Sore itu Lia menapak langkah demi langkah di jalan yang tak pernah tidur, yakni Malioboro. Entah mengapa cerita tiga dasa warsa yang silam itu tiba-tiba muncul dalam ingatannya. Di jalan itu Lia dan Nedy pernah bersama merenda hari esok. Yah, mereka berdua berangan-angan andai suatu hari nanti bisa hidup bersama di pulau seberang, tempat suku Dayak berada. Banyaknya orang yang berlalu lalang saat itu tidak membuat mereka terganggu dengan keasyikan tentang impian masa depan.
Pertukaran Pemuda antarprovinsi telah mengantarkan Lia dan Nedy pada pertemuan, perkenalan, persahabatan, hingga hampir menuju ke jenjang yang lebih serius. Rombongan pemuda dari Kalimantan Tengah datang ke Yogyakarta dan ditampung di rumah Pak Lurah yang memiliki usaha kerajinan rotan. Kebetulan rumah Lia yang juga toko kebutuhan sehari-hari itu dekat dengan rumah Pak Lurah. Para pemuda itu pun sering membeli di toko Lia, hingga mereka jadi akrab.
Suatu hari Narin, salah seorang dari para pemuda itu menemui Lia menyodorkan sepucuk surat,“Mbak Lia, ini ada surat dari Nedy.”
Di dalam kamar Lia membuka sepucuk surat itu. Selembar kertas surat berwarna biru dengan tulisan yang rapi dan indah. Salam persahabatan mengawali isi surat itu. Kata-kata terangkai dengan santun dan membuat hati bahagia. Di akhir surat itu tertulis nama lengkap, Kusnedy Domot Singam. Lia pun segera menulis surat balasan dan menitipkannya kepada Narin untuk disampaikan kepada Nedy.
Selanjutnya Nedy sering datang ke rumah untuk bersilaturahmi. Segenap keluarga juga turut menemuinya, sehingga keakraban semakin terjalin. Lama-kelamaan setiap hari dia datang menemui Lia. Ibu dan bapaknya pun lantas menanyakan perihal kedekatan mereka. Secara berterus terang Lia mengemukakan bahwa di antara mereka berdua telah tumbuh sebuah rasa yang membuat nyaman dan berbunga-bunga,
Mendengar hal itu, ibu dan bapaknya tidak melarang asalkan seagama dan menikah setelah selesai kuliah agar tanggung jawab Bapak dalam pendidikan selesai Lia tidak keberatan dengan persyaratan itu. Bahkan, dia berkeinginan menikah setelah bisa menghasilkan rezeki. Dengan harapan dia bisa membantu meringankan beban orang tua dalam membiayai sekolah tujuh orang adik-adiknya. Nedy pun mulai belajar agama yang dianut Lia.
Kenangan demi kenangan terukir dengan indahnya. Sepanjang Jalan Malioboro, rumah-rumah handai taulan yang mereka kunjungi untuk bersilaturahmi, dan setiap hari Selasa pagi selalu diantar naik sepeda motor trail ke lapangan UGM untuk berolah raga. Semua adik Lia pun bahagia dengan kehadiran Nedy. Mereka suka bercanda ria.
Setelah tiga bulan berada di Jogja,para pemuda itu pun kembali ke tempat asal. Hubungan antara Lia dan Nedy tetap berlanjut melalui surat-menyurat. Hingga pada bulan Desember, saat liburan semester, Nedy datang ke Jogja untuk melepas rindu. Pada saat itulah Nedy menginginkan segera menikah.
“Lia, aku ingin kita segera menikah, bulan ini juga,” kata Nedy yang mengejutkan Lia. Betapa tidak, Lia belum selesai kuliah, padahal sesuai perjanjian dengan bapaknya, harus selesai kuliah dulu baru menikah. Lia pun terdiam seribu bahasa.
Lia ingat betul bagaimana upayanya meyakinkan seluruh keluarga yang pada awalnya tidak menyetujui hubungan itu, hingga pada akhirnya semua merestui. Lalu, dengan seenaknya Nedy bilang seperti itu.
“Bagaimana, kok diam?” Pertanyaan Nedy membubarkan lamunan Lia.
“Kalau kamu tidak mau menikah sekarang, kita putus. Anggaplah seperti hubungan persaudaraan saja.”
Betapa kagetnya Lia saat itu. Ternyata Nedy serius dengan kata-katanya. Pikiran dan perasaan Lia bercampur aduk. Terkejut, marah, kecewa, dan bingung harus berbuat apa. Setelah didesak oleh Nedy, Lia pun menjawab.
“Ya, sudahlah. Kalau itu memang maumu. Aku sudah berupaya sekuat tenaga untuk meyakinkan keluargaku hingga mereka semua merestui. Selain itu, sebagai tanda keseriusanku aku sudah menanyakan ke kampus, apakah setelah lulus nanti aku boleh meminta ditempatkan di Kalimantan. Ternyata kalau mau di luar Jawa justru sangat mudah. Sangat boleh, bahkan dianjurkan karena pada saat itu SMP di luar Jawa masih sangat membutuhkan guru. Namun, dengan seenakmu sendiri memutuskan hubungan ini.” Air mata Lia pun tak terasa menetes di pipinya. Hancur sudah hubungan yang selama ini mereka bangun.
Walaupun luka di hatinya begitu menyayat, dalam hati Lia juga bersyukur. “Alhamdulillah, ya Allah. Engkau tunjukkan sekarang betapa keras dan egoisnya Nedy, sebelum sampai ke jenjang pernikahan. Apa jadinya bila hal ini terjadi setelah aku menetap di Kalimantan. Sementara aku di sana tidak punya sanak saudara sama sekali.”
Lia jadi teringat kata-kata kakeknya pada saat Lia memperkenalkan Nedy. “Lia, hati-hati, lho, dengan pemuda itu. Memang dia tampan dan menawan. Walaupun kelihatannya dia sayang dan sabar, tetapi ada watak kerasnya.”
Ternyata apa yang dikatakan kakeknya betul. Beliau menyimpulkan karakter Nedy setelah memperhatikan alis di wajah Nedy sangat tebal dan tampak kaku. Kini semua telah terjadi. Lia mulai belajar menata hati untuk tidak lagi berharap kepada Nedy. Segenap keluarga tahu tentang berakhirnya hubungan asmara antara Lia dan Nedy. Namun, mereka semua tidak kecewa, bahkan bersyukur seperti yang Lia rasakan. Beruntung belum telanjur.
Liburan semester usai. Lia mulai masuk kuliah seperti biasa. Kadang-kadang dia berangkat naik sepeda motor, tidak jarang pula dia naik bus kota. Hari itu usai sholat dhuhur dia naik colt dari depan rumah, Jalan Wonosari km 8, turun di perempatan Rejowinangun. Kemudian naik bus kota menuju kampus IKIP Negeri yang kini berganti nama UNY.
Sebagai perpisahan, Nedy hari itu ingin menemani Lia naik bus kota sepulang dari kampus. Benar juga, saat bus melewati Jalan Solo, Nedy sudah menunggu. Kebetulan bangku di sebelah Lia kosong, sehingga mereka berdua bisa berdampingan.
Lia memandang wajah Nedy dengan tatapan dingin tanpa senyum sama sekali. Yah, untuk terakhir kalinya mereka bertemu sebelum Nedy kembali ke Palangkaraya. Nedy memegang erat tangan Lia, seolah tidak mau berpisah.
“Lia, maafkan aku. Aku menyesal dengan keputusanku kemarin. Aku ingin kita kembali lagi seperti dulu,”ungkapan penyesalan Nedy kepada Lia. Saat itu bus kota melaju dengan pelan sambil mencari tambahan penumpang.
Lia tak bisa berkata-kata. Bibirnya tertutup rapat. Sepanjang perjalanan Nedy merayu dan mengiba agar Lia mau menerimanya kembali, tetapi Lia tetap bergeming. Mungkin buat Lia tidak masalah untuk memaafkannya. Namun, bagaimana dengan keluarga besarnya? Lia tidak rela keluarga besarnya dipermainkan.
Sebelum turun dari bus, sempat terucap kata-kata dari Lia,“Sudahlah, cermin yang sudah pecah tidak mungkin bisa kembali utuh lagi. Seperti yang telah kauucapkan kemarin, kita berhubungan seperti layaknya saudara saja.”
Tampak tergambar dengan jelas di wajah Nedy, penyesalan yang tak mungkin bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Semua telah terucap dan terjadi. Nasi telah menjadi bubur.
“Rejowinangun, … Rejowinangun, … “ teriak sang kernet.
Lia pun bergegas turun di perempatan Rejowinangun yang merupakan perbatasan kota dengan diikuti pandangan Nedy yang seolah tak mau lepas. Lia melanjutkan pulang ke rumahnya, Sekarsuli, Jalan Wonosari Km 8, sedangkan Nedy melanjutkan perjalanan pulang ke Palangkaraya.
Senja di batas kota itu menjadi saksi perpisahan antara Lia dan Nedy. Sesampai di rumah Lia masuk kamar, lalu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tangisnya pecah. Air matanya membanjiri bantal di pelukannya. Dia tak menyangka harus mengalami peristiwa yang sangat menyesakkan dada itu.
Comment Closed: Senja di Batas Kota
Sorry, comment are closed for this post.