Matahari terasa cukup terik, menciptakan bayang-bayang pepohonan yang mengundang orang-orang untuk berlindung. Beberapa mahasiswa berteduh di bawah pohon rindang, ada yang menikmati camilan bersama, diskusi kelompok atau sekedar senda gurau.
Setelah menyelesaikan satu mata kuliah, Aina, Rani dan Rahma memutuskan untuk berjalan santai dan duduk di salah satu bangku taman area kampus setelah sebelumnya mereka membeli camilan.
“Eh Na, ngomong-ngomong gimana kabar kamu sama Pak Arif? Masih komunikasi?”
Entah kenapa pertanyaan itu membuat Aina bingung untuk menjawab.
“Masih.”
“Cieee, lanjut nih??” Rahma menggoda sambil mengambil camilan milik Aina.
“Mau tauuuu ajaaaa.”
“Ih cerita dong, Na.”
“Tidak ada yang spesial, Rahma. Tidak terlalu intens, biasa saja.”
“Spesial juga gak apa apa kali, Na.” Kali ini ganti Rani yang menggodanya. Aina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tidak menjawab lagi. Jujur saja, Aina tidak ingin ada yang tahu masalah kedekatannya dengan Arif beberapa hari terakhir ini.
“Assalamu’alaikum.”
Tiba-tiba saja ada suara yang menyapa dari sisi kanan Aina. Tidak terlalu dekat, tapi Aina merasa salam itu ditujukan untuknya. Asyraf, Aina dibuat terkejut ada keperluan apa kiranya sampai Asyraf menemuinya di kampus? Jangan-jangan masalah semalam, batinnya.
“Wa’alaikumussalam, e… Gus, kok di sini?”
Rahma dan Rani hanya mengamati keduanya.
“Afwan Na, jika kehadiran saya di sini mengejutkan kamu. Tapi, ada yang perlu saya bicarakan. Apa ada waktu?”
Asyraf masih berdiri, Rahma dan Rani segera paham dan pamit menunggu Aina di masjid sekaligus menanti waktu Dzuhur.
“Baik Gus, silahkan. Kebetulan masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum Dzuhur, karena nanti Aina masih ada dua mata kuliah lagi.”
Aina langsung merasa kalau Asyraf akan meminta penjelasan langsung darinya mengenai jawaban semalam. Asyraf duduk pada bangku taman yang lain di sisi kanan Aina.
“Na, mungkin kamu juga sudah menebak apa yang akan ana bicarakan kali ini. Tadinya ana ingin berbicara saat di pondok, tapi tidak enak jika ada santri lain yang melihat. Makanya, ana memilih untuk mendatangi kamu di kampus.”
Asyraf menarik nafas panjang, lalu terdiam beberapa saat. Sementara Aina dengan tenang menunggu perkataan yang akan disampaikan oleh Asyraf.
“Boleh, ana tahu apa alasan kamu menolak maksud ana?”
Kali ini Aina yang menarik nafas panjang, lalu perlahan menghembuskannya.
“Afwan Gus, sejujurnya ana cukup kaget saat Ustadz Amri dan Ustadzah Faridah menyampaikan maksud Gus Asyraf. Namun, Aina tidak bisa mengiyakan karena memang Aina tidak memandang Gus selain pandangan murid kepada gurunya, pandangan penuh ta’dzim sebagai ahlul ‘ilmu.”
“Selain itu, apa sudah ada orang lain, Na?”
Entah mengapa Asyraf merasa perlu menanyakannya, kali ini Aina cukup grogi dengan pertanyaan Asyraf.
“Saat ini, ana tidak memiliki hubungan apapun dengan lawan jenis selain berteman, Gus.”
Aina tidak berbohong, toh Arif dan dirinya memang tidak memiliki hubungan apapun selain berteman. Ketika mendengar jawaban Aina, Asyraf merasa masih ada sedikit celah untuk berjuang dengan jalur langit.
“Afwan, Gus. Jika tidak ada yang ingin disampaikan atau ditanyakan lagi, ana mohon izin untuk pergi.”
Asyraf memahami maksud Aina yang mungkin tidak nyaman jika terlalu lama berbicara empat mata dengannya walaupun berada di ruang terbuka. Asyraf pun mengiyakan dan mempersilahkan Aina untuk pergi. Ia juga merasa harus segera ke tempat usahanya untuk kontrol karyawannya.
Dari arah lain, nampak seorang pria memperhatikan Aina dan Asyraf, tidak terlalu dekat dan sejak awal ia memperhatikan bagaimana Aina berinteraksi dengan temannya termasuk juga Asyraf. Arif, hari ini ia diminta Hapsari untuk mengantarkan bingkisan kepada Aina. Pagi tadi, Arif menanyakan kegiatan Aina hari ini untuk bisa memastikan dimana ia bisa menemui Aina. Ia sengaja tidak memberitahu Aina tentang hal ini. Sesekali ia merasa perlu melihat keseharian Aina dari jauh, pikirnya. Dari yang ia lihat sebenarnya tidak ada yang salah dengan gestur atau interaksi Aina dengan kawan maupun dengan Asyraf, namun entah kenapa ia merasa sedikit tidak nyaman jika Aina berbicara dengan Asyraf.
Arif berjalan mengikuti Aina dengan tetap menjaga jarak, namun sepertinya Aina merasa ada orang yang mengikutinya.
“Pak Arif?” Aina sedikit terkejut dengan mengernyitkan dahinya, Arif berjalan mendekati Aina.
“hehehe… “ Arif kikuk sendiri.
“Bapak ngapain ke sini?”
“em… Boleh gak sambil jalan ke masjid aja ngobrolnya, sudah adzan loh.”
Aina tidak menjawab, namun melanjutkan langkahnya dan Arif mencoba untuk menyamakan langkahnya di sisi kanan Aina.
“Pak, maaf bisa gak usah terlalu dekat jalannya?”
Arif meregangkan sedikit jaraknya dengan Aina yang hampir saja lengannya menyentuh lengan Aina.
“Jadi, Pak Arif ada perlu apa toh ke sini?”
“Ada titipan yang harus langsung saya sampaikan ke kamu.”
“Titipan?” Aina menoleh ke arah Arif.
“Ada titipan buat kamu dari Nenek saya.”
“Nenek Bapak?”
“em… Maaf, saya tidak melampirkan ini pada biodata saya. Kebetulan saya yatim piatu, Na. Saya dirawat oleh Nenek dan Kakek saya sejak kecil dan jujur saja mereka berdualah yang sangat menginginkan saya untuk segera menikah, dan saya juga menceritakan perkenalan saya dengan kamu.”
Aina mendengarkan tanpa komentar.
“Jadi…. beliau senang sekali saat tahu kalau saya mulai dekat dengan wanita, saya tidak pernah punya hubungan spesial dengan wanita, Na….”
Aina masih mendengarkan cerita Arif tanpa menyanggah.
“Nah, ini untuk kamu dari Nenek beliau pesan kalau nanti dipakai tolong kirim fotonya ke saya, beliau mau lihat.”
Arif memberikan goodybag coklat titipan dari Hapsari.
“I…ini apa, Pak?”
“Saya juga ga tau Na, nanti kamu lihat aja.”
“Ta, tapi, Pak…”
“Na, ini bukan dari saya, tapi dari nenek, tolong diterima ya.”
“Baik. Salam untuk nenek ya, Pak. Terima kasih banyak.”
Arif tersenyum, mereka pun terus melangkah beriringan menuju masjid untuk melaksanakan shalat Dzuhur. Awalnya, Arif ingin bertanya mengenai Asyraf, namun ia urungkan karena tak ingin merubah suasana yang menurutnya begitu syahdu. Ini kali pertama ia berjalan beriringan dengan seorang wanita yang membuat jantungnya berdetak tak beraturan.
Beberapa mata yang tidak sengaja melihat mereka berjalan beriringan merasa iri, mereka nampak serasi. Namun, ada sepasang mata yang sedikit gundah melihat sepasang insan itu. Asyraf tidak sengaja melihat mereka saat ia sedang mengantre mengeluarkan motornya. Apa mungkin laki-laki itu yang membuat Aina menolakku? batin Asyraf.
“Aina.”
Rini memanggil Aina setengah berbisik saat melihat temannya nampak mencari keberadaannya.
“Kita tadi sudah jama’ah, kamu wudhu dulu gih biar tas kamu kita yang jagain.”
“Oke, titip ya.”
Aina bergegas mengambil air wudhu lalu shalat Zuhur dan qabliyah Zuhur, usai berdoa dan melipat mukena ia langsung ditodong pertanyaan oleh kedua temannya.
“Na, kalau gak salah yang tadi itu anak Kyai-mu kan? Gus Asyraf?”
Aina mengangguk.
“Kok dia sampai nyamperin kamu ke kampus? Kenapa?”
“Hmmm biasa tadi kebetulan beliau lewat kampus, terus kasih titipan buat yang dibeli buat Umi, nih?”
Aina menunjukkan sebuah goodybag yang sebenarnya itu dari Arif.
“Ah perasaan tadi Gus Asyraf gak bawa apa-apa deh.” Rani menyelidiki.
“Ini tadi ketinggalan di motor beliau yang diparkir, terus baru dikasih ke aku pas aku mau ke sini.”
Aina sebenarnya tidak mau berbohong, tapi ia juga malas kalau harus bercerita hal-hal yang sebenarnya sungkan sekali untuk diumbar, ia pun beristighfar dalam hati berkali-kali.
“Oh, eh iya ini kita mau makan apa?” Tanya Rani.
“Soto lamongan Pakdeh Bismillah aja yuk. Kayaknya enak siang gini makan berkuah pakai jeruk nipis sama sambal,” jawab Rahma dan disetujui oleh Rani dan Aina. Soto lamongan Pakdeh sebenarnya tanpa ada nama bismillah-nya, hanya saja Pakdeh dan isterinya saat meracik soto tak luput mengucap basmalah, begitu juga saat pelanggan membayar pesanannya beliau juga selalu mengucapkan hamdalah. Sebab itulah soto lamongan beliau dijuluki oleh kalangan mahasiswa dengan soto bismillah.
Setelah beberapa menit bersandar pada tembok masjid sambil sesekali merebahkan diri, Aina, Rani dan Rahma beranjak menuju tenda soto bismillah.
“Assalamu’alikum, Budeh.”
“Wa’alaikumussalam nduk, mau pesan apa?”
“Mau sotonya tiga, pakai nasi semua karena hari ini kami kuliahnya sampai sore, jadi nasinya full satu porsi semua ya, Budeh. hehehe.” Pesan Aina.
Sementara Rani dan Rahma duduk memilih tempat terlebih dulu karena khawatir akan keduluan oleh pelanggan lain. Kurang dari lima menit pesanan sampai dan mereka pun menikmati kelezatan soto itu dengan penuh syukur.
“Ya Allah, alhamdulillah nikmat banget ini.” Ucap Rahma.
Sesekali mereka menikmati suapan demi suapan sambil bersenda gurau dan tertawa.
“Lagi-lagi ketemu kamu Na, hmmm.” ternyata Arif juga sedang makan di tempat yang sama, namun Arif enggan menyapa Aina karena khawatir akan membuat suasana canggung. Arif pun membayar pesanannya dan tidak lupa membayar pesanan Aina dan kedua temannya.
Kreator : Ainuna Zulia
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Senandung Cinta Melangit (Part 11)
Sorry, comment are closed for this post.