Suasana kamar Aina hening setelah ia menceritakan segala beban pikiran dan hatinya yang sudah beberapa hari ini membuatnya merasa bersalah. Hamidah, Shofiyah, Marwah dan Fatimah mendengarkan dengan tulus.
“Jadi, saat minggu lalu kamu menemani Ning Hana ke mall, beliau bertanya perasaan kamu kepada Gus Asyraf?” Marwah memastikan.
“Iya, dan awalnya ana pikir Ning Hana menanyakan itu karena mendengar cerita dari santri lain tentang kedekatan ana dengan Gus Asyraf.”
“Terus, menurut kamu, apa alasan Ning Hana sampai berpesan seperti itu ke kamu?”
Malam sebelum keluarga Kyai Hanif berpamitan, Hana menyempatkan diri untuk menemui Aina setelah sholat Maghrib berjamaah. Hana dan Aina berbicara empat mata di balkon gedung lantai tiga. Dengan silir angin malam Hana menggenggam kedua telapak tangan Aina.
“Na, mengenai pertanyaan ana beberapa waktu lalu tentang perasaanmu kepada Gus Asyraf, sebenarnya ada kaitannya dengan apa yang ingin ana sampaikan saat ini.”
Aina merasa gugup dan sedikit bingung, namun tetap berusaha menatap mata teduh seorang wanita yang kini menggenggam tangannya.
“Na, mungkin cepat atau lambat Gus Asyraf akan menanyakan hal yang sama, bahkan mungkin lebih.”
Deg, Aina merasa ada hal yang tidak bisa diterima oleh pikirannya. Hatinya kini bertanya-tanya ada apa sebenarnya.
“Mmm … maksudnya, Ning?” Aina bertanya.
“Na, ana tahu bahwa kamu adalah seorang santri yang Insya Allah sangat menghargai dan hormat kepada para guru terutama keluarga Kyai Abdullah…”
Hana memandang wajah Aina. Ya, Aina tidak hanya cantik tapi juga ayu, santun dan juga cerdas. Sangat wajar jika ia mampu menempati hati Asyraf, putra bungsu dari Kyai Abdullah.
“Jika nanti, cepat atau lambat Gus Asyraf menanyakan perasaanmu terhadap beliau dan kamu tidak mempunyai perasaan yang sama terhadap beliau, tolong ungkapkan dengan jujur, karena…”
Butiran bening hampir tumpah dari kedua sudut mata Hana, namun ia segera mengusap matanya dan membelakangi Aina.
Aina mematung masih mencoba mencerna apa yang ia dengar barusan.
“Karena Gus Asyraf, bisa jadi sudah berada lebih lama di hati seseorang.” Hana kembali berdiri lurus dan memeluk Aina dengan hangat.
“Tapi, jika kamu yakin bisa memiliki perasaan yang sama dengan beliau, silahkan kamu menerimanya.” Hana melanjutkan perkataannya.
“Ta, tapi, Ning.”
“Sudah ya, Na. Ana harus segera pulang karena sudah ditunggu. Oh iya, ini ada sedikit hadiah dari ana, semoga kamu berkenan, ya. Terima kasih banyak selalu menemani ana kalau berkunjung ke sini. Assalamu’alaikum.” ucap Hana sambil memberikan bingkisan kecil berisi jilbab dan kaos kaki.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah. Jazakillah khairan, Ning.”
Aina kembali teringat malam sebelum Hana berpamitan.
“Tunggu, Na. Tadi kamu sempat bilang kalau sebelum pamit Ning Hana ngajak kamu ngobrol, ada kaitannya???” Hamidah mencari tahu.
Aina pun menceritakan seluruhnya kepada empat teman sekamarnya, setelah sebelumnya Aina memastikan bahwa keempat temannya ini berjanji tidak akan menceritakan kepada siapapun.
“Na, apa jangan-jangan Gus Asyraf memang ada rasa sama kamu?” Hamidah menerka disambut dengan anggukan temannya yang lain.
“Dan, Ning Hana memiliki rasa dengan Gus Asyraf.” Shofiyyah menambahkan.
“Aduh Kak, segitiga ini Kak.” Fatimah tak kalah serius
“Ya Allah, ana ingin segera selesai masalah ini, tapi ini sebenarnya bukan masalah sih. Tapi, ana jadi kepikiran.” Aina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Na, tapi jujur ya. Kamu benar gak ada rasa sama Gus Asyraf?” Marwah yang duduk di sampingnya merangkul pundak Aina dan bertanya dengan hati-hati.
“Sejujurnya, ana ini tidak ada perasaan apapun dengan Gus Asyraf. Beneran blas nggak ada. Ana memandang Gus Asyraf ya dengan penuh rasa hormat sebab beliau anak dari guru ana, putra Kyai Abdullah dan Ummi Halimah.”
“Yakin?” Marwah memastikan dan dijawab dengan anggukan kepala yang meyakinkan oleh Aina.
“Yo wes, menurutku yo Na, nggak ada cara lain selain kamu nunggu Gus Asyraf yang bahas masalah ini terlebih dulu ke kamu.” Marwah menambahkan.
“Betul, Na. Ini udah cara yang aman, sebab nggak mungkin kan kalau kamu tiba-tiba bilang ke beliau, kalau kamu tidak punya perasaan apapun terhadap beliau.”
“Aku setuju sama saran Kak Marwah dan Kak Shofiyyah. Kak Aina saat ini sepertinya tidak perlu bertindak apa-apa, cukup menunggu saja.”
Setelah bercerita dengan teman-temannya Aina merasa lebih lega dan tenang. Aina merasa bersyukur dengan lingkungan nya saat ini, ia selalu berharap kapanpun dan dimanapun ia berada, semoga selalu Allah pertemukan dengan lingkungan yang penuh kasih sayang dan manfaat.
Pov Arif:
Pukul tiga dini hari Arif terbangun. Ia mengambil air wudhu, berpakaian lengkap untuk shalat sunnah. Entah kapan terakhir kali ia melakukan shalat di sepertiga malam, jika tidak salah ingat sekitar lima tahun lalu.
Saat itu, Dharmawan, kakeknya mengalami serangan jantung dan koma beberapa hari. Seketika dunia Arif terasa begitu menghimpit. Ia merasa tidak siap jika harus kehilangan Kakeknya yang selama ini menyayangi, merawat serta mendidiknya sejak kecil.
Namun, kali ini ia melakukan untuk merayu Tuhan memberikan kepastian masa depan bersama Aina. Arif sendiri pun bingung sebesar apa pengaruh Aina sehingga bisa membuatnya untuk membentangkan sajadah di saat jutaan makhluk tertidur pulas.
Waktu yang diberikan Kakek hanya tersisa tiga hari, namun Aina belum juga mengabarkan perihal pertemuan yang Arif ajukan. Sebenarnya, tanpa disadari, mungkin Arif bukan lagi mengkhawatirkan ancaman Kakek yang akan menjodohkannya dengan Alya, melainkan kini Arif khawatir jika benar-benar kehilangan jejak Aina. Ya, ia tidak lagi mengkhawatirkan resiko jika tidak bisa membawa Aina bertemu keluarganya, melainkan ia takut jika benar-benar kesempatan bertemu kembali dengan Aina hilang.
Setelah shalat, Arif memanjatkan doa. Salah satunya merayu Allah untuk memudahkannya menghalalkan Aina. Entah bagaimana kini Arif memiliki perasaan begitu dalam terhadap Aina, padahal ia hanya sekali bertemu dengan Aina dan beberapa kali berbalas pesan singkat.
Awalnya, Arif ingin menguji Aina tanpa memberi kabar lagi terkait keperluannya untuk bertemu. Ia ingin melihat sejauh mana Aina bertahan tidak mengabari pria tampan dan mapan, Arif memuji dirinya sendiri. Tak disangka, justru Arif yang dibuat rungsing karena Aina benar-benar tidak ada kabar, tidak tepat janji, lebih tepatnya belum menepati janjinya untuk memberi kabar kepada Arif.
Arif memang bisa memantau Aina dengan melihat unggahan foto atau kabar yang Aina share pada salah satu aplikasi chat. Namun, itu pun jarang Aina mengunggah foto pribadinya, kebanyakan justru kesibukannya di kampus maupun pondok. Aina memang sedikit memiliki waktu luang sepertinya, tapi apa sampai tidak sempat untuk memulai lebih dulu mengabari dirinya?
Setelah bersua dengan Rabb-nya, Arif menuju ruang kerjanya yang terhubung dengan kamar. Nuansa maskulin dengan warna abu mendominasi. Ia membuka dokumen perusahaan yang dua hari lalu diantarkan salah satu orang kepercayaan Dharmawan kepadanya.
Beberapa saat terdengar adzan Subuh. Arif meraih ponselnya lalu mengirim pesan singkat untuk Aina. Ia merasa sudah sewajarnya menagih janji dari seseorang, toh seharusnya Aina yang berterima kasih kepadanya karna sudah mengingatkan janji. Janji adalah hutang.
“Assalamu’alaikum, Aina. Maaf mengganggu. Saya ingin mengingatkan bahwa kamu beberapa waktu lalu berjanji untuk memberi kabar saya mengenai kesediaan waktu kamu untuk pertemuan kita, saya hanya mengingatkan. Terima kasih.”
Awalnya, Arif ingin bertanya kabar Aina sebagai awal basa-basi, namun segera ia hapus dan menggantinya dengan sindiran halus dan sedikit kaku. Arif tidak ingin terlihat begitu ramah, apa lagi Aina dinilainya bukan perempuan yang senang berbasa basi dengan lawan jenis.
Arif membentangkan kembali sajadahnya untuk shalat Subuh setelah melakukan shalat sunnah. Sebenarnya Arif bukan tidak pernah shalat berjamaah di masjid, namun terkadang Arif merasa sungkan karena kemunculannya di masjid bisa dibilang jarang. Ia sadar sebagai laki laki muslim yang sehat seharusnya membiasakan shalat wajib di masjid, tapi memang sepertinya membiasakan kebiasaan yang baik itu banyak sekali godaannya.
Aina bergegas melangkahkan kakinya menuju ruang kelas dengan membawa beberapa tumpukan kertas dalam genggamannya. Tak lama, ia sedikit berlari kecil saat melihat dari arah seberangnya ada lelaki paruh baya juga akan segera memasuki ruang yang sama. Lelaki tersebut berhenti sejenak dan berbicara dengan sekelompok mahasiswi yang terlihat minum dengan posisi berdiri. Dan, Aina berhasil memasuki ruang kelasnya lebih dulu.
“Alhamdulillah.”
Dengan nafas yang sedikit terengah-engah, ia segera menempati kursi yang tersedia di depan sebagai kelompok pemapar makalah.
“Ya Allah, Na. Dari mana aja lo? tumben banget kirain nggak masuk.”
“Haduh, maaf ya. Tadi aku berangkat agak santai dan nggak nyangka hari ini macet, hehehe.”
Tak lama, lelaki paruh baya yang tak lain adalah dosen pada mata kuliah kelas Aina hari ini masuk. Beberapa saat kemudian Aina dan kelompok makalahnya mulai mempresentasikan tugas dari dosen tersebut.
Aina memaparkan materi presentasi dengan cukup baik, tak terasa waktu untuk mata kuliah tersebut sudah selesai. Setelah ada sedikit koreksi dan penekanan materi dari dosen, Aina dan teman lainnya meninggalkan kelas.
“Na, lo ga ngecek handphone? Tau nggak kita chat lo , telepon juga berkali kali.”
Aina sedikit terkejut dan mengeluarkan gawainya dari tas.
“Eh, ya Allah maafin… Ponsel aku ke silent, hehehe. Kayaknya dari semalam deh aku nggak ngecek.”
Ternyata, ada beberapa chat dan panggilan tak terjawab. Aina sedikit terkejut saat melihat pesan dari “Pak Arif”. Seketika ia langsung teringat janjinya untuk memberikan kabar kesediaannya bertemu kembali.
Aina melambankan langkahnya, beberapa temannya sudah jauh di depan hampir tak terlihat. Aina berputar balik menuju gedung perpustakaan, merasa membutuhkan sedikit ruang untuk menenangkan pikiran. Semalam baru saja ia membahas mengenai Ning Hana dan Gus Asyraf, sekarang ia harus segera menghadapi permintaan laki-laki yang baru saja dikenalnya. Aina khawatir salah dalam menyikapi Pak Arif. Apakah Aina akan berani menepati janjinya kepada Arif atau menghindar, menghilangkan jejak?
Kreator : Ainuna Zulia
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Senandung Cinta Melangit (Part 6)
Sorry, comment are closed for this post.