Sudah seminggu semenjak interview yang kujalani, aku masih belum memenuhi panggilan kerja yang selama ini kunanti. Meskipun aku berada di kondisi yang nahas pada hari itu, tapi aku tetap optimis, sesuai dengan wejangan yang diberikan oleh si tukang ojol kemayu bre**sek itu kepadaku. Di tengah lamunanku, tiba-tiba saja ringtone handphone ku berbunyi. Aku melihat ke layar handphone sebelum mengangkat panggilan itu, di layar tertera nama pacarku, Florentina. Aku pun segera menekan tombol hijau untuk menjawab panggilannya.
“Halo, sayang….” Jawabku dengan mesra.
“Gimana, udah ada panggilan kerja, belum?” Tanpa basa-basi Florentina menanyakan nasib hasil interview tempo hari.
“Yah, sayang. Sabar aja kale… Baru seminggu, pasti aku akan diterima kok! Enggak usah buru-buru, lah…” jawabku agak memelas.
“Gimana kabar Ibumu? Kondisi beliau masih baik, kan?”
Aku senang Florentina menanyakan kabar Ibu. Inilah kenapa aku menyukainya, dia tidak hanya baik hati dan rupawan, tetapi dia juga peduli dengan orang-orang seperti aku dan keluargaku yang tengah melarat seperti ini.
“Yah, masih baiklah. Semoga aja semakin baik dari hari ke hari, aku nggak bisa membayangkan kalo kondisi beliau semakin buruk saja. Untunglah kiriman dari Bapak dan Abang masih mencukupi untuk biaya rawat inap. Susah mah kalo cuma ngandelin BPJS doang,” jawabku.
“Makanya elo harus punya kerjaan. Bukan cuma ngeyakinin bokap ama nyokap gue tetapi juga supaya ibumu makin mendapatkan perawatan lebih maksimal dan cepat sembuh. Lo itu masih muda banget! Gak sulit dapat kerjaan.” Florentina menceramahiku seolah aku ini pemalas.
“Yah, mau gimana lagi, Flor. Gue trauma kerja jadi tukang jaga stand lagi. Ampun-ampunan dah!” Ujarku memberi alasan.
“Coba elo ikut pelatihan apa gitu, kan ada yang gratis. Macam pelatihan barista gitu. Pokoknya elu kerja apa aja deh yang penting halal! Elu kan cuma lulusan SMA, pasti susah dapat kerja yang high salary. Kalo dari bawah asal sabar bisa naik pangkat dan gaji, sih,” Florentina mencoba menekanku lagi supaya lebih aktif lagi dalam mencari kerja.
“Yah… gue akan coba. Sesuai dengan perkataan elu. Orang kayak gue mah emang gak berhak milih-milih kerjaan, Yah moga aja diterima kerja apa gitu,” jawabku sekenanya dengan pasrah meratapi nasib.
“Oke, gue nantiin elo dapat kerja, ya? Sebenarnya bukan apa-apa kalo elu masih kere dan belom mulai apa-apa yang penting elo udah kerja dan terbukti bertanggung jawab, begitu kata ortu gue. Dah! Gue mau ada kelas, nih. Bye!” Florentina mengakhiri percakapan kami setelah dia memastikan aku tetap berusaha nyari kerjaan.
Aku pun menghela nafas dan menatap langit-langit rumah yang kusam dan suram, seperti nasib keluargaku. Aku pun sebenarnya tak menyangka, ada bidadari seperti Florentina yang mau menerima kondisi aku dan keluargaku. Orang tuanya setuju saja dengan hubungan kami asalkan aku terbukti sebagai pemuda yang rajin dan pekerja keras serta bertanggung jawab. Aku jadi teringat saat momen-momen indah dimana kami bertemu pertama kalinya dua tahun lalu di sebuah café.
Dua tahun lalu, di sebuah café, pasca kelulusan SMA.
“Bro! lu gak lanjut kuliah, kan!? Kerja aja sama gue! Gue juga gak kuliah. Males, gak penting! Padahal ortu gue mampu aja biayain gue kuliah. Tapi gue lebih tertarik jadi pengusaha aja. Gue enggak mau minta-minta sama ortu gue lagi,” ujar Bono, salah seorang sahabatku memintaku untuk bekerja dengannya.
Nama lengkapnya adalah Siswono Hadyaningrat, tetapi teman-teman sering memanggilnya Bono. Orang tuanya adalah pedagang besar dan punya perkebunan yang luas, tidak aneh seperti yang Bono katakan bahwa orang tuanya mampu untuk memenuhi kebutuhannya selama berkuliah jika dia memutuskan untuk lanjut ke jenjang itu.
“Gue sih mau-mau aja. Tetapi emangnya kerja apaan?”
“Yah, gue mau mulai merintis, sih. Pokoknya elu ikut gue aja dulu. Nanti gue nyariin posisi yang pas buat elu. Tenang aja pokoknya. Soal gaji nggak akan mengecewakan,” ujarnya sambil membuka ponsel untuk login ke game Mobile Legend. Ya elah, ngomongin jadi pengusaha tapi dia malah main game mulu kerjaannya. Aku menyangsikan niat temanku untuk jadi pengusaha.
“Elu tau, enggak!? Main game MOBA kek gini bisa meningkatkan kemampuan seseorang dalam menyusun strategi dan langkah-langkah apa saja yang diambil kedepannya,” Bono tiba-tiba berucap seolah dia menjawab keraguanku, dia membeberkan alasannya sering main game.
Padahal aku masih ingat betul masalah yang menimpa aku, Bono, dan anak-anak lain yang hobi main game Mobile Legend semasa SMA. Kami selalu menjadi satu tim dalam setiap kerja kelompok yang diadakan di setiap mata pelajaran. Apa pasal, karena kami memakai waktu kerja kelompok dengan bermain game, bukannya kerja kelompok. Anak-anak yang tahu tabiat kami dari awal masuk SMA, perlahan mulai menyisihkan mereka yang tidak mengikuti kerja kelompok dengan serius. Dan, hasilnya adalah setiap ada kerja kelompok aku mendapatkan anggota yang itu -itu saja. Hal itu juga terjadi di semua kelas, sehingga jika kami naik kelas dan berganti ruang dan mendapat teman-teman baru, hal yang sama akan terjadi lagi, dan hasilnya sudah dipastikan, kerjaan dari tim yang hobi main game selalu paling tidak maksimal di semua kelas. Aku berharap Bono bisa mengambil hikmah dari masa lalu kami, tapi dia belum berubah.
“Percaya aja deh, ama gue! Gue bisa kok nge-handle perusahaan yang gue bikin nanti,” Bono terus meyakinkanku bahwa dia mampu dan kompeten akan profesinya kelak.
Lalu, sekelompok gadis memasuki café dan segera mencari tempat duduk. Mereka kemudian duduk dekat dengan meja tempat kami berada. Mereka semua nampaknya adalah seperti mahasiswa baru yang sedang beristirahat usai kegiatan PKKMB.
“Flo, lu mau pesen apa?” Tanya salah seorang gadis berambut bob kepada gadis yang bernama Flo.
“Errgh, aku pesan thai tea aja, deh,” jawab gadis bernama Flo itu singkat.
“Lha, kenapa? Kita istirahat sekalian lunch, kamu gak lapar napa?” Salah seorang gadis yang satunya lagi keheranan dengan sikap Flo. Gadis itu agak tambun dan sepertinya membawa tas kresek berisi camilan kemana-mana.
“Nggg, soalnya aku lagi harus jaga pola makan, guys. Sorry, aku sudah makan nasi pas sarapan tadi, aku makan nasi cuma sekali sehari aja,soalnya instruktur yogaku mengatur pola makanku kek gitu,” jawab si Flo.
“Halah, elo. Masih muda aja sudah pake jaga pola makan segala. Nikmatin aja apa yang ada di dunia selama masih hidup. Lagian kan badan elo sudah bagus gitu, masa masih jaga pola makan, heran, deh,” tukas salah seorang gadis yang berambut agak kribo.
“Gak apa-apa kok. Itu kan hak dia. Selama pilihan dia baik dan gak ngerugiin dirinya atau orang lain mah gak salah, kok. Iya kan, Flo?” Gadis berambut bob membela Flo.
“Okay. No problem. Gue pesan nasi goreng saus tiram, plus kepiting seporsi,” si gadis tambun mulai memesan.
“Kalau aku, pesan nasi goreng tinta cumi aja deh,” kali ini giliran si rambut kribo yang memesan.
“Errrgh, aku apa ya? Agak bingung nih, banyak banget pilihan menunya…”
“Halah, gitu aja pake bingung. Kan semua menu bisa dimakan, yang penting kenyang lah,” ucap si gadis tambun.
“Okey, aku pesan kwetiau aja. Kalo minumnya gimana, guys? Aku pesan thai tea, samaan kayak si Flo.”
“Sama, aku juga pesan thai tea.” Ujar gadis tambun.
“Aku juga. Aku ngikut kalian aja.” Gadis kribo pun juga berkata demikian.
Aku menyimak percakapan para gadis ini dengan seksama. Rasanya menyenangkan sekali bisa hidup berkecukupan seperti mereka. Bisa kuliah dan jajan di café, bahkan bisa nge gym juga, semua bisa asalkan ada uang yang tersedia.
“Lo lamunin apa, sih bro? cewek-cewek itu ya!?” Si Bono mengagetkanku yang sedang mendengarkan percakapan para gadis.
“Ah, nggak! Cuma laper aja kok.” Aku menepis perkiraan si Bono.
“Yau dah! Mumpung kita di café, kita pesan makan juga. Gue udah laper nih, soalnya gue udah tiga hari gak makan nasi.” Ujar Bono yang sepertinya sudah mulai kelaparan.
“Lha, terus lu makan apaan?” Tanyaku heran.
“Makan pizza, fried chicken, siomay, seblak, tom yum, sama odading.” Jawab Bono dengan santainya.
Aku pun manggut-manggut saja mendengarnya. Maklum lah anak orang kaya, makan apa saja enak-enak mah gampang.
“Elu pesen apaan? Gue traktir deh elo, sebagai calon karyawan gue kelak, he he,” Bono menawarkan mentraktir makan siang di café, tapi aku enggan untuk menerimanya.
“Eh… enggak, gue enggak laper.”
“Jangan sungkan bro… kita kan bestie. Sesama bestie mah pasti royal. Tenang aja kok, dompet gue tebel, sama kayak badan gue, he he.” Bono meyakinkanku sambil bercanda.
“Ya udah, gue pesen nasi goreng biasa aja, sama es teh.” Aku memesan sekedarnya.
“Itu doang? Yakin lo!? Pesen yang lebih mahal lagi, napa!? Si Bono menawarkan agar aku memesan makanan yang lebih mewah lagi, tapi aku sudah tidak enak hati menerima tawarannya si Bono yang kedua kalinya.
“Segitu aja udah cukup kok. Aku memang demennya nasi goreng biasa sama es teh doang.”
“Ya udah kalo gitu. Kalo gue pesan apa, yah!? Hmmm, gue pesan nasi kebuli sama steak plus cappuccino aja, lah.”
Si Bono pun memesan orderan kami. Tampak para gadis juga sedang menunggu pesanan mereka datang. Aku bagaikan daun kering kerontang yang menunggu untuk membusuk jika dibandingkan dengan anak-anak orkay ini, terlebih lagi jika dibandingkan dengan gadis bernama Flo itu. Dia paling cantik jika dibandingkan dengan teman-temannya. Aku membayangkan jika aku punya pasangan seperti Flo, tapi itu seperti bagai pungguk merindukan bulan. Aku hanyalah daun kering, sedangkan Flo adalah emas batangan yang menjadi asset bagi para orang berduit. Mimpi saja jika aku bisa bersanding dengan Flo, apalagi jika aku tiba-tiba punya status sosial yang tinggi sama seperti mereka. Aku disini hanya untuk menerima kebaikan orang lain saja, tidak punya kekuatan atau apapun itu untuk memberi dan mengasihi. Ah, betapa malangnya diriku ini.
“Lu lamunin apa, sih sebenarnya dari tadi!? Heran gue!” Si Bono seperti sedang membaca isi pikiranku yang mengawang ke mana-mana.
Si Bono, meskipun anaknya agak slengean dan cuek bebek terhadap keadaan sekitar, tapi dia bisa peka dengan beberapa hal yang biasanya orang lain sembunyikan. Inilah yang membuatku kagum dengan Bono. Kecerdasan sosialnya terbilang tinggi jika dibandingkan anak muda pada umumnya, meskipun nilai akademis dan olahraganya sengklek, tapi dia seperti seorang tokoh masyarakat yang siap membantu siapapun yang sedang kesusahan.
“Enggak, kok! Cuma lamunin kalo misalnya aku jadi maba kayak mereka, enak ya!?” Aku pun menjawab asal-asalan.
“Hmmm, benarkah begitu!? Gue rasa elu sedang jatuh cinta dengan salah seorang dari mereka, iya, kan!? Ngaku aja lo!?” Bono mulai menginterogasi.
“E-enggak, kok! Suer!!” Aku berusaha menepis lagi kata-kata Bono yang mencecarku.
Sialan, si Bono benar-benar mampu membaca pikiranku layaknya seorang cenayang. Dia benar-benar mampu membaca apapun yang orang lain pikirkan, membuat mereka yang dekat dengan Bono tak bisa menyembunyikan apapun darinya.
“Tenang aja bro. Gue udah pengalaman kalo soal cinta-cintaan, mah. Gampil itu, mah!!” Si Bono menjentikkan jarinya untuk meyakinkan bahwa dia akan membantu dekat dengan Flo.
“A-apaan, sih!? Gue gak ada naksir sama siapa-siapa sekarang,” aku masih berkilah dan menyanggah semua kata-kata Bono.
“Eh, Wir! Gue udah tahu apa yang elu pikirkan. Lu pasti mikir kek gini, orang kere macam gue bisa apa sih dalam berbagai hal. Apalagi buat dapetin cewek, mana cewek anak orkay lagi. Itu semua ada tips and trick nya, kok!” Kata Bono percaya diri dengan hasil analisanya.
Setelah Bono berkata begitu, Bono bangkit dari kursinya dan mendatangi gadis-gadis itu. Si Bono bersikap SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) pada mereka. Si Bono seperti tidak kikuk sedikit pun berkenalan dan berinteraksi dengan mereka. Memang Bono berbeda denganku. Semenjak SMA, Bono lihai dalam mendekati perempuan. Pergaulannya memang lumayan luas. Berbeda seratus delapan puluh derajat denganku, sudahlah miskin, introvert pula. Kesamaan kami adalah kami suka main Mobile Legend dan tampang kami sama-sama pas-pasan.
Sekitar lima belas menit, Bono asyik ngobrol dengan mereka, kemudian dia kembali ke kursinya dengan senyum sumringah. Kemudian dia mengambil secarik kertas dari sakunya dan menyerahkannya kepadaku.
“Nih, nomor hape cewek-cewek itu. Ada nomor Florentina juga di situ. Gimana? Gue sukses kan membuka perkenalan dengan mereka? Gue udah bantuin lo, tinggal elunya lagi yang mau inisiatif,” Bono berkata bahwa dia sudah membantuku di langkah awal perkenalanku dengan Florentina.
“Ah, ya ampun, Bon. Kamu segitunya sampai mau membantu gue. Gue jadi terharu, nih,” aku tak bisa menyembunyikan perasaanku bahwa sesungguhnya aku memang ingin berkenalan dengan gadis yang ternyata bernama Florentina itu.
“Biasa ajalah. Sesama teman emang harus loyal dan saling tolong menolong,” Bono menolak ucapanku yang penuh haru itu dan menganggap bahwa usahanya adalah hal yang biasa-biasa saja.
Setelah lama menunggu, pesanan kami akhirnya datang. Si Bono segera melahap menu pesanannya. Namanya juga si tukang makan, kalo makan emang harus banyak dan lahap, kalau bisa tanpa ada gangguan sedikitpun. Si Bono kalau sudah makan, tidak akan mengajak ngobrol siapapun, berbeda dengan sikapnya kalau dalam pergaulan.
Aku pun juga melahap makananku. Kami pun melahap makanan kami tanpa ada yang berbicara sepatah kata pun. Berbeda dengan para gadis situ, meskipun pesanan mereka sudah datang, tapi mereka masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang ngobrol dengan seseorang di hape, ada yang selfie dan memfoto makanannya, ada yang ngaca, ada yang sedang scroll-scroll layar hape.
Setelah beberapa menit, makanan kami pun tandas dan beserta minumannya pun sudah tidak tersisa setetes pun di gelas. Beberapa saat setelah itu, ponsel Bono berdering. Bono mengangkat panggilan itu, dan sepertinya Bono berbicara dengan serius dengan seseorang di seberang sana. Setelah panggilan berakhir, Bono menanyakan sesuatu padaku.
“Wir, elu butuh kerjaan, kan, secepatnya juga? Teman Bapak gue nanya-nanya nih, gue ada kenalan nggak yang bisa diajak kerja. Gue sih bilang ada, tapi tergantung orangnya juga mau apa nolak,” tanya si Bono padaku.
“Kerjaan apa emangnya?” Tanyaku sambil mengelap mulut dengan tisu.
“Jaga stand Es Teh Jumbo. Si temannya Bapakku lagi beli waralabanya kemudian beliau berencana buka outletnya dekat kampus mereka, cewek-cewek itu. Gimana? Kan sekalian elo bisa semakin lancar PDKT-nya,” Bono menawarkanku untuk bekerja dengan kenalannya.
“Lha, katanya elo pengen merekrut gue sebagai karyawan elo, gimana, sih!? Tapi gue nggak nolak, sih kalo emang itu cocok ama gue.”
“Soal perusahaan yang mau gue bikin mah, agak lama juga bakal mulainya, bro. Dan sejujurnya, berdirinya perusahaan itu juga berada di bawah pengawasan Bokap gue. Bokap gue bilang, kalo elu mau jadi pengusaha dan nggak kuliah, maka bokap wajib ikut campur atas proses rekrutmen karyawannya. Gue sih berharap elu keterima, meskipun memang gak gede sih peluangnya. Kalo kerja jadi tukang jaga stand, kayaknya elu masuk kriteria, deh. Sorry ya, gue gak bilang ke detilnya dulu ke elo,” ujar Bono merasa bersalah dan minta maaf kepadaku.
“Bro, gue seharusnya berterima kasih ke elu karena udah sering bantu gue selama ini. Gak usah minta maaf kalo ternyata emang kayak gitu. Gue hargain niat baik elu mau ngerekrut gue. Makasih ya bro atas segalanya. Terus tawaran jadi penjaga stand itu gue terima, deh. Gue mah apa daya ini, nggak boleh milih-milih kerjaan, yang penting halal.” Kataku yang merasa terbantu dengan bantuan Bono dan menerima tawarannya.
“Sip lah kalo gitu! Gue telepon lagi temen Bokap gue, yak! Gue bilang kalo lo udah siap kerja!!” Ujar Bono bersemangat.
***
Beberapa hari kemudian, akhirnya aku bekerja sebagai tukang jaga stand Es Teh Jumbo. Letaknya sendiri memang berada tepat di depan kampusnya Florentina. Aku bersyukur dapat pekerjaan sekaligus kesempatan untuk lebih dekat dengan Florentina. Tempat stand ini berdiri memang strategis karena berada di dekat kampus dan pemukiman yang berisi banyak kos-kosan dan tempat tinggal mahasiswa lainnya.
Hari pertamaku berjualan sudah cukup ramai. Dibantu beberapa karyawan lainnya, kami pun melayani banyaknya pelanggan yang kehausan dan ingin minum es teh. Aku pun sambil mengawasi di sekeliling jika Florentina mampir ke tempat ini, namun setelah berjam-jam aku bekerja, Florentina belum nampak batang hidungnya. Aku masih berharap dia akan datang kesini, entah itu bersama teman-temannya ataupun sendirian, namun dia masih belum datang juga, bahkan setelah kami selesai berjualan dan menutup stand, tetap dia tidak ada.
Aku pun menyemangati diriku. Mungkin karena hari pertama, jadi belum banyak mahasiswa yang berminat datang ke stand ini. Mungkin si Florentina sedang izin atau sedang mengerjakan tugas di luar kampus, yah mungkin saja Florentina memang tidak ada waktu untuk mengunjungi stand ini.
Hari kedua pun begitu. Semakin banyak mahasiswa datang untuk membeli es teh, bahkan kami sampai kewalahan karenanya, tetapi sampai kami tutup pun tidak ada tanda-tanda kehadiran sang pujaan hati. Aku pun mulai agak patah semangat karenanya. Namun aku mengingatkan diriku bahwa aku bekerja untuk mencari nafkah bukan main cinta-cintaan. Bagiku, uang adalah yang terpenting untuk saat ini. Persoalan asmara bukanlah hal yang utama. Bagi orang berkekurangan sepertiku, bisa bekerja saja sudah sangat bersyukur meskipun masih jomblo.
Saat di rumah, aku mencoba untuk menghubungi Florentina, namun selalu urung karena malu. Tapi aku kemudian bertekad untuk mencoba berkenalan dengannya. Aku pun memulai chat dengannya dengan memperkenalkan diriku, dan menanyakan apakah dia ada waktu untuk berkunjung ke stand untuk beli es teh. Namun beberapa jam berlalu, tidak ada balasan atas chatku.
Hari-hari berikutnya pun begitu. Seolah ada tulisan terpasang di depan stand ini, ‘Florentina dan kawan-kawan dilarang masuk!’ membuat Florentina tidak kunjung nongol juga. Padahal stand selalu ramai, tapi orang yang kucari tidak pernah datang sama sekali.
“Kenapa, bro! kamu sakit, ya!?” Tanya Ical, salah seorang rekan kerjaku.
“Nggak, kok! Aku sehat,” jawabku.
“Lha, kenapa lesu begitu!? Kalau sakit istirahat aja, biar kami aja yang kerja.” Tanyanya lagi.
“Nggak, kok. Aku sehat, aku bisa kerja seperti biasanya kok!” Aku masih bersikeras bahwa aku sehat.
“Baiklah kalau begitu!” Akhirnya Ical pun mengiyakan perkataanku.
Sudah sepuluh hari semenjak aku bekerja, namun Florentina masih saja tidak datang. Aku pun mulai putus asa. Sepertinya aku hanya perlu fokus untuk bekerja saja dan tidak memikirkan seorang perempuan.
“Hari ini Flor ultah! Traktir es teh, ya!!!” salah seorang pelanggan berteriak nyaring.
“Oke-oke kalian semua gue traktir hari ini, ya.” Ucap salah seorang gadis lainnya dengan merdunya.
Suara-suara yang sudah tak asing lagi di telingaku. Yang pernah aku dengar di café tempo hari. Aku pun menoleh ke arah sumber suara. Yap! Ternyata itu Florentina dan kawan-kawannya. Mereka datang juga ke stand ini setelah sekian lama aku tunggu.
“Disini cuma jualan es teh biasa doang, Mas!? Kagak ada varian lain gitu?” Salah seorang kawan Florentina menanyakan perihal varian es teh yang dijual di sini.
“Ada kok, Mbak. Ada varian small, mid, big, sama ekstra huge”, jawabku dengan yakin.
“Ya elah! Itu mah cuma ukurannya doang yang beda-beda. Maksud gue itu kayak varian macam thai tea atau teh tarik, atau green tea gitu, gak ada ya, Mas!?” Si gadis tambun tidak terima dengan jawabanku.
“Eh Nanda! Disini mah yang penting enak dan murah! Kalau beli yang begituan di café aja sana!” Tukas Florentina ke temannya yang ternyata bernama Nanda itu.
“Ah! Sorry, Mbak. Di sini cuma beda ukurannya doang. Kalo rasa mah, rasanya ya gitu-gitu doang, gak ada yang lain.” Jawabku pasrah.
“Duh, sorry ya, Mas! Temenku emang agak lain manusianya. Maafin dia, ya!” Ucap Florentina.
“Iya, Mbak! Saya udah maafin kok!” ujarku.
“Aku pesan empat cup ya! Yang paling gede!!”
Florentina memesan es teh untuk dia dan teman-temannya.
“Siap, Mbak!” aku pun menurutinya layaknya seorang tentara.
“Eh, kayaknya Mas ini pernah kita lihat, deh! Kalau nggak salah waktu di café kita lagi makan siang bareng terus ada cowok gendut nyamperin kita ngajak ngobrol. Terus si cungkring ini temannya si cowok gendut itu, iya, gak sih!?” Salah seorang gadis berambut kribo mengingatku sebagai temannya si Bono.
“Iya, kalau, gak salah, si gendut itu emang ke bareng temannya. Mas ini kan ya, temannya,” Mbak-mbak berambut bob juga mengingatku.
“Kalau gak salah, si cowok itu juga minta nope kita semua, kan! Nah, Mas yang diem aja waktu itu ternyata Si Masnya ini, ha ha ha,” Florentina tertawa mengingat momen waktu itu.
Begitulah perkenalanku dengan Florentina berawal. Meskipun aku dikatain cungkring oleh temannya di depannya, tapi aku sama sekali tidak sedih. Bagiku saat-saat yang kunantikan sudah tiba. Aku pun merasa senang karenanya.
“Eh, Masnya yang tempo hari yang ngejapri aku, ya!? Di WA? Dari pp nya kayaknya emang kamu, ya, Mas! Sorry aku nggak balas kemarin. Kupikir kemarin siapa, soalnya waktu itu lupa sama kamu si temennya cowok gendut itu. Kukira cuma orang iseng doang,” Florentina membahas chat dariku yang tidak dia balas.
“Gak apa-apa kok, Mbak. Gak masalah, kok!” Ujarku menenangkan Florentina.
“Lha, kok? Florentina di chat sama Si Masnya ini, ya! Tapi kok, aku nggak…” kata Nanda keheranan.
“Aku juga!” begitu pula gadis berambut bob.
“Sama, gue juga!” Si gadis kribo pun juga berkata demikian.
“Jangan-jangan Masnya ada hati nih, sama Flor. Cieee, ehm, ehm, ngaku aja, lo Cowok cungkring! Ha ha ha!!” Nanda yang paling vokal meledek dan menertawakanku.
Aku hanya tersenyum ketika mereka menjadikanku bahan guyonan oleh mereka. Tidak apa bagiku, yang penting dekat dengan Florentina sudah membuatku bahagia.
“Asal elu tahu, ya. Florentina sudah punya tunangan, loh! Mereka bakal nikah beberapa tahun lagi! Kayaknya Mas nggak ada peluang lagi deh buat deketin si Flo.” Kata gadis kribo.
“Hush! Itu belum tentu! Jangan dengerin dia, Mas!!” Florentina menyanggah perkataan gadis kribo.
Aku hanya diam saja mendengarnya. Bagiku, dekat dengan Florentina saja saat ini sudah berarti bagiku.
Sejak hari itu, aku dan Florentina mulai berkomunikasi secara intens. Dia menceritakan tentang dirinya, bahwa dia anak tunggal pasangan konglomerat di Depok. Dia juga dulunya merupakan siswi yang berprestasi, dan masuk kampus favorit di Depok dengan beasiswa. Aku pun juga menceritakan diriku, tentang Ayah dan Abang yang kerja keras menjadi tulang punggung keluarga kami, dan Ibuku yang kondisinya sudah mulai agak sakit-sakitan. Aku pun ingin menempuh jalan yang sama dengan Ayah dan Abangku. Florentina berkata bahwa aku adalah teman berbagi yang baik, sampai suatu hari pada akhirnya aku menyatakan perasaanku padanya.
“Florentina, mungkin nggak pantas untuk orang sepertiku mengucapkan hal ini, tetapi… aku suka kamu, Florentina. Aku jatuh cinta ama kamu sejak pandangan pertama,” aku menembak Flor lewat panggilan WA.
“……” Florentina hanya diam saja.
“Florentina? Gimana? Aku hanya ingin tahu perasaanmu terhadapku sejauh apa. Kalau kamu gak mau nerima aku, aku terima, kok.” Aku menantikan jawaban Flo tentang pernyataan cintaku.
Lama Florentina terdiam di seberang sana. Sepertinya dia tidak tahu berkata apa terhadap penyataanku barusan.
“I…iya aku juga suka sama kamu. Aku ingin tahu sampai sejauh mana kamu mau memperjuangkanku. Mungkin kita dilahirkan di lingkungan yang berbeda, tetapi aku yakin pasti akan ada kesempatan buat kamu.” Florentina menerima pernyataan cintaku setelah lama terdiam.
Akhirnya, pada hari itu, kami resmi berpacaran. Aku menjalani pekerjaanku seperti biasa, begitu Florentina yang sibuk dengan kehidupan di kampusnya. Dia adalah anak yang berprestasi secara akademis dan aktif di BEM dan UKM Seni Tari. Aku bangga padanya dan aku Bahagia bisa jadi pacarnya. Karena kesibukan kami, kami sering berkomunikasi lewat WA dan jarang bertemu secara tatap muka. Florentina dan teman-temannya hanya sesekali mengunjungi stand es teh jumbo tempatku bekerja, karena mereka kurang suka dengan teh yang biasa saja. Aku pernah bertanya kepada Florentina kenapa dia tidak datang sendirian saja ke sini, namun dia menjawab bahwa dia harus menjaga asupan makannya sebagai seorang praktisi tari dan juga yoga. Aku pun hanya manggut – manggut saja mendengarnya.
Hari demi hari berlalu, bulan pun silih berganti. Tak terasa sudah enam bulan aku bekerja sebagai penjaga stand es teh ini. Aku mengapresiasi diriku yang sudah memiliki pencapaian ini. Gaji yang kuterima cukup lumayan, kadang di bawah UMR sedikit, kadang diatas UMR, tergantung jumlah pendapatan yang kami terima. Bulan puasa sebentar lagi akan tiba. Si pemilik outlet berdiskusi dengan kami selaku karyawan apakah akan ada pemangkasan jam kerja atau diliburkan sekalian saja selama bulan Ramadhan.
“Gimana baiknya?” Tanya si Bos.
Kami pun berdiskusi beberapa saat. Akhirnya kami sepakat bahwa kami beroperasi mulai jam 4 sore sampai jam 10 malam. Lalu pada saat berbuka dan masuk waktu shalat stand kami tutup selama setengah jam.
“Terus gimana pas lebaran!? Ada yang mudik, nggak! Kalo nggak sebaiknya stand tetap buka pada saat lebaran dan beroperasi mulai pukul 8 sampai pukul 2 pagi. Supaya menutupi kekurangan pendapatan selama bulan puasa.” Si Bos menyuruh kami untuk bekerja full time selama lebaran.
Kami termangu, tapi kami akhirnya menerima keputusan Si Bos.
Aku pulang kerumah dengan hati yang letih. Agak berat rasanya harus bekerja selama itu pada saat lebaran nanti. Namun apa daya, supaya pendapatan kami tidak berkurang kami harus kerja selama itu untuk menutupi penjualan yang kurang pada saat lebaran nanti.
“Assalamualaikum, Bu…”
Aku mengucap salam namun Ibuku tidak menjawab. Pintu tidak terkunci, kupikir Ibu hanya ketiduran dan lupa mengunci pintu. Namun, alangkah kagetnya aku ketika menemukan Ibuku tergeletak di ruang tamu dengan muka yang pucat.
“Bu! Ibu! Ibu gak apa-apa!? Bangun Ibu! Kenapa ketiduran di sini!? Ibu! Ibu pingsan, ya!” aku mencoba membangunkan Ibuku dengan panik. Namun, karena tidak kunjung bangun aku pun memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
Aku pun segera membopong Ibu ke kamarnya, kemudian aku menelepon ambulans.
***
Kreator : Miftahul Khoir
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Semua Harapan Yang Belum Tercapai bab 2 (bagian 1)
Sorry, comment are closed for this post.