Dinginnya malam Natal merambat masuk melalui celah jendela kamar. Di luar, gemerlap lampu dan hiasan Natal tetangga seolah menari-nari mengejek. Di dalam, hanya ada keheningan yang menyesakkan, diselingi isak tangis lirih adikku yang ditahannya sekuat tenaga.
Dua hari yang lalu, tawa riuh masih memenuhi rumah ini. Mama, dengan wajah pucat namun tetap berusaha tersenyum sambil berkaraoke lagu-lagu favoritnya. Kami ikut berdendang, suara kami berpadu, mengalun merdu, diselingi gelak tawa bahagia. Kami berdoa bersama, saling menggenggam tangan, memohon keajaiban di ulang tahun Mama yang ke-62.
“Tuhan, sembuhkan Mama…” lirihku dalam hati, air mata menitik di sudut mata.
Malam Natal itu, video call dengan keluarga di luar kota menambah kehangatan. Tawa dan ucapan selamat Natal bergantian terdengar. Mama, dengan sisa tenaganya, melambaikan tangan ke arah layar handphone. Senyumnya, meski lemah, adalah hadiah Natal terindah tahun ini.
Namun, siapa sangka itu adalah senyum terakhirnya. Setidaknya, senyum itu sempat ku abadikan dalam foto keluarga terakhir bersama Mama.
Malam semakin larut. Lagu-lagu pujian dan penyembahan kepada sang Pemilik Natal terus kami dendangkan tak berkeputusan sambil bergandengan tangan. Lonceng gereja berdentang merdu menyambut pergantian tanggal dimalam Natal.
Mama mulai tak bisa bersuara, genggaman tangannya di tanganku melemah dan terasa mendingin. Ku letakkan jari-jariku di pergelangan tangannya, denyutnya melemah kemudian menghilang. Tubuhnya yang tak lagi berisi kini diam tak bergerak, bibirnya yang pucat membiru perlahan berubah kaku.
Dunia runtuh menimpaku. Air mata pun tak sanggup yang menetes. Selama menjadi dokter, saat terberat adalah mengumumkan waktu kematian pasien kepada keluarganya. Tapi, mengumumkan waktu kematian Mama adalah kalimat terberat yang keluar dari bibir ini. Tak sanggup aku terima kenyataan ini. Tak rela. Tak ikhlas.
Tiga bulan perjuangan melawan penyakit ganas terasa sia-sia. Segala daya upaya diperjuangkan, semua sumber daya dikerahkan, semua jalan telah ditempuh. Dari yang terbukti klinis sampai hanya bukti empiris. Bahkan yang diluar logika pun sudah di coba. Walau secara teori aku tahu semua itu hampir sia-sia. Harapan yang ada disana adalah harapan palsu. Namun, hati ini tetap berpegang pada harapan yang palsu itu, semoga menjadi keajaiban.
Aku bagai terhimpit di antara tanggung jawab dan kewajiban yang menggunung. Pandemi Covid-19 masih memberlakukan pembatasan publik. PSBB, PPKM, lock down dan isolasi dimana-mana. Membatasi ruang gerak banyak orang, membatasi keleluasaanku dalam berkegiatan sehari-hari, bahkan aturan di rumah sakit memberlakukan seorang penjaga saja untuk seorang pasien. Sedangkan untuk segala urusan administrasi, pengambilan obat dan beberapa hal lainnya, harus dilakukan oleh anggota keluarga. Aku bahkan tak punya waktu untuk berbincang dengan Mama di ruang rawat inapnya di RS, karena sibuk dengan hal-hal operasional itu. Acapkali Mama ku tinggalkan sendiri tanpa ada yang menemani dikamarnya. Sunyi, kesakitan dan tak ada teman bicara. Dapat kubayangkan bagaimana sakitnya perasaan Mama saat itu.
Disisi lain, adikku sudah dalam tahap akhir pendidikan profesinya, dan harus pergi ujian di luar kota. Ia pun sudah beberapa kali mengalah, belum menyelesaikan kuliahnya karena terhalang dengan kondisi Mama yang mulai menurun dari beberapa bulan sebelumnya. Namun, keadaan Mama dirahasiakan dariku yang berada jauh di pulau yang lain. Makin berat beban ini karena tidak ada yang bergantian jaga Mama di malam hari. Kedua anakku belum pernah terpisah dengan aku. Jadinya, mereka akan menungguku pulang dari rumah sakit jam berapapun itu, barulah mereka mau makan dan tidur. Aku tidak bisa 24 jam menjaga Mama. Anak-anakku yang masih kecil juga masih sangat butuh kehadiranku membersamai mereka di rumah.
Suamiku masih berada di pulau lain, dimana kami bekerja selama ini. Ia masih mengusahakan dana untuk keperluan kami semua. Untuk pengobatan Mama, biaya kuliah adik, keperluan harian anak-anak dan untuk pembayaran tagihan-tagihan lainnya. Semua beban ekonomi ada di pundaknya. Berjuang sendiri, tanpa ada aku mendampinginya.
Benar-benar ku alami dan rasakan sendiri bagaimana menjadi Sandwich Generation.
Rasanya baru kemarin Mama bersemangat merencanakan liburan Natal dan Tahun Baru di resort impiannya. Kami bahkan sudah memesan kamar, membayangkan keceriaan Mama menikmati liburan bersama cucu-cucunya. Impian itu kini sirna, bersamaan dengan kepergian Mama.
Natal tiga tahun terakhir ini menjadi ritual baru untuk keluargaku, ritual yang menyesakkan dada. Berkumpul bersama keluarga besar, bukan dalam gegap gempita kebahagiaan merayakan Natal, melainkan dalam sendu mengharu biru mengenang Mama.
Tak percaya, tak rela, tak tega, tak puas, tak terima, marah, sedih, kecewa, semuanya masih terasa begitu nyata.
“Maafkan aku, Ma. Maaf tak bisa memenuhi impian terakhirmu. Maaf aku tak tahu apa kerinduanmu yang terdalam, sehingga tak dapat ku wujudkan. Maaf tak menjadi teman bicaramu di saat-saat terakhir, karena aku berharap kita akan banyak bercerita, berbagi canda tawa dan kenangan di resort yang selalu Mama bicarakan…”
Hanya lantunan doa dan lagu-lagu Natal yang tak pernah putus kupanjatkan, mengiringi kepergian Mama. Semoga Mama beristirahat dalam kedamaian Tuhan, menanti pagi yang cerah di keabadian, di mana kelak kita semua akan berkumpul kembali. Maranatha !!!
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Senandung Natal di Ujung Genggaman
Sorry, comment are closed for this post.