri yang tak bisa menerima ketidaksempurnaan satu sama lain akan menemukan diri mereka di persimpangan jalan. Mereka mungkin tetap bersama dalam tubuh, tetapi jiwa mereka terpisah jauh, seperti dua benua yang terpisah oleh lautan yang luas. Namun, bagi mereka yang mampu menerima, memaafkan, dan menghargai ketidaksempurnaan ini, hubungan mereka akan berubah menjadi ikatan yang lebih kuat dan mendalam. Mereka akan menjadi belahan jiwa, saling melengkapi dengan cara yang tak bisa dijelaskan oleh logika sederhana.
Persahabatan juga mengalami dinamika serupa. Teman yang tak bisa menerima ketidaksempurnaan temannya akan berpisah, mungkin dengan alasan yang terlihat sepele di permukaan. Namun, bagi mereka yang bisa menerima, persahabatan mereka akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih kuat dan tahan lama, menjadi sahabat sejati.
Hubungan keluarga juga tidak kebal terhadap konsep ini. Saudara yang tak bisa menerima ketidaksempurnaan satu sama lain akan menjauh, menciptakan jarak yang sulit dijembatani. Namun, orang luar yang mampu menerima ketidaksempurnaan tersebut akan sering kali menjadi “saudara” yang sejati, ikatan yang terbangun bukan oleh darah, tetapi oleh pemahaman dan penerimaan.
Ketidaksempurnaan adalah kenyataan yang tak terelakkan dalam kehidupan manusia. Jika kita tidak kuat menghadapi kenyataan ini, jika kita terus mencari kesempurnaan yang tidak ada, maka kita akan selalu menemukan diri kita merasa kesepian, terpisah dari orang-orang di sekitar kita. Keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan adalah kunci untuk membangun hubungan yang bermakna dan abadi.
Jadi, jika kita ingin mendekat kepada seseorang, kita harus siap menghadapi ketidaksempurnaan mereka. Kita harus siap untuk menerima, memaafkan, dan memahami. Karena pada akhirnya, itulah yang membuat kita manusia. Itulah yang membuat kita benar-benar terhubung satu sama lain. Dan dalam penerimaan ketidaksempurnaan itu, kita menemukan keindahan sejati dari hubungan manusia.
Kreator : Wista
Comment Closed: Sebuah Hubungan
Sorry, comment are closed for this post.