KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Senandung Cinta Melangit (Part 9)

    Senandung Cinta Melangit (Part 9)

    BY 18 Sep 2025 Dilihat: 65 kali
    Senandung Cinta Melangit_alineaku

    PERMINTAAN KEDUA (9)

    “Assalamu’alaikum.”

    “Wa’alaikumussalam. Ya Mas, ada apa?”

    “Na, kira-kira kamu pulang kapan?”

    “Hmm… mungkin dua hari sebelum Pak Arief berkunjung ke rumah, rencananya hari ini Na mau pesan tiket kereta via online. Ada apa toh, Mas?”

    “Oh, yo wis hati-hati nanti, kalau sudah mau berangkat kabari Mas lagi, ya.”

    “Iya, Mas. Oh Iya, Mbak Nisa sudah Mas ceritakan tentang ini?”

    “Loh, ya belum toh. Kamu saja sendiri yang cerita, Mas pikir kamu sudah cerita duluan ke Mbak-mu.”

    “Hehehe, iya eh. Na lupa soalnya memang lagi sibuk banget, Mas. Banyak tugas yang Na lagi siapkan sebelum izin untuk pulang besok.”

    “Loh, kamu nggak chat sama Mbak-mu dari kapan, Na?”

    “Chat sih, Mas. Cuma aku kira Mas yang sudah cerita ke Mbak Nisa tentang ini, jadi ya obrolanku sama Mbak Nisa cuma sekedar tanya kabar dan aktivitas aja. Aduuuhhh… Na tuh gak kepikiran curhat masalah laki-laki loh, Mas.”

    “Hmmmm kalian ini berdua memang aneh. Yang penting malah lupa disampaikan.”

    “Hehehe, ya sudah setelah ini Na langsung telpon Mbak Nisa deh.”

    “Yo wis, sudah dulu ya Na. Jaga diri baik-baik, kabarin Mas kalau sudah dapat tiket.”

    “Iya Mas, oke. Assalamu’alaikum.”

    “Wa’alaikumussalam warahmatullah.”

    Aina segera menghubungi Nisa. Ia sampai geleng-geleng sendiri kenapa bisa lupa cerita ke Mbak-nya yang satu ini. Apakah saking absurdnya obrolan mereka sampai lupa untuk sekedar cerita tentang Pak Arif kepada saudara kandung perempuannya itu.

    Aina mengawali sapa. “Assalamu’alaikum, Mbak-ku yang cantiiiiikkk.”

    “Wa’alaikumussalam warahmatullah. Hmmm, muji-muji ada apa nii?”

    “Hehehe, Mbak Nisa loh su’udzon aja. Eh iya, Mbak lagi sibuk nggak?”

    “Mbak baru banget sampai rumah sakit, Nis. Ini mau sarapan dulu sebelum tukar shift. Kenapa?”

    Nisa bekerja sebagai perawat pada salah satu rumah sakit di Semarang. Sudah memasuki tahun kedua Nisa kos dan jauh dari Aziz. Sebelumnya, Nisa tinggal bersama dengan Aziz dan isteri serta anaknya di rumah peninggalan orang tua mereka di Kudus.

    “Boleh cerita nggak?”

    “Hmmm,” Nisa meng-iyakan. 

    Mula-mula Aina menceritakan awal pertemuannya dengan Arif kepada Nisa, sama persis seperti ia menceritakan kepada Aziz. Nisa sesekali terdengar meledek adik satu-satunya itu. Aina juga menceritakan kalau dalam waktu dekat Arif akan berkunjung menemui Aziz untuk berkenalan.

    “Lalu, kamu balik kapan, Na?”

    “Mungkin dua hari sebelum Pak Arif berkunjung, Mbak. Hari ini rencananya Na mau pesan tiket kereta api dulu. Mbak Nisa bisa pulang nggak?”

    “Hmm.. nanti aku kabarin ya, Na. Soalnya aku harus cari teman untuk tukar shift jaga dulu, semoga bisa. Aku kan juga mau lihat calon adik iparku, hihihi.”

    “Mbak, ini tuh kenalan doang loh, Bukan khitbah. kalau nggak cocok, ya aku cancel.”

    “Hust! Kamu nih… Memangnya jual beli, bisa di cancel?”

    “Ahahahaha. Bercanda Mbak. Tapi, serius ini cuma kenalan aja nggak ada acara apa-apa.”

    “Yo wis Na, nanti Mbak kabari ya bisa pulang atau enggak. Kamu juga kabari Mbak nanti kalau mau pulang.”

    “Oke, Mbak. Nanti Na kabari. Assalamu’alaikum. Selamat bekerja, Mbak-ku yang cantik.”

    Aina mengakhiri percakapannya dengan Nisa. Baru saja Ia ingin meletakkan ponselnya, muncul nama Arif menghubunginya.

    “Assalamu’alaikum,” Jawab Aina sedikit kaku, entahlah Arif merasa atau tidak.

    “Wa’alaikumussalam, maaf mengganggu. Mengenai pertemuan saya dengan keluarga kamu yang sudah kita sepakati waktunya, bagaimana kalau nanti kita berangkat bareng aja?”

    “Maaf, Pak Arif. Sepertinya, saya tidak bisa jika harus berangkat dengan Pak Arif, khawatir timbul fitnah. Kebetulan saya hari ini mau pesan tiket kereta untuk pulang.”

    “Kamu naik kereta? Sendirian?”

    “Iya, Pak. Intinya, nanti kita bertemu di rumah saya saja ya, Pak.”

    “Oh begitu… Baiklah, nanti tolong info saya ya kalau sudah dapat tiket keretanya.”

    Sebenarnya Aina enggan dengan permintaan Arif, tapi ia juga sungkan untuk menolak.

    “Baik, Pak.”

    “Ya sudah kalau begitu selamat melanjutkan aktivitas kembali, Assalamu’alaikum.”

    “Wa’alaikumussalam warahmatullah.”

    Aina menghela nafas, Ia kembali melanjutkan pekerjaannya merapikan kamar sebelum berangkat ke kampus. Sesekali hatinya bertanya, “Apakah menerima permintaan Arif bukan sebuah kesalahan?”

    Aina melirik jam dinding kamarnya, pukul sepuluh. Ia bergegas merapikan diri untuk berangkat ke kampus.

    Dreeet…dreeet…dreeet

    Aina mengecek ponselnya setelah selesai mengunci pintu kamarnya.

    “Assalamu’alaikum, na’am ustadzah.”

    “Wa’alaikumussalam warahmatullah. Aina sedang sibuk tidak?”

    Ustadzah Faridah merupakan menantu tertua Kyai Abdullah menyapa Aina

    “Afwan Ustadzah, kebetulan ana hari ini ada jadwal ke kampus.”

    “Hmmm… kira-kira kembali lagi ke pondok jam berapa, Na?”

    “Insya Allah sebelum Maghrib sudah sampai jika tidak terlalu macet, Ustadzah.”

    “Baik, kalau begitu nanti malam ba’da maghrib tolong datang ke rumah ndalem ya, Na.”

    Thayyib, ustadzah. Nanti izin ana kabari jika sudah sampai ya, Ustadzah.”

    “Iya, ya sudah. Kalau begitu maaf ganggu ya, Na. Assalamualaikum.”

    “Wa’alaykumussalam warahmatullah.”

    Aina memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah memastikan Ustadzah Faridah menutup ponselnya. Ia sempat bertanya-tanya ada apa gerangan, karena tumben sekali Ustadzah Faridah sampai menghubunginya lewat telepon, biasanya beliau cukup mengirim pesan singkat. 

    Aina mempercepat langkahnya menuju jalan raya utama untuk menaiki angkutan umum. Dalam perjalanan menuju kampus, isi kepalanya penuh dengan tanda tanya terutama tentang Arif. Jika nantinya Ia dan keluarga cocok dengan Arif, lalu Kak Aziz meminta Arif untuk segera mengkhitbahnya, apakah Ia siap? Secepat ini perkenalannya dengan Arif? Lalu menikah? Aina menepuk pipinya menyadarkan diri dari segala pikirannya lalu mengecek ponselnya. Ia teringat harus pesan tiket kereta untuk kepulangannya.

    “Alhamdulillah,” Lirihnya. 

    Setelah mendapatkan tiket kereta bisnis dengan kursi di sisi jendela jurusan stasiun Tawang,  Semarang. Ya, Aina sangat suka duduk di sisi jendela saat naik kereta terutama jika perjalanan di pagi hari. Menurutnya menyaksikan pemandangan dalam sebuah perjalanan ada kenikmatan tersendiri. 

    ***

    Setelah dua kali menaiki angkot, Aina sampai di kampus kebanggaannya. Sebelum menyebrang Ia memutuskan untuk membeli satu porsi batagor untuk dimakan menunggu pergantian kelas.

    “Ainaaaaa!”

    Aina menoleh ke asal suara, terlihat Rahma dan Rani berlari kecil menghampirinya.

    “Bang, mau batagor dua ya porsi ya, saus sambal dikit aja.” Rahma pun ikut memesan.

    “Eh, Pak dosen kita hari ini telat katanya.”

    “Kata siapa kamu, Ran? Pak Rasyid chat kamu?”

    “Ini, lihat. Salman info di grup kelas barusan,” Rani menunjukkan ponselnya.

    “Yaaahh, berkurang deh kenikmatan memandang wajah makhluk Allah yang tampan itu.”

    “Hus, Rahma jangan terlalu dalam, nanti kecewa,” ledek Aina disambut tawa Rani.

    “Selama Pak Rasyid masih single, doaku masih memungkinkan untuk dikabulkan, kan?”

    “Iya-in aja, Na. Teman kita yang satu ini memang kan seleranya pria dewasa, hihihi.”

    Selesai membayar batagor, mereka menyeberang karena posisi kampus mereka ada di seberang jalan. Lalu mereka menuju kelas, dan memutuskan untuk tetap menunggu dosen di dalam kelas setelah kelas sebelumnya selesai.

    Kelas terdengar cukup ramai, beberapa ada yang terlihat mempersiapkan presentasi kelompok, sekedar ngobrol, dan tentu saja aja yang menikmati makanan seperti Aina dan dua temannya.

    “Na, boleh pinjam catatan kuliah Pak Rasyid minggu lalu?” tanya Salman tiba-tiba.

    “Sebentar, aku cek dulu ya,” Aina membuka tasnya.

    “Yang materi bab waris, bukan?” Aina memastikan.

    “Nah! Iya itu. Pinjam dong, Na.”

    “Duh, Salman. Kebaca banget si pedekate-nya ke Aina, hahahaha.” Rahma melontarkan celetukannya yang tidak salah. Seisi kelas tahu kalau Salman punya perhatian lebih terhadap Aina, tapi entahlah Aina sadar atau tidak.

    “Hmmm mulai deh, Rahma.”

    “Ini bukunya, Man. Kamu mau salin sekarang kan? Atau kalau misalnya gak selesai hari ini, kamu foto aja ya. Ya mana tau kamu nggak sempat selesaikan hari ini,” Aina tidak menghiraukan celetukan Rahma.

    “Oke Na, syukron ukhti.” Salman mengacungkan jempol sebelum mengambil buku milik Aina.

    “Na, kamu itu pura-pura nggak tahu atau memang nggak tahu kalau Salman itu suka kamu?” Bisik Rahma.

    “Aku nggak tahu dan nggak perlu tahu,” Jawab Aina santai sambil kembali memasukan batagor ke dalam mulutnya.

    “Hmmm. Salman ganteng loh, Na. Kakak tingkat aja ada yang pernah nembak dia, dua orang!” Rahma berbisik sambil penuh penekanan.

    “Yo wis, Salman mungkin cocok sama kamu, Ma. Hehehe.”

    “Ah, ganteng sih, tapi bukan tipeku. Tipeku kayak Pak Rasyid, manis, beralis tebal, suaranya tegas tapi lembut.”

    “Kumat, kumat…” Rani memegang kening Rahma disusul dengan tawa Aina.

    “Assalamu’alaikum,” Dosen yang dikagumi Rahma memasuki ruang kelas. Mahasiswa segera merapikan diri dan posisi duduk.

    “Saya beri waktu sepuluh menit untuk bersiap.”

    Pak Rasyid membuka laptopnya, dibantu Salman memasangkan kabel charger dan menyalakan layar kelas. Sesekali, Pak Rasyid membuka beberapa map dan menscroll layar ponselnya. 

    Pak Rasyid memulai mata kuliah dengan mengulang kembali materi pertemuan sebelumnya. Pembawaan tenang namun tegas dari Pak Rasyid memang seolah menghipnotis mahasiswa untuk memperhatikannya. Setelah mendengarkan materi yang disampaikan, petugas kelompok makalah dipersilahkan untuk maju ke depan untuk mempresentasikan tugas bahasan mereka.

    Di akhir perkuliahan, Pak Rasyid memberikan soal mengenai perhitungan hukum waris dan yang tercepat mendapatkan hadiah. Mahasiswa antusias mengerjakannya, dan ya! Aina maju lebih dulu untuk menjawab soal yang diberikan. Aina menjawab soal perhitungan waris dengan sangat rapi dan tepat. Bukan hanya mendapat hadiah dari Pak Rasyid, sebelumnya Aina juga mendapatkan tepuk tangan dari beliau dan tentu saja diikuti sorak sorai mahasiswa di kelas tersebut. 

    Setelah melewati tiga mata kuliah, Aina menyegerakan diri untuk kembali ke pondok. Ia teringat kalau harus ke rumah Kyai Abdullah selepas shalat Magrib, Ia jadi bertanya-tanya ada apa kiranya Ustadzah Faridah memintanya ke rumah? Apa secara tidak sadar Ia telah berbuat kesalahan?

     

     

    Kreator : Ainuna Zulia

    Bagikan ke

    Comment Closed: Senandung Cinta Melangit (Part 9)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]

      Okt 21, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021