Aina memilih kursi baca di sudut ruang dengan jendela di depannya. Saat Dzuhur, suasana perpustakaan tidak begitu ramai. Biasanya Mahasiswa memilih untuk shalat di masjid senter sekaligus makan siang.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah. Mohon maaf, Pak Arif. Jika saya membuat bapak menunggu. Dan, terima kasih sudah mengingatkan. Jika Pak Arif tidak ada kesibukan, saya berkenan bertemu di kampus ba’da Ashar.”
Dengan mengucapkan basmalah Aina membalas pesan Arif.
“Assalamu’alaikum, Shof.”
Aina menghubungi teman kamarnya.
“Waalaikumussalam, Na. Kenapa?”
“Ba’da Ashar kamu ada jam nggak?”
“Jam empat sore? Kalau jam empat sore ana kosong sih, sudah bisa pulang.”
“Oke, nanti temani aku ya. Kita ketemu di depan parkir masjid tempat biasa.”
“Emang kamu mau kemana?”
“Udah nanti ana ceritain, ana lagi di perpus nih, mau nitip pinjam buku nggak?”
“Nanti ana nyusul deh Na ke perpus, jadi penasaran, ahahahahaha.”
“Hmmm, jadinya mau ketemu di perpus atau di masjid?”
“Nanti ana kabarin deh.”
“Oke, ya sudah. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Jarum jam menunjukkan pukul dua siang, Aina teringat bahwa ia belum makan siang. Aina memutuskan untuk pergi ke kantin yang tidak jauh dari perpustakaan. Aina segera menuju salah satu lapak warung yang menjual nasi dengan aneka lauk pauk.
“Permisi, Bu Sri. Mau nasi satu ya.”
“Boleh, mau pakai apa neng?”
“Hm… Mau capcay, telur dadar, tempe, sama sambal ya, Bu. Hehehe.”
“Minumnya apa, Neng?”
“Kebetulan saya bawa minum, Bu.”
Aina mengambil piring yang berisi pesanannya sambil membayar dengan uang tunai. Keadaan kantin tidak terlalu ramai, sebagian mahasiswa sudah kembali masuk kelas. Aina mengambil posisi duduk dekat dinding, sesekali ia menggulir gawainya.
“Doorr!!!”
Aina hampir tersedak.
“Ya Allah…. Shofiyah…. Eh tunggu, kamu bukannya ada kelas? Bolos ya kamu???”
“Ih, suudzon aja kamu. Dosenku hari ini berhalangan hadir, niatnya ana mau ke kantin makan dulu, habis itu baru nyusul kamu ke perpus. Eh, ternyata kamu di sini juga.”
“Lapar, Shof. Hehehe. Tapi, ana nanti mau balik lagi sih ke perpustakaan.”
Shofiyah meletakkan tasnya di atas meja lalu menuju lapak penjual bakso. Terlihat ia memesan semangkuk bakso dan es jeruk. Aina kembali melanjutkan makannya yang tersisa beberapa suap.
“Jadi gimana ceritanya, Na?”
Shofiyah meletakkan nampan berisi pesanannya secara perlahan dan duduk berhadapan dengan Aina.
“Cerita apa?”
“Ih, itu loh katanya minta ditemani ketemuan sama bapak-bapak.”
“Ana bingung mau cerita dari mana, sebenarnya kamu bukan orang pertama yang tahu ini, ana sudah cerita lebih dulu ke Hamidah.”
“Terus, Hamidah tau kamu mau ketemuan sekarang?”
“Belum, dia belum tahu kalau ana mau ketemuannya hari ini.”
Aina menyodorkan gawainya, ia mengisyaratkan Shofiyah untuk langsung membaca chatnya dengan Arif. Shofiyah membaca perlahan sambil menikmati bakso yang ada di hadapannya.
Setelah selesai membaca pesan Aina dengan Arif, Shofiyah menyempatkan minum es jeruk miliknya.
“Na, maaf ya. Pertama, ana kurang setuju kalau laki-laki ini kamu panggil dengan sebutan Bapak , Ya Allah gustiii…. Koncoku reek…”
Shofiyah menyanggah pelipis kanannya sambil menggelengkan kepala.
“Yo teruuusss??? Moso ana panggil Ibu, Mbok, Budeh?”
“Ya Allah gustiiii, Na kamu ra iso ndelok? Arif iki esih nom, muda Na… mbo ya’o panggil Mas, Kakak… ngono looohhh.”
Shofiyah sedikit gemas dengan Aina.
“Eh, Na. Tapi, ya ana rasa dari Bahasa Mas Arif ini… jangan-jangan, dia suka loh sama kamu”
Sofiyah melanjutkan.
“Hus, ngawur kamu, gak mungkinlah ketemu juga baru sekali itu juga karena gak sengaja kembalikan kitab ana yang ketinggalan di rumah sakit.”
“Nah! Justru itu, harusnya setelah Mas Arif selesai mengembalikan kitab kamu, sudah gak perlu lagi dong ngajak ketemuan, ada hal yang ingin dibicarakan , ya kan?”
Aina diam sejenak.
Dreet…Dreet…Dreet…
Ponsel Aina bergetar, panggilan masuk.
“Na, Mas Arif nih, Panjang umur dia tau aja kalau lagi diomongin.”
Shofiyah menyodorkan ponsel Aina.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Bagaimana, Pak Arif?”
Di tempat lain, Arif sedikit merasa kecewa ternyata Aina belum mengubah panggilan untuknya. Sepertinya sikap Aina masih sama seperti saat pertama mereka bertemu.
“Aina, kebetulan saya sudah sampai di kampus dan pas sekali saya parker di tempat awal kita bertemu.”
“Oh iya. Baik, Pak. Mau ketemunya sekarang saja?”
“Eh, enggak, bukan, maksud saya nanti saja setelah shalat Ashar supaya lebih luang”
Arif mendadak gugup.
“Baik Pak nanti saya kabari kembali setelah saya sudah di sana.”
“Oke, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah.”
POV ARIF :
Arif memutuskan untuk keluar dari mobilnya dan berkeliling area kampus dengan berjalan santai. Kali ini ia mengenakan sepatu slip on berbahan bludru berwarna hitam dari salah satu brand terkenal, celana Panjang ankle dengan warna senada serta kemeja lengan pendek berwarna putih. Arif benar-benar terlihat seperti pria idaman, rapi dan harum tentunya.
Tanpa disengaja Arif melangkahkan kakinya ke perpustakaan yang cukup dekat dengan masjid center. Setelah menunjukkan kartu identitas, ia pun diizinkan untuk masuk. Arif menuju rak buku bagian Ilmu Kesehatan dan mengambil salah satu buku untuk dibacanya. Tanpa disadari kehadiran Arif cukup menjadi pusat perhatian beberapa mahasiswi yang berlalu-lalang tak jauh dari tempatnya membaca.
Adzan Ashar berkumandang, Arif memutuskan untuk segera menuju masjid menunaikan shalat dan tentu saja mengharapkan pertemuan dengan Aina. Setelah berjama’ah, Arif kembali ke mobilnya. Ia duduk pada kursi kemudi sambil mengecek aplikasi pesan untuk membaca info grup rumah sakit tempatnya bertugas. Sesekali dengan gugup, ia juga melihat sekitarnya untuk memastikan kedatangan Aina. Ia benar-benar merasa seperti seorang remaja yang kasmaran kali ini. Kasmaran? Entahlah, ia sendiri masih belum yakin apa benar ia mencintai Aina. Yang jelas saat ini ia sangat gugup.
Dreet…Dreeet…Dreet…
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam, ya Na”
Arif sedikit salah tingkah
“Oh, maaf Na, i…iya saya lupa info, mobil saya berbeda dengan yang kemarin”
Arif menepuk keningnya, ia lupa kalau hari ini menggunakan mobil yang berbeda dengan waktu pertama kali mereka bertemu. Arif memutar badannya, terlihat sudah Aina di belakang mobilnya. Arif mematikan ponselnya dan langsung turun menghampiri Aina.
Seketika Arif menjadi bingung “bagaimana caranya untuk bicara dengan Aina kalau ada temannya?”
“Assalamu’alaikum.” Aina menyapa Arif.
“Wa’alaikumussalam. Maaf ya, Na. Saya lupa kalau hari ini mobilnya beda.”
“Oh iya ga apa-apa, Pak. emm… Maaf saya kesini bersama teman saya, ini Shofiyah.”
Arif tersenyum ramah.
Tanpa banyak basa-basi Arif menjelaskan kembali tujuan mengundang Aina untuk bertemu. Arif melihat kalau Aina kurang setuju jika ia hanya ingin bicara berdua. Akhirnya Arif bersedia mengikuti persyaratan Aina untuk menyertakan Shofiyah.
“Oke, setuju.”
Arif membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkan Aina bersama temannya duduk pada baris ke dua. Aina masuk lebih dulu sehingga ia berada di sisi kiri dekat pintu, sedangkan Shofiyah duduk tepat bersebelahan dengan Aina. Dengan kata lain, tak ada penumpang yang duduk di belakang kursi pengemudi,
Arif membuka jendela mobilnya secara utuh pada baris satu dan baris dua mengikuti syarat yang Aina ajukan. Arif menyodorkan ponselnya kepada Shofiyah.
“Untuk apa?”
Aina tak mengerti maksud Arif dan Shofiyah hanya bisa melirik temannya itu.
“begini, karena ini sebenarnya pembicaraan yang cukup serius dan saya merasa belum perlu diketahui oleh orang lain, jadi kali ini saya mohon ikuti saya”
Arif menjelaskan dengan hati-hati agar Aina dan Shofiyah tidak tersinggung. Aina menyerahkan headset miliknya untuk dihubungkan dengan ponsel Arif. Arif membuka aplikasi music pada ponselnya dan mengklik tanda “play”, sementara Shofiyyah mengenakan headset pada kedua telinganya sambil melirik Aina.
“Na…”
Arif memulai pembicaraan setelah ia yakin Shofiyah tidak dapat mendengar pembahasannya dengan Aina.
“Maaf jika saat ini kamu merasa tidak nyaman”
Aina menganggukkan kepalanya sambil menunduk, Arif mengambil map biru yang ia letakkan di kursi penumpang depan lalu menyodorkannya kepada Aina.
“mungkin kamu bisa membaca ini terlebih dulu.”
Aina terlihat serius membaca baris demi baris pada kertas dari map tersebut. Arif memperhatikan Aina dengan perasaan gugup luar biasa, sepertinya ia belum pernah segugup ini saat berhadapan dengan wanita.
“Itu adalah biografi saya Na, bagaimana menurutmu?” Arif menegaskan.
“Oh ternyata Pak Arif ini seorang dokter? tunggu…”
Aina memastikan rumah sakit tempat ia mengantar almarhumah Sarah.
“He..iya, saya menemukan buku kamu di kantin rumah sakit, Na.”
Aina mengangguk. “Oh iya, kenapa Pak Arif kasih biografi Bapak ke saya?”
Arif menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan.
“Aina, sebelumnya saya mohon maaf jika mungkin agak lancang, sejujurnya saya adalah orang yang tidak pandai basa-basi.”
Arif berhenti sejenak. “Apakah kamu mengizinkan saya untuk mengenal kamu lebih dekat?”
Aina mengangkat kepalanya, sekilas pandangan mereka bertemu.
“Le…lebih dekat bagaimana maksud Bapak?”
“Na, dari biografi saya yang baru saja kamu baca, kamu bisa tahu berapa usia saya, sudah tidak muda lagi. Saat ini saya sedang berusaha mencari wanita yang ingin halal bersama saya”
“Mmm…maksudnya Bapak mencari pendamping begitu?” Tanya Aina polos.
“yups betul.”
“Ta..tapi, Pak…”
“Kenapa? Saya terlalu tua ya? Bukan tipe kamu?” Arif tersenyum, tapi sejujurnya ia sedang tidak percaya diri di hadapan Aina.
“Eh… begini Pak, jujur saya belum terpikir sedikitpun dengan tujuan yang Pak Arif maksud.”
“Begini saja. Saya beri kamu waktu sampai lusa untuk jawabannya, Na. Jawaban apakah kamu bersedia berkenalan lebih dekat dengan saya atau tidak… Ini hanya berkenalan, Na. Jika nanti kamu merasa tidak cocok dengan saya kamu boleh mundur, gimana?”
“Lusa?” Aina memastikan.
“Ya, saya benar-benar tidak ada waktu untuk main-main, Na. Maaf jika saya terkesan seperti menodong kamu.”
Setelah sepakat, Arif memberikan bingkisan untuk Aina. Awalnya Aina menolak, namun Arif meyakinkan kalau ini bukan sogokkan dan tidak akan terungkit di lain waktu. Aina pun memberi isyarat kepada Shofiyah untuk mencopot headset nya dan mengakhiri pertemuan mereka.
Arif memandangi punggung Aina yang perlahan semakin jauh dari pandangannya. Ia merasa kali ini bukan karena sang Kakek yang menjadi alasannya untuk mendapatkan Aina. Lantas apakah Arif benar-benar telah jatuh cinta kepada Aina? Mampukah Arif menghadapi jawaban Aina?
Kreator : Ainuna Zulia
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Senandung Cinta Melangit (Part 7)
Sorry, comment are closed for this post.