KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Senja Di Langit Maroko Part 2

    Senja Di Langit Maroko Part 2

    BY 07 Agu 2025 Dilihat: 1 kali
    Senja Di Langit Maroko_alineaku

    Cinta itu tidak buta. Cinta selalu menuntunmu pada kebaikan, juga kebahagiaan. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, mungkin ada yang salah dari pemahaman cinta itu sendiri. 

    Lihatlah kisah Yusuf as. dan Imroah Aziz Mesir, dua orang yang memahami cinta dengan sisi berbeda. Ketika Nabiyullah memilih penjara lebih baik untuknya daripada nikmat dunia yang berujung dosa bernama zina, sebaliknya Imroah Aziz memaknainya dengan nafsu manusia dan berlindung atas nama cinta.

    “Arunika, Abang mencintaimu. Kelak di surga, Abang hanya ingin denganmu!”

    “Bagaimana dengan bidadari bermata jeli?” Tanyaku manja.

    Bibirnya tersenyum, matanya menatap hangat sepenuh cinta.

    “Kau satu satunya!”

     

    Muhammad Amir, lelaki yang telah sepuluh tahun hidup bersamaku dalam bingkai pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Bersama, kami memupuk cinta dengan tujuan surga. Kini, ia telah pergi menepati janjinya kepada Sang Khaliq — janji yang telah ia sepakati dengan Rabb-nya. Dan aku? Apa yang bisa kulakukan selain menerima, dan mencoba memahami hakikat seorang hamba: bahwa setiap yang bernyawa, pada akhirnya, akan menuju ke sana — kepada kematian.

    Suara ponselku memecah sunyi, aku yang dari tadi mencoba larut dengan kalam ilahi memilih untuk tidak peduli. Beberapa ayat lagi juga selesai.

    “Assalamu’alaikum, labas alaik!”

    Keningku mengerut, aku mencoba mencari tahu siapa yang mengirimkan pesan berbahasa asing itu. Yah, bukan yang pertama, sejak mengikuti grup manca negara dengan tujuan pelatihan kemahiran berbahasaku yang tidak seberapa ini, beberapa kali aku aku dapat pesan pribadi  dari orang yang berbeda-beda, mereka adalah para muslimah.

    “Ana Kholid, Min Darulbaidha (Casablanca) Magrib!”

    [Hmmmmm, namanya ternyata Kholid]

    Aku tidak menemukan petunjuk apapun dari foto profilnya, karena dia hanya memasang seekor singa yang duduk dengan tenang di bawah pohon yang tidak rindang, dan sebagian bulunya terbang ditiup angin, mungkin gambar itu adalah salah satu adegan film The King Lion, kalau tidak salah.

    “Man ismuki wa min aina anti?”

    Seakan ia tak sabar menunggu jawabanku, pesan ini kali ketiga ia kirimkan. Dia lelaki pertama yang berani menyapaku.

    Aku masih butuh waktu karena aku tidak tau cara membalasnya, labas alaiki bukan bahasa arab yang pernah aku pelajari.

    Bismillah, Bathinku.

    “Waalaikumsalam, bagaimana caraku membalas labas alaik? Aku tidak mengerti apa artinya, dan baru kali pertama aku mendengarnya!” Tulisku dengan berbahasa arab.

    “Hahahaha. Jawab dengan labas alaik. Ini adalah sapaan di Maroko, sama dengan kaifa haluk jika dengan Arab Fusha!”

    Bibirku tersenyum, sebab aku suka dengan hal-hal baru, ilmu baru, kebudayaan baru, dan perbedaan, karena aku bisa belajar dan tahu banyak hal. 

    Kuambil buku kecil milikku, bahasa-bahasa baru, pengetahuan baru dari mereka teman baruku akan kusalin agar aku tidak lupa. 

    “Alhamdulillah, labas alaik, Ana Arunika, min Indonesia!”

    Aku mencoba memperkenalkan nama dan negara asalku, seperti yang ia lakukan lebih dahulu, walau aku tidak memintanya.

    “كيفك؟”

    Apalagi ini? Aku bingung membacanya, apalagi mengartikannya, batinku kebingungan.

    “Apakah yang kau tulis itu? Aku tidak bicara bahasa Maroko. Aku bicara dengan arab fusha!” Balasku.

    “Hahaha, aku minta maaf, maksudnya adalah kaifa haluk juga!”

    Kembali aku tersenyum. Bukan karena dia, tapi karena aku mendapat ilmu baru. 

    Bahasa Arab itu ada dua, Fusha dan ‘Ammiyah. Fusha itu Bahasa Arab resmi sesuai tatanan kaidah nahwu dan shorof. Jika kau memakai Fusha ini, maka semua orang Arab insya Allah akan mengerti, dari negara manapun dia. Tapi, ‘Ammiyah adalah bahasa sehari-hari, terkadang malah jauh sekali dari kaidah Arab itu sendiri, dan setiap bagian negara Arab punya ‘ammiyah berbeda-beda. Bahasa ‘ammiyah inilah yang mereka gunakan ketika berbicara sehari-hari.

     

    Alhamdulillah aku baik!”

    “Siapa yang ada di foto profilmu?”

    “Maksudmu, lelaki yang bersamaku?”

    “Iya.”

    “Dia adalah suamiku rahimahullah!”

    Rahimahullah??” Seakan dia ingin memperjelas bahasaku. 

    “Ya, Rahimahullah!”

    Serangkai doa ia kirimkan pada suamiku, Bang Amir, lelaki bermata indah yang pergi meninggalkan duka di hatiku.

    *

    Sejak hari itu, kami bertukar informasi seputar Indonesia dan Maroko, sama dengan teman-teman lainnya, tapi dengan Kholid sedikit berbeda, karena dia laki-laki, jadi aku lebih membatasi diri pun dia begitu.

    Ku rebahkan tubuhku yang turun beberapa kilo, menjadi sendiri itu tidak enak, selain sepi, ada kebiasaan kebiasaan yang membuat hati berduka kembali. Semua kenangan tentang Bang Amir masih tersimpan indah di memoriku, bahkan jika kenangan itu muncul, maka tidak heran aku memilih untuk sendiri, berdamai dengan hati, mencoba menerima ketetapan Ilahi.

    “Apa?? Dia menanyakanmu apakah kau ingin menikah lagi?”

    Aku mengangguk, kutatap wanita gemuk itu serius, dia adalah adikku sekaligus teman curhat merangkap menjadi penasehatku.

    “Jangan-jangan….”

    Aku memasang muka tidak suka, mataku yang panjang menatapnya sinis, wajahnya mulai menggodaku.

    “Apa?!” Suaraku ketus.

    “Dia mulai suka denganmu, fix!”

    Aku terdiam, pembahasan ini mulai membuatku tidak nyaman. Mungkin bagi sebagian akan berpikir ayolah, kamu masih muda, tapi aku yang paling tau seberapa dalam luka itu, aku yang paling tau seberapa berantakannya hati itu, setelah kepergian separuh agamaku, maka cinta sudah tak berwarna.

    “Kak! Kau sudah cek Facebook-nya!”

    “Belum, cuma konfirmasi saja waktu dia add aku!”

    “Coba cek, ada gak fotonya? Ganteng gak?”

    “Jangan ngaco kamu!”

    “Mana tau jodoh!” Terdengar tawa darinya, seketika membuatku kesal dan memilih meninggalkannya dari ruang tamu rumahku.

    “Tidak ada yang bisa menggantikan Bang Amir di hati kami, apalagi hatimu!”

    Langkahku terhenti di daun pintu kamar, kalimat itu belum pernah ia katakan sebelumnya, kalimat yang membuat tubuhku seketika kaku jantungku berdebar tak beraturan. Selama ini aku merasa tidak satupun yang memahami sakitnya ditinggalkan suami, bagiku pernikahan tidak lagi sesuatu yang kudambakan.

    “Cinta kalian itu indah, dia memperlakukanmu bak tuan puteri, dan kau juga begitu menghormatinya, kalian pasangan yang membuat teman-temanku merasa cemburu!”

    Aku masih berdiri, membelakanginya, kubiarkan ia bercerita apa saja yang ingin ia sampaikan.

    “Teman-temanku pernah bilang kalau bang Amir itu romantis, mereka melihat bang Amir memasangkan helm ke kepalamu, mirip oppa oppa Korea, mereka juga bilang pernah liat bang Amir menghapus keringat di bawah matamu, dan tiba tiba mencubit hidungmu, dikeramaian,  dia masih mencandaimu!”

    Netraku basah, tapi kubendung agar tidak tumpah, kenangan itu menyeruak kembali, menambah perih luka yang ingin ku obati. Aku mencoba mengatur sedih yang mulai menguasaiku.

    “Tapi, sampai kapan kau begini, menutup diri, kau tidak bisa terus berbohong dan memaksakan diri bahwa kau kuat, karena kau tidak sekuat itu!”

    Aku terduduk, kakiku mulai lemah, bersandar di dinding coklat muda rumahku.

    “Aku hanya ingin setia!”

    “Kak! Jika kau menikah lagi, bukan berarti kau tidak setia, kecuali Abang masih hidup, itu beda cerita!!”

    Suaranya sedikit mengeras, pembahasan ini bukan kali pertama.

    “Lelaki yang berpoligami saja tidak bisa dibilang tidak setia, padahal semua isterinya hidup, apalagi yang sudah wafat, ah rasanya tak pantas aku membahas agama kepada Ustdzah sepertimu!”

    “Tapi aku tidak bisa!”

    “Bukan tidak bisa, kau hanya tidak ingin mencoba!”

    Sesaat hening, mendung diluar sana membuatku semakin takut, takut dengan semuanya, pernikahan, hujan yang deras, dan…

    “Jika kau mencintai Abang, maka buatlah dia tenang!”

    “Maksudmu?”

    “Aku merasa dia ingin kau juga menikah, minimal ada yang menjagamu, kau tidak bisa sendiri begini saja, jangankan dia, Bapak saja selalu menanyakan aku bagaimana kabarmu, apakah kau makan dengan baik, aku malah disuruh selalu menjagamu, padahal aku adikmu, bukan baby sister-mu!”

    Aku terdiam, ku akui, sejak kepergian suamiku, dia yang menjagaku, protektif sekali, padahal sebagai seorang guru, dia juga punya kesibukan. Aku tidak tau bagaimana ia meluangkan waktunya padaku hingga dia selalu ada saat aku ingin bercerita

    “Kau suka semua orang mengkhawatirkanmu? Minimal jika kau menikah, Bapak Emak tenang, karena kau diperantauan, dan kau sudah biasa dengan Abang, yah, setidaknya juga kau mengurangi beban hidupku!”

    Aku tersenyum kecut, bagaimana mungkin wanita yang lebih muda dariku tiga tahun bicara begitu, tidak sopan.

    Suara ponselku berbunyi, 

    “Siapa?”

    “Dia mengirim foto!” Jawabku.

    “Coba liat!” 

    “Jangan, tidak usah di download, biar saja!”

    Seketika wanita yang juga mirip denganku itu mengambil ponselku paksa. Kubiarkan saja.

    “Masya Allah!”

    Entah kenapa aku deg-degan mendengar ucapannya. Aku memilih untuk menahan diri tidak melihatnya.

    “Ya Allah, Kak…coba liat!” Salsabila, begitu namanya diberi oleh Kakekku.

    Aku melihatnya sekilas, ketika ponsel itu disodorkan tepat di hadapanku.

    “Eh ada pesan darinya nih, aku tidak mengerti!”

    Ku ambil ponselku, dan kulihat fotonya untuk kedua kalinya, tepatnya beberapa foto yang baru saja ia kirimkan. Entah kenapa aku malu. Malu yang tidak bisa kuungkapkan bagaimana detailnya.

    “Ini fotoku, usiaku 35 tahun dan aku lajang!”

    Ya Allah, inikah fitnah janda, tolong jaga aku! Bathinku.

    “Ukhti…untuk kedua kalinya, Ibuku ingin berbicara denganmu, aku berjanji tidak akan muncul dan tidak akan melihat video, dia ingin mengenalmu!” Lanjutnya.

    Kesal, bingung, sedih, kacau, entahlah semua jadi satu.

    “Anggap saja saudara seiman yang ingin mengenalmu, aku sangat mencintai ibuku, arjuki….arjuki ukhti!”

    “Ya Allah…..!” Bathinku. Arjuki artinya aku mohon.

    Siapa aku hingga dia harus memohon.

    “Aku akan memakai jilbab dulu.”

    Ketika kau mengambil sebuah keputusan, maka semua risiko kau harus memikulnya, dan, wanita yang sudah tidak muda itu seperti setetes embun masuk ke dalam hatiku, sejuk sekali.

    Matanya yang indah khas wanita Arab, hidungnya mancung, wajahnya teduh, bulu mata, alisnya juga tebal. Mirip dengannya. Yah sekilas lelaki dari negara matahari tenggelam itu mirip ibunya.

    “Apa kata Ibunya kak? Kok lama kali kalian bercerita.”

    “Dia anak satu satunya, dan dia sepertiku!”

    Kau tau abstrak? Begitulah yang kurasakan. Susah dijabarkan.

    “Apa????? Bukannya dia lajang?? Sepertimu apanya? Sifat, status, atau apa? Yang jelaslah!”

    Aku bergeming, mencoba memahami setiap perjalanan hidupku, aku tau Tuhan punya alasan kenapa aku harus mengenalnya, bicara dengan Ibunya, dan mulai merasakan sesuatu yang tak biasa, di bagian hati yang masih terluka. Aku tidak bisa mengatakan itu cinta, karena masih terlalu belia.

    “Sudah lima tahun dia tidak mengenalkan wanita padaku!”

    Aku hanya menatapnya dari kamera.

    “Kau yang kedua dalam hidupnya!”

    Yang kedua? Bathinku

     

     

    Kreator : Murni Harsyi Passya

    Bagikan ke

    Comment Closed: Senja Di Langit Maroko Part 2

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021