KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Selamat Jalan, Mom

    Selamat Jalan, Mom

    BY 17 Okt 2024 Dilihat: 89 kali
    Selamat Jalan, Mom_alineaku

    Setelah sholat subuh aku masuk ke kamar Mama, duduk di sisinya sambil membaca surat yasin. Mama masih tidur, atau setidaknya seperti itulah kondisi beliau yang aku saksikan. Ku selesaikan bacaanku sambil mengelus punggung tangannya yang masih tertusuk jarum infus. Karena beliau masih tidur, aku bersegera mandi dan berdandan, bersiap ke kantor. Sekali lagi aku ke kamar Mama dan melihat beliau sudah membuka mata.

    Aku merasa senang sekali, karena akhirnya aku melihatnya membuka mata. Aku memang mempercepat kepulanganku karena menerima telepon dari adikku bahwa sudah dua hari sejak aku berangkat, Mama low respon, lebih banyak tidur dan enggan berkomunikasi. Makan pun hanya satu atau dua suap saja, lalu menolak tangan adikku yang menyuapinya. Aku minta adikku agar membawa lagi Mama ke rumah sakit. Tidak boleh dibiarkan mama tak makan, karena akan membuatnya semakin lemah.

     “Kalau Kakak pulang besok, sama-samalah kita antar Mama ke Rumah sakit.” Katanya, aku pun 

    menyanggupi dan segera minta izin ke atasan untuk pulang duluan tanpa mengikuti lagi acara penutupan. 

    Dan, pagi ini aku bisa melihat Mama bangun. Aku langsung duduk di sisi beliau. Ku sapa beliau sambil mengelus pipinya yang tirus. Entah kenapa beliau sama sekali tak memandang ke arahku, seakan-akan tidak mendengar sapaanku. Aku sampai perlu memegang wajah beliau dengan kedua tanganku agar beliau memandangku.

    “Ma, ini aku, anak Mama. Mama ingat, kan?” Kataku menyebut nama panggilanku, karena aku merasa hanya wajah Mama yang memandang ke arahku tapi sesungguhnya beliau tidak benar-benar melihatku.

    Aku melepas tanganku dari wajah Mama, dan mengulurkan tanganku meraih tangan Mama yang tergeletak lemas di samping tubuhnya. Ku genggam jemarinya, dingin hingga pergelangan tangan. Aku juga meraba kaki beliau yang juga dingin hingga pergelangan.

     

    Ku tatap sekali lagi matanya, dan hatiku seketika berdetak luruh. “Ya Ilahi, inikah saatnya?”

    Aku langsung membatalkan rencana ke kantor. Masih tetap duduk di sisi Mama. Aku mengabari staf di kantor bahwa aku hari ini izin tidak masuk karena khawatir meninggalkan Mama dalam kondisi yang tidak sedang baik – baik saja.

    Setelah mengabari semuanya, aku memanggil adikku dan menanyakan bagaimana pendapatnya. Dia menyerahkan keputusannya padaku, hati kecilku sudah tidak mengizinkan Mama dibawa ke rumah sakit lagi. Tapi, aku juga tidak ingin disalahkan oleh saudara-saudaraku, karena berkeras merawat Mama di rumah. Aku akhirnya meminta anak laki-lakiku untuk menjemput kakak perempuan Papa. Chacha, putriku, segera memeriksa nadi, mengukur tensi, dan melanjutkan dengan memeriksa gula darah Mama, tapi dengan putus asa dia bilang tangan ”Pue” (Panggilan Nenek dalam Bahasa Kami) sudah tak berdarah lagi. Kembali hatiku terketuk. Chacha mengeluarkan senternya dan memeriksa mata Mama.

    “Bagaimana Cha?” Terdengar suara adikku bertanya cemas.

    “Tak apa-apa.” lirih suara Chacha menjawab.

    Tapi aku menangkap ketidakyakinan dalam suara itu.

    Ketika Tante Endah, kakak perempuan Papa tiba, beliau berdiri sejenak di sisi tempat tidur kemudian langsung menunduk di kuping Mama, berbisik dan masih tetap dalam posisi itu sekian lama. Ketika Tante meluruskan tubuhnya, aku langsung bertanya,

    “Menurut Tante, apa Mama kita bawa lagi ke rumah sakit?”

    Tante menggeleng keras, “Mamamu sudah berjalan.” 

    Jawaban yang sama ketika aku bertanya bagaimana kondisi Papa waktu itu, hanya beberapa menit berselang sebelum Papa menghembuskan nafasnya yang terakhir. Yah, pengalaman mengajarkan banyak hal padanya, dan aku percaya pada penglihatan tanteku ini. 

    Bahkan, aku sendiri juga tidak mampu mengingkari hatiku yang membisikkan hal yang sama ketika melihat pandangan Mama tadi. 

    Segera aku menelepon kakak laki-laki yang saat bersamaan baru saja berangkat ke Kabupaten Tojo Una-Una dalam rangka hari Pangan. Aku langsung memintanya pulang, kalau bisa langsung saja ke bandara, kataku. Karena seingatku masih dua jam lagi ada penerbangan satu-satunya dari Bandara Tanjung Api ke Bandara Mutiara. Dan, ternyata benar, alhamdulillah kakakku masih bisa terbang meski harus berlari-lari di landasan pacu karena  dia  penumpang terakhir.

    Setelah kami semua berkumpul, satu-satu saudara dan handai tolan datang berkunjung, dan banyak yang kemudian berkenan membacakan mama surah Yasin. Nafas Mama halus, dan perlahan tangan dan kaki beliau mulai hangat.

    Sebagaimana layaknya orang lain di usia 75 tahun, Mama sudah memakai gigi tiruan. Salah satu kerabat menanyakan padaku, kenapa gigi tiruan Mama tak dilepas. Aku hanya mengatakan jika beliau ingin, maka pasti beliau akan meminta kami melepasnya, mengingat Mama menutup mulutnya rapat-rapat sejak kemarin. Jelang pukul 15.12, aku dikejutkan oleh Chacha, putriku, bahwa Mama tiba-tiba saja mengeluarkan gigi tiruannya dan Chacha tinggal menariknya keluar. Hatiku semakin luruh, ini memang sudah waktunya. Aku berusaha menguatkan hati, melupakan percakapan kami berdua tiga minggu lalu.

    Semakin banyak saudara kami yang datang menjenguk, sementara kondisi Mama stagnan tak ada kemajuan. Sepupuku bergantian mengaji, herannya aku diserang kantuk yang amat sangat. Aku berusaha melawan dengan ikut berzikir, tapi akhirnya aku menyerah dan langsung terlelap.

    Lama juga ternyata aku terlelap, karena aku baru terbangun tepat pukul lima sore, buru-buru aku sholat ashar dan langsung duduk di sisi Mama, sepupu masih bergantian membaca yasin, kuperhatikan nafas Mama teratur diiringi dengkur halus. Kuraba pergelangan tangan dan kakinya tidak sedingin subuh tadi. Kuluruskan kepalanya yang jatuh ke sisi kanan bantal. Surat yasin masih berkumandang tatkala adzan maghrib terdengar dari masjid belakang rumah. Para lelaki beranjak ke masjid untuk sholat berjamaah. Kutengok Mama dan melihat perubahan drastis. Nafas mama yang tadinya teratur mulai melambat dan keras. Aku tidak terkejut, hanya takjub sedemikian cepat proses perubahan terjadi. Aku ingat kata-kata beberapa tetua di kampung, bahwa seseorang yang hendak menghembuskan nafas terakhir sebagian besar menunggu saat sepi dan tidak ingin disaksikan banyak orang. Nampaknya, itu terjadi pada Mama. Saat semua lelaki beranjak ke masjid, dan sebagian sepupu beranjak keluar kamar untuk wudhu, mamaku juga bersiap berangkat. Sepupu yang jauh lebih tua dariku menghentikan bacaannya. Aku melarang sepupu, anak dan ponakan yang lain menyentuh tubuh Mama. Dan, serentak kami mengikuti nafas Mama dengan ucapan Allah… Allah… Allah… berulang-ulang. Entah pada ucapan yang keberapa, Mama menarik nafas panjang dua kali dan menyelesaikan semuanya dengan tenang…..

    Inna lillahi wa inna illahi raji’un.

    Beliau akhirnya “pulang” tepat tiga minggu setelah Mama berpamitan padaku.

    Masih segar dalam ingatanku, sore itu, sehari setelah aku pulang dari perjalanan dinas Mama minta adikku mendorong kursi rodanya ke kamar menemuiku. Aku yang tengah berbaring, langsung duduk di pinggir tempat tidur.

    “Kak, Mama mau bicara sama kakak. Penting kata Mama.”

    Adikku kemudian meninggalkan kami berdua. 

    Aku menarik kursi Mama dan kami saling berhadapan.

    “Ada apa, Ma? Mama mau bilang apa?” Tanyaku heran karena tak biasanya Mama seperti itu.

    “Mama mau bilang, rasanya Mama tidak lama lagi menyusul Papamu.”

    Aku memandang beliau.

    “Mama kenapa bilang begitu? Apa Mama kecewa dengan kami? Apa ada sikap kami yang bikin mama marah dan tersinggung?” Tanyaku mengelus lengannya yang keriput.

    Sungguh aku tiba-tiba merasa sedih sekali.

    “Tidak ada… Kalian sudah merawat Mama dengan baik, bahkan Mama yang merasa sudah merepotkan kalian.” katanya bikin air mataku tumpah.

    “Mama tidak boleh bicara begitu. Sesungguhnya, apa yang kami lakukan sama sekali tidak ada artinya dengan apa yang sudah Mama lakukan untuk kami.” kataku mengisak.

    “Mama jangan bilang mau menyusul Papa. Kita semua pasti menyusul Papa.” kataku lagi dengan air mata makin deras.

    Aku amat tahu seperti apa rindunya Mama terhadap Papa, karena sering sekali beliau bertanya bahkan minta adikku memanggilkan Ustadz dan menanyakan kenapa Papa terus saja ada dalam ingatannya. Sehingga, saat kami mengajaknya ke makam Papa, beliau sangat gembira meskipun artinya beliau akan kesakitan karena diangkat bahkan di gendong dengan kursi rodanya.

    Malam ini, Mama akhirnya “pulang” ke rumah abadi. Kami memang tidak tahu seperti apa di sana, tapi kami percaya Mama ada di tangan penjaga yang lebih baik. Perawat yang lebih cermat dan mendapat perlindungan terbaik dari yang Maha Sempurna, jauh lebih baik dari apa yang kami, anak-anaknya, sanggup berikan.

    Selamat jalan Mama, engkau kini menemui Rabb-mu bersama orang yang paling kau rindukan dan sangat kau cintai. Semoga Allah menempatkanmu berdua di tempat yang mulai di sisi-Nya.

     

    Kreator : Anna sovi Malaba

    Bagikan ke

    Comment Closed: Selamat Jalan, Mom

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021