KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Semua Harapan Yang Belum Tercapai bab 1

    Semua Harapan Yang Belum Tercapai bab 1

    BY 29 Des 2024 Dilihat: 157 kali
    Semua Harapan Yang Belum Tercapai_alineaku

    Matahari menyapa melalui jendela kamar yang sudah reyot dan hampir lepas dari kusennya. Aku yang masih bergumul dengan selimutku yang hangat serta masih terlena dengan mimpi indahku mau tak mau harus mengakhiri semua kenikmatan itu. Aku bangkit dengan tubuh yang masih berat dan malas melihat jam weker yang sepertinya sudah rusak karena alarmnya tidak menyala. Aku pun terperanjat kaget melihat angka-angka yang ditunjuk oleh jarum-jarum di jam itu.

    “Astaganaga!! Sialan!! Ini sudah jam setengah delapan!! Mana belum sholat subuh lagi!” pekikku sambil memegangi kepala dengan kedua tanganku.

    Hari ini adalah hari yang teramat penting bagiku, karena aku akan menjalani interview di sebuah perusahaan besar berskala nasional di kotaku. Kesan yang baik dan kuat yang akan kuBangun dan kurencanakan jauh-jauh hari akan hancur sia-sia karena keterlambatanku pagi ini. Aku menggantungkan nasibku di interview ini dan berharap untuk bisa diterima bekerja dengan gaji di atas UMR. Jika gagal, maka aku harus menjalani salah satu dari dua pilihan ini, menjadi pengangguran lagi atau kembali ke pekerjaan lamaku, yaitu menjadi penjaga stand Teh Jumbo dimana aku harus bekerja selama 12 jam setiap hari tanpa hari libur, dengan gaji yang tidak seberapa yaitu di bawah sejuta, karena bersaing dengan stand minuman instan lainnya di pinggir jalan.

    Aku bergegas mengambil air wudhu, lalu memakai sarung dan mengamparkan sajadah, kemudian sholat subuh dengan gerakan seperti ayam yang sedang mematuk makanan. Hatiku yang mulai panas, dan pikiranku yang mulai panik membuat semua persiapan pagi itu menjadi tidak karuan. Kemudian aku bergegas mandi seperti halnya orang yang sedang cuci muka karena begitu buru-burunya aku. Setelah itu aku melap badanku dengan handuk seperti orang yang sedang menyeka keringat. Terakhir tentu saja aku memakai pakaian yang digunakan oleh sejuta pencari kerja yaitu kemeja putih dan celana panjang hitam.

    Setelah semua persiapan ala kadarnya itu, aku pun memesan ojek online di aplikasi ojek online langgananku. Ah! Bahkan HP ku belum sempat di charge tadi malam. Indikator baterai menunjukkan angka 15% saja. Biarlah! Yang penting masih nyala. 

    Sejatinya, interview baru dimulai pukul sembilan pagi. Akan tetapi, karena rumahku yang berada di pinggiran kota ini lumayan jauh jaraknya dari perusahaan tempat aku melamar kerja, ditambah lagi dengan adanya kemacetan di beberapa titik, syukur-syukur hanya padat merayap, aku tidak memiliki banyak waktu untuk bernapas bahkan bisa terlambat untuk interview, kemungkinan besar value ku sebagai calon karyawan yang baik akan menurun. 

    Sepuluh menit kemudian, tukang ojol yang ku-order akhirnya datang.

    Tanpa basa-basi lagi, aku pun langsung menaiki motor ojol dan meminta agar segera tancap gas secepat mungkin.

    “Gaskeun, Bang!!! Jangan kasih kendor!” Ucapku layaknya seorang content creator memberi aba -aba.

    “Okey Bang!! Meluncur!!!” Sahut tukang ojol itu.

    Kami pun langsung tancap gas, membelah jalanan dengan cepat dan sat-set. Namun, baru beberapa menit kami melaju bagaikan Valentino Rossi, si tukang ojol pun menurunkan kecepatan motornya dan akan berbelok ke suatu tempat.

    “Bang! Gue ke POM bensin dulu, ya! Bensin dah sekarat!” Kata tukang ojol itu.

    “Ya elah, Bang!! Kenapa gak dari kemarin-kemarin sih!!” Sahut aku dongkol.

    Keep calm, bro!! Hitungan menit paling juga kelar ngasih makan nih motor gue,” jawab tukang ojol menenangkanku.

    Akan tetapi, ekspektasi tak sesuai realita. Antrian mengular panjang di setiap lini POM bensin.

    “Bang, gimana nih?! Masa lagi buru-buru malah kek gini endingnya!! Sableng Banget lu kalo kerja. Yang kek ginian dari kemarin sudah diantisipasi,” nasehatku dengan agak dongkol karena perjalananku menjadi terhambat.

    “Yah, sorry Bang! Lagian gue kemarin banyak setoran. Keburu pulang mau istirahat,” jawab si tukang ojol tanpa perasaan bersalah sama sekali.

    Bermenit-menit lamanya kami menunggu antrian pengisian bensin. Si tukang ojol malah menawarkan setelah dari POM bensin apakah sarapan dulu atau tidak.

    “Kelar dari sini kita sarapan dulu yak, di Warteg Mbak Cici dekat SD anak gue sekolah.”

    “Ya elah, ni manusia! Udah tau pelanggan lagi buru-buru malah sarapan dulu. Auto kasih bintang satu baru tahu rasa lo!” Gerutuku dengan sengitnya. Makin terbuanglah waktuku menjelang interview penting yang menentukan nasibku kedepannya. 

    “Ya mau gimana lagi, Bang! Gue udah lapar Banget! Kemaren gak sempet makan siang sama makan malam, sekarang gue sempetin isi perut dah! Lo juga belum sarapan kan?” Si tukang ojol masih keukeuh akan pendiriannya.

    “Eh, punuk onta!! Bodo amat lo belum makan atau enggak. Itu bukan urusan gue! Lu ngerti enggak sih situasi gue kek gimana ini!? Hidup dan mati gue bergantung ama kesempatan ini doang! Bisa berantakan semuanya kalau gue enggak on time datang interview!!” Aku sudah mulai kehilangan kesabaran.

    Entah apa yang ada di kepala tukang ojol ini, bukannya menyadari bahwa segala tindakannya selama ini salah, dimulai dari tidak aware terhadap bahan bakar motornya yang harus segera diisi penuh sebelum dia beroperasi lagi keesokan harinya, dan kemalasan dirinya yang tidak sarapan lebih pagi dan membuatnya mengorbankan prioritasnya terhadap pelanggan yang seharusnya adalah utama bagi orang ini, dia malah melengos kesal dan tak terima akan kemarahanku terhadapnya dan malah menyikapinya sebagai bentuk kekurang ajaran  ku terhadapnya.

    “Heh, Bang! Kalau elo sebagai penumpang gak bisa ngertiin kondisi gue sebagai tukang ojol yang harus mempersiapkan diri gue dengan baik sebelum mencari nafkah di hari yang cerah ini, gue juga gak bisa kerja dengan benar, tau enggak! Elo harusnya lebih simpati dan respect sama gue yang sudah menjalankan tugasnya sebagai tukang ojol yang selalu jadi andalan para penumpang seperti anda ini!!” 

    Sekarang aku paham kenapa layanan antar jemput online seperti ojek online dan taksi online makin tergerus dari waktu ke waktu. Ternyata bukan hanya tarifnya yang semakin membengkak dikarenakan sudah tidak ada promo lagi, melainkan karena perilaku dan attitude dari pengemudinya juga yang agak-agak blangsak juga. Aku sudah beberapa kali mendapati tukang ojol yang agak kurang membuatku nyaman dalam pelayanannya, namun kali ini adalah yang terburuk dari semua itu.

    “Bang!! Please!! Jangan ajak gue berdebat di tempat umum ya!! Elu udah salah malah nyolot dan tidak mau ngaku kalo elu itu salah!! Lo mau ajak gue berdebat pakai tangan, hah!?” Aku sudah mulai kehilangan kuasa atas kendali diriku.

    Si tukang ojol pun turun dari motornya dan sudah tidak mempedulikan antrean pengisian BBM lagi. Dia melepas jaket ojolnya dan ambil ancang-ancang layaknya petinju mau tanding memperebutkan sabuk juara. Aku yang berada dalam posisi memboncengnya langsung terjengkang karena dia begitu kasar dan mendadak dalam meletakkan motornya itu.

    “Kalo gue berani, sini!! Gue dulu adalah mantan preman pentolan SMA tahu, gue gak kalah soal gelud mah!!” Si tukang ojol sialan ini rupanya benar-benar sudah tidak waras lagi sudah.

    Aku yang meringis karena hampir terjatuh gara-gara si tukang ojol ini melihat ke arah kerumunan orang yang juga mengantri untuk mengisi bensin. Mereka melihat kami seolah-olah adalah pertunjukkan topeng monyet yang diadakan di dekat jalanan umum. Mereka pasti sudah memperhatikan kami adu mulut sejak tadi dan Sebagian dari mereka berbisik-bisik dan ada juga yang mengeluarkan ponselnya untuk merekam kami yang akan berkelahi di tempat pom bensin ini. Ada juga dari mereka yang melaporkan kami ke security takutnya kami akan berbuat anarkis yang membahayakan semua orang.

    “Bang, please! Gue dah nyerah! Ampun, dah! Terserah elu aja, dah! Aku segera beranjak dari tempat itu dan pergi mencari angkutan umum yang lebih safe ketimBang dengan tukang ojol gila itu.

    “Eh, elu mau kemana!? Bayar dulu sekian ribu! Elu udah numpang sebentar paling bayar dulu”! Seru tukang ojol itu tidak terima aku akan kabur dan tidak membayar sepeserpun atas pelayanannya yang begitu amburadul dan buruk itu. Orang-orang di sekitar mulai mengerumuni kami dan mencoba untuk menenangkan si tukang ojol yang memang sudah agak lain otaknya itu. Mereka mencoba untuk meredakan suasana yang sudah mulai memanas karena si tukang ojol akan mengajakku berkelahi dan aku mencoba kabur tanpa membayar sepeserpun padanya.

    Tiba-tiba saja ada seorang satpam yang menghadangku. Satpam itu memintaku untuk ikut dengannya dan menjelaskan apa yang terjadi.

    “Maaf, Mas! Ikut saya ke pos dulu. Mas sudah bikin ribut di tempat dengan si Mas tukang ojol itu!”

    “Lha, dia yang ngajak ribut duluan, Pak!”

    “Ikut saja dulu, ya!”

    Aku melihat si tukang ojol itu juga diminta untuk ke pos satpam oleh salah seorang satpam lagi. Dia sepertinya tidak terima dan tetap ingin berkelahi denganku karena aku terus menerus menggerutu tentang sikapnya yang rada-rada blangsak itu dan karena aku tidak mau membayar jasanya.

    Aku hanya bisa pasrah dan mengikuti si satpam. Begitu juga si tukang ojol yang akhirnya mau mengikuti arahan satpam tersebut. Kami berdua sudah duduk di depan meja tanda kami akan diinterogasi. Aku melirik ke arah jam dinding di pos satpam. Ah, sudah jam 8 lebih 10 menit sudah. Perjalananku ke perusahaan untuk interview masih baru beberapa kilometer dari rumah namun aku harus terjebak disini dan sudah pasti aku akan semakin terlambat.

    “Masnya berdua bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi!?” Salah seorang satpam mulai menginterogasi.

    Aku pun menjelaskan keluhanku dan ketidakpuasan atas sikap tukang ojol ini yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya dan sejatinya aku sudah sangat terlambat ke tempat aku akan wawancara kerja dan ini semua gara-gara tukang ojol ini.

    Si tukang ojol pun tidak mau kalah. Dia menjelaskan bahwa aku adalah pelanggan yang tidak pengertian dan tidak memahami prioritasnya sebelum dia bekerja agar dia lebih maksimal dalam bekerja.

    “Oke baiklah. Saya mengerti masalahnya sudah. Jadi begini Mas ojol, yang dikatakan Masnya yang mau wawancara kerja itu benar. Masnya salah karena baru mempersiapkan segalanya pada saat Masnya sudah narik dan dapat pelanggan. Kasihan, kan, Masnya yang mau wawancara kerja ini jadi terlambat,” Si satpam mencoba untuk menasehati.

    Tapi seperti yang bisa diduga, si tukang ojol masih nyolot dan keukeuh dengan keegoisannya bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu hal yang masih dalam tahap bisa dimaklumi dan ditoleransi oleh penumpang.

    “Yang saya lakukan semestinya bisa diterima dan dimaklumi oleh Mas ini. Jika saya tidak segera mengisi bensin sesegera mungkin maka kemungkinan besar motor saya akan mogok ditengah jalan. Bukan hanya itu saja, jika saya tidak sarapan setelah mengisi bensin maka saya akan kelaparan dan tidak fokus dalam bekerja.” Lalu Pak Satpam yang ternyata cukup penyabar berkata kepada tukang ojol tentang betapa pentingnya profesionalisme dalam bekerja dan mengutamakan bahwa pelanggan seperti saya harus mendapat sebaik-baiknya pelayanan.

    “Ya gak bisa gitu, Bapak Tukang ojol. Kalau bapaknya lebih mentingin kepentingan bapak pada saat lagi kerja ya itu Namanya tidak profesional. Mengutamakan pelayanan dan kenyamanan itu penting. Bapak mau tidak pengguna ojol makin berkurang karena perilaku bapak seperti ini? Kalau begitu terus kepercayaan masyarakat terhadap layanan transportasi online juga makin berkurang.”

    Aku yang sudah kebelet mau kabur dari TKP karena tidak ingin semakin membuang waktu menuju ke perusahaan segera minta izin pergi ke Pak Satpam itu. Biarlah aku mencari kendaraan lain saja yang penting aku harus segera sampai tujuan.

    “Pak satpam. Saya izin pergi dulu ya. Saya sudah terlambat Banget. Soal ojek nanti saya bisa cari lagi. Biarlah Bapak ojolnya isi bensin motornya sama sarapan. Buat pak ojol, ini uang untuk sekian kilometer perjalanannya.”

    Aku menyerahkan uang 10 ribuan kepada tukang ojol itu dan berkata,”Ambil aja kembaliannya.”

    Aku langsung ngibrit dari pom bensin itu dan segera pergi mencari ojek atau angkot yang bisa ku tumpangi untuk ke tempat aku akan bekerja nanti.  Aku kemudian mencoba untuk order tukang ojol lainnya. Lagi-lagi aku harus menunggu beberapa menit supaya tukang ojol yang akan ku tumpangi akan tiba. Inilah derita jika tidak memiliki kendaraan pribadi. Sebenarnya, kami sekeluarga memiliki satu unit sepeda motor keluaran lama yang sudah agak usang performanya. Namun, karena himpitan ekonomi, dan ditambah kami butuh biaya untuk pengobatan ibuku sakit liver, kami harus menjualnya ke seorang dermawan yang membeli motor kami dengan harga di atas pasaran.

    Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya tiba juga ojol yang kupesan. Kuharap tidak ada drama atau kejadian nyeleneh yang seperti yang kualami barusan dengan tukang ojol sebelumnya. Aku benar-benar ingin segera menuntaskan misi utamaku hari yaitu lolos interview dan mendapat pekerjaan yang akan menjadi penopang hidupku dan keluargaku. 

    “Bang!! Buruan, ya!? Gue udah terlambat Banget mau interview, nih! Please! Bang! Jangan aneh-aneh kayak temen lo yang tadi!!” Ucapku memohon kepada si tukang ojol yang satu ini karena aku trauma dengan tukang ojol sebelumnya yang kutumpangi.

    “Oke, Bang!! Siap! Sama saya dijamin aman, cepat, dan nyaman,” sahut si tukang ojol penuh keyakinan akan performa dan servicenya terhadap pelanggan seperti sudah terjamin 99% akan memuaskan pelanggannya saja.

    Tanpa basi-basi lagi, kami pun meluncur dengan cepat dan membelah jalanan dengan kecepatan cahaya. Si tukang ojol mampu meliuk-liuk dengan lincah di tengah kondisi jalanan yang sedang padat seperti ini. Si tukang ojol mampu menyalip kendaraan dengan mudah, seolah-olah dirinya dengan sepeda motornya seperti sudah menyatu saja. Secercah harapan mulai muncul lagi setelah aku sebelumnya agak putus asa dengan apa yang kualami barusan dengan tukang ojol sableng itu.

    Akan tetapi, sepertinya rintangan yang harus kuhadapi dalam perjalananku ke tempat interview sepertinya muncul lagi. Langit yang awalnya cerah, secara perlahan berubah menjadi mendung. Rintik-rintik hujan sedikit demi sedikit mulai jatuh ke bumi. Seperti tidak puas mempermainkanku saja, seolah Tuhan ingin menguji hamba-Nya ini dengan berbagai hambatan yang membuatku nyaris mundur dari usahaku untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, hujan yang awalnya gerimis, lama-lama menjadi makin deras dan membasahi setiap makhluk hidup dan jengkal tanah tepat di bawah awan hujan ini menyirami bumi yang sudah panas dengan berbagai macam praharanya.

    “Bang! Melipir dulu napa!? Gue kudu pake jas hujan nih,” pintaku ke si tukang ojol.

    “Sorry, Bang! Gue gak menyediakan jas hujan,” jawab si tukang ojol pendek dan santai.

    “Lha, gimana, sih!? Saya mau interview kerja,gak boleh dalam keadaan basah kuyup kayak anak kecil mau hujan-hujanan. Kita melipir dulu, yak,” aku mencoba memohon kepada si tukang ojol ini. 

    Rupanya tukang ojol ini tak sebaik yang kukira. Dia bahkan tak menyediakan jas hujan paling untuk penumpang yang dia bawa padahal hujan bisa turun sewaktu-waktu di negara tropis seperti Indonesia ini, apalagi di tengah musim hujan seperti ini.

    “Gini, Bang. Gue kasih lu dua pilihan. Pertama, elu berteduh di ruko atau Indomaret tapi elu telat menjalani interview. Kedua, elu basah-basahan tapi elu datang tepat waktu. Pilihlah dengan bijak, So, choose wisely,” si tukang ojol malah bersikap belagu seolah-olah hidup dan matiku ada ditangannya. 

    Sepertinya kebanyakan tukang ojol sudah terkena sindrom atau waham (delusi) bahwa mereka berhak atas segala hal yang menyangkut penghargaan atas kinerja mereka yang padahal belum tentu memuaskan, tapi banyak orang bergantung kepada mereka. Padahal, menurutku hubungan antara penyedia jasa dan pelanggan adalah seperti halnya hubungan mutualisme, saling menguntungkan. Tidak ada yang menjadi raja atau pelayan.

    Tidak ada yang dilayani ataupun melayani. Semua saling membutuhkan dan melengkapi. Pelanggan puas, kami pun senang. Harusnya mereka memegang teguh pedoman ini dalam bekerja, akan tetapi sepertinya realita berkata lain.

    “Bang, kita berteduh aje. Cepetan!!!” Aku yang sudah mulai emosi meminta tukang ojol ini berteduh ke tempat yang aman dari guyuran hujan. Si tukang ojol pun sepertinya agak tidak terima dengan sikapku barusan. Dia menepikan motornya ke tempat yang layak untuk berteduh. Aku melihat ada banyak orang yang juga sepertinya agak tidak siap dalam mengantisipasi datangnya hujan seperti tukang ojol.

    Pada saat kami berteduh, si tukang ojol seperti mengambil sikap untuk memberikan pemahaman bahwa sikapku salah. Seolah-olah dia tidak melakukan kesalahan sama sekali seperti tukang ojol sebelumnya, dia pun mulai nyerocos seenaknya di depanku dan di antara kerumunan orang-orang.

    “Heh! Bang!! Gue cuma nawarin elu dua pilihan ya!? Gak usah nyolot lah! Kalau gue gak bawa jas hujan ya itu semua tidak melanggar SOP kami selaku tukang ojek online. Kami sudah melayani penumpang sebaik mungkin, gak usah diperlakukan begini juga!!” si tukang ojol mulai berargumen seolah-olah dia adalah korban.

    Benar kata orang. Hidup kadang sebercanda ini. Lagi-lagi aku menemukan tukang ojol yang agak lain kelakuan dan cara berpikirnya. Aku tahu di luar sana masih banyak yang bersungguh dalam menjalankan profesinya termasuk menjadi pengemudi antar jemput online dan mengutamakan kenyamanan para pelanggannya. Namun, hari ini adalah hari yang ajaib bagiku. Aku menemukan dua tukang ojol yang sikapnya seperti playing victim dan memperlakukanku bahwa akulah yang duluan cari masalah sama mereka, padahal merekalah yang cari perkara duluan, dalam waktu yang berdekatan pula. Di momen yang sangat penting yaitu dalam proses untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik untuk kehidupanku dan keluargaku. Aku benar-benar tidak habis pikir akan nasibku ini.

    “Bang, udah jelas kalo elu yang salah! Gue udah terlambat dan seharusnya tidak akan menjadi lebih terlambat lagi dalam perjalanan ke tempat interview, kalo elu menyediakan jas hujan untuk pelanggan. Tapi elu malah sok-sokan ngasih dua pilihan segala, dan kedua-duanya gak ada yang bener menurut gue! Gue udah terlambat dan harus datang secepatnya tanpa harus basah kuyup segala macam kek gini! Ngerti gak sih, lu!?” Aku sudah mulai naik darah karena untuk kesekian kalinya perjalananku harus terhambat dan harus berhadapan dengan tukang ojol modelan seperti ini lagi yang bikin aku mau ngajak orang seperti ini berduel, untuk menentukan siapa yang benar siapa yang salah.

    “Oh? Jadi elo beneran nantangin gue gelud, heh!? Sini lo kalo berani!!!”

    Orang-orang di sekitar kami mulai mengamati kami. Aku pun sadar kalau aku benar-benar berkelahi disini, maka aku hanya akan menjadi bahan tontonan semua orang. Ada yang berbisik-bisik, ada pula yang cekikikan seolah-olah akan terjadi pertunjukan seru yang akan menghibur mereka, ada pula yang mencoba untuk melerai kami.

    “Sudah-sudah, Masnya berdua jangan berkelahi, sudah besar! Malu ingat umur,” seorang ibu-ibu paruh baya mulai turun tangan untuk menengahi kami yang akan berkelahi. Aku pun jadi urung untuk menghajar tukang ojol brengsek ini dan mulai menghela nafas dan mengendalikan diriku di tengah gemuruh hujan yang kian deras saja ini. Aku melihat sosok ibu-ibu yang melerai kami yang akan berkelahi. Sosoknya yang pendek tambun dan berjilbab mengingatkanku akan sosok ibuku yang kini sedang terbaring di rumah sakit. Ayahku kini semakin jarang pulang karena harus semakin bekerja keras untuk mengumpulkan biaya perawatan ibuku. Begitu juga aBangku yang kini sudah setahun tak pulang karena harus semakin rajin bekerja sebagai TKI di Thailand sana.

      Aku jadi malu dengan diriku sendiri. Aku tak pernah berjuang dengan sungguh-sungguh dan dimasa lalu hanya menikmati waktu luang dengan nongkrong dan banyak bermain. Sekarang aku benar-benar menjadi sosok yang menyedihkan di tengah kerumunan orang dan gemuruh hujan ini. Alangkah bobroknya aku ini. Semua kesialan ini bukan terjadi tanpa sebab begitu saja. Ini semua karena kemalasanku di masa lalu sehingga aku berada dalam kondisi yang begitu sulit seperti sekarang ini. Aku pun perlahan meneteskan air mata pada saat wajahku masih basah kuyup karena air hujan. Tak ada yang menyadari bahwa aku sedang menitikkan air mata karena wajahku yang basah karena diterpa air hujan. Aku pun bersyukur karenanya bisa menyembunyikan sisi lemahku ini.

    Aku pun tertunduk lemas dan kemudian duduk di pojokan. Aku sudah pasrah bahwa mungkin kesempatan kali ini bukanlah rezekiku. Mungkin masih ada kesempatan lainnya di lain waktu. Aku pun kemudian menatap keadaaan sekelilingku. Orang-orang melihatku dengan wajah iba. Tukang ojol sialan itu seperti memasang ekspresi seolah berkata “Makanya jangan macam-macam ama gue, yah”, si ibu mencoba untuk mendekati dan menenangkanku. Sebagian dari mereka seperti menyalahkan si tukang ojol yang sepertinya memang tidak pengertian akan keadaanku. 

    “Mas, jangan sedih dan lesu gitu, maaf ibu gak tahu masalahmu apa dan mungkin ibu juga gak bisa membantumu. Tapi tetap semangat, ya! Masih ada hari esok yang cerah dan masih ada kesempatan baik di lain hari,” si ibu mencoba untuk menenangkan dan menyemangatiku seolah-olah aku adalah putranya. Aku merasa sedikit tenang karena usaha si ibu ini di tengah hujan yang ada di kepala dan hatiku maupun di luar sana yang masih begitu deras.

    “I-iya bu. Terima kasih, ya,” aku menjawab dengan lirih dan mencoba untuk menghargai usaha ibu ini yang mencoba untuk membuatku merasa lebih baik. Tapi jujur saja aku sedikit tidak rela dengan kondisiku seperti sekarang ini. Seperti si ojol Bangke itu bilang, masih ada waktu sampai ke perusahaan tempat aku menjalani interview nanti meskipun harus basah-basahan karena ketiadaan jas hujan yang harusnya tersedia. Aku pun mulai berpikir bahwa tak ada salahnya untuk mencoba lagi meskipun harus meringkuk dan merengek sekalipun aku tak akan melewati kesempatan untuk menjalani interview yang berharga ini.

    “Woi, Bang ojol!! Kita lanjut OTW aja ke perusahaan. Tanggung dah, udah terlanjur basah ini, sekalian aja gue pergi biarpun kemungkinan besar bakal ditolak,” aku pun mencoba untuk berbaikan lagi dengan tukang ojol ban**at ini karena toh aku pun sudah basah kuyup jadi tak ada salahnya untuk lanjut menuju ke perusahaan.

    “Nah, gitu dong! Itu baru namanya anak muda generasi emas tahun 2045, gak akan nyerah dan pantang mundur hanya gara-gara kehujanan dan basah kuyup doang! Cetek mah itu,” si tukang ojol menyambut baik ajakanku untuk lanjut berkendara lagi sambil menjentikkan jarinya yang sepertinya banyak kapalannya itu.

    Tanpa basa-basi lagi, kami pun langsung menerobos derasnya hujan di jalanan dengan kecepatan penuh. Tak kupedulikan lagi sudah bayangan kemungkinan buruk yang akan kuhadapi pada saat tiba di perusahaan nanti. Tak ku pedulikan lagi tubuhku yang makin basah kuyup ditambah terpaan angin yang menampar wajahku. Aku sudah berada di fase dimana aku sudah tak merasa takut ataupun malu lagi menghadapi kenyataan pahit yang menimpaku selama ini. Motor yang kutumpangi terus melaju dan meliuk di tengah ratusan kendaraan dan hujan yang sepertinya enggan untuk mengurangi intensitas guyurannya. Sepertinya, si tukang ojol kam**et ini memang sudah berpengalaman dalam hal melintasi jalanan di tengah kepadatan kendaraan bahkan di tengah rintik hujan sekalipun.

    “Bang, lima menit lagi kita bakalan sampai nih ke perusahaan,” kata si tukang ojol sambil melihat handphone yang menempel di kemudi motornya.

    “Oke, Bang, sip!! Jangan kurangi kecepatan,” sahutku berharap dia benar-benar akan mengantarkanku selamat sampai tujuan tanpa mengurangi kecepatannya karena peribahasa ‘biar lambat asal selamat’ tak berlaku di situasi yang sangat krusial ini.

    Hujan pun perlahan mereda, sinar matahari perlahan mulai menyinari bumi lagi. Awan hitam yang semula menutupi langit kini pergi dan berganti dengan langit biru yang cerah. Hatiku pun mulai cerah dan makin semangat dalam menghadapi interview kerja yang menantiku. Meskipun penampilanku jauh dari kata layak karena kehujanan sepanjang jalan menuju ke sini, seperti orang gila yang habis main hujan-hujanan, tetapi aku tetap optimis dan tetap siap menjalani interview nanti.

    “Bang!! Sudah sampai, nih!! 70 ribu aja!! Seru si tukang ojol ketika kami sudah tiba di perusahaan.

    Sebuah gedung pencakar langit yang lumayan tinggi menjulang dan halamannya yang rimbun ditanami banyak tanaman hias dan lalu lalang banyak orang serta keluar masuk mobil dan motor menyambutku. Pasti mereka agak repot juga karena hujan ini, pikirku. 

    Beberapa dari melirikku karena penampilanku seperti orang habis main arung jeram tapi pakai setelan untuk melamar kerja, tapi aku tak peduli karena aku sudah memantapkan hatiku untuk meluluhkan hati HRD meskipun aku sudah dalam kondisi yang kurang memungkinkan untuk orang menerimaku dalam sesi wawancara nanti.

    “Oke, Bang!!” aku pun menyerahkan dua lembar uang 50 ribuan dan 20 ribuan ke si tukang ojol ini.

     

     

    Kreator : Miftahul Khoir

    Bagikan ke

    Comment Closed: Semua Harapan Yang Belum Tercapai bab 1

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021