“Ukhti, untuk kedua kalinya, Ibuku ingin berbicara denganmu, aku berjanji tidak akan muncul di layar video, dia ingin mengenalmu!” Lanjutnya.
Kesal, bingung, sedih, kacau, entahlah semua jadi satu, tapi disisi berbeda mungkin karena itu permintaan ibunya oleh sebab terkesan memaksa.
“Anggap saja saudara seiman yang ingin mengenalmu, aku sangat mencintai ibuku, arjuki, arjuki ukhti!”
“Ya Allah!” Bathinku. Arjuki adalah kalimat permohonan.
Siapa aku hingga dia harus memohon.
“Aku akan memakai jilbab dulu.”
Ketika kau mengambil sebuah keputusan, maka semua resiko kau harus memikulnya. Begitulah prinsip hidup yang sudah lama aku pegang.
Wanita yang sudah tidak muda itu seperti setetes embun masuk ke dalam hatiku, sejuk sekali. Matanya yang indah khas wanita arab, hidungnya mancung, wajahnya teduh, bulu mata, alisnya juga tebal. Mirip dengannya. Yah sekilas lelaki dari Negara matahari tenggelam itu mirip ibunya.
*
“Apa kata Ibunya Kak, kok lama kali kalian bercerita!”
“Dia anak satu satunya, dan dia sepertiku!”
Abstrak. Begitulah perasaanku setelah bercerita panjang dengan ibunya. Susah aku jelaskan tepatnya
bagaimana.
“Apa????? Bukannya dia lajang?? Sepertimu apanya? Sifat, status, atau apa? Yang jelaslah!”
Adikku seakan tak sabar menunggu kejelasan dari ceritaku.
Aku bergeming, mencoba memahami setiap perjalanan hidupku, aku tau Tuhan punya alasan kenapa aku harus mengenalnya, bicara dengan Ibunya, dan mulai merasakan sesuatu yang tak biasa, dibagian hati yang masih terluka. Aku tidak bisa mengatakan itu cinta, karena masih terlalu belia.
“Sudah 5 tahun dia tidak mengenalkan wanita padaku!” Suara itu merdu, dengan wajah yang teduh, senyumnya manis sekali.
Aku hanya menatapnya dari kamera.
“Kau yang kedua dalam hidupnya!”
[Yang kedua?”] Bathinku.
Daun yang gugur tidak akan pernah membenci angin, begitu salah satu judul buku Tere liye yang aku suka. Apapun yang terjadi di dalam hidupmu, semuanya baik. Jika itu musibah, maka bersabar, itulah yang terbaik, jika itu nikmat maka bersyukurlah, itu pulak yang terbaik, dan kedua hal ini hanya ada pada diri seorang Mukmin. Begitulah kata Rasulullah saw.
“Apakah namamu Arunika?”
“Na’am ya Ummi!”
Jantungku masih berdetak tidak karuan, walau hanya bersitatap dari kamera, tapi rasanya sungguh mendebarkan.
“Nama yang asing untuk kami di Maroko, tapi indah!”
Beberapa kali aku memperbaiki ujung jilbabku, padahal tidak ada angin, mungkin ini gerakan spontan untuk menghilangkan grogi.
“Semoga Allah swt memberkahimu, puteriku, dan mempermudah urusanmu!”
“Syukron Ummi, wa barakallahu fiiki!”
“Beberapa hari yang lalu Kholid menunjukkan fotomu padaku, dengan suamimu rahimahullah!”
Aku mulai mengontrol diri dan fokus pada apa yang ingin ia bicarakan, karena alasan pertama wanita bertubuh gemuk itu hanya penasaran kenapa aku bisa berbahasa arab, dan tema ini lari dari ekspektasiku.
“Ketika dia menceritakan tentangmu, aku melihat wajahnya ceria sekali. Sudah lama aku tidak melihatnya begitu, dan setiap hari, dia selalu membicarakanmu padaku!”
“Ya Allah, kok bisa segitu kali. Padahal, kita berdua hanya bercerita tema biasa saja.” Bathinku.
“Dulu dia pernah bertunangan dengan teman kuliahnya ketika sama sama mengambil program master!”
“Mmmmm iya Bu, saya mendengarkan!”
“Masya Allah, kau beradab sekali, aku senang mendengarmu mengatakan itu!” Pujinya.
Aku tersenyum sekaligus heran, baru pertama kali bertemu dan bicara dari kamera, kenapa wanita berkulit putih itu langsung bercerita kehidupan pribadi anaknya. Bertolak belakang sekali dengan informasi yang aku ketahui bahwa karakter orang Maroko itu tertutup, kecuali dengan keluarga inti dan orang terdekat mereka saja. Sedangkan aku bukan siapa-siapa.
“Namanya Fatima, mereka bertunangan, dan selesai Master, Kholid harus pindah tugas ke Perancis. Jadi, Ibu tidak tahu bagaimana tiba-tiba Fatima sakit dan divonis kanker kolon stadium 4!”
Deg, jantungku seakan berhenti berdetak, beberapa kali aku paksa untuk menelan ludah, tapi kering, tanganku berkeringat, suhu tubuhku panas tapi telapak kakiku dingin. Sama persis dengan almarhum suamiku, yang tiba-tiba sakit dan divonis kanker hati terminal stage. Mataku berkaca-kaca.
“Beberapa kali Kholid menyempatkan diri menemaninya chemotherapy, dia cuti bekerja, hanya saja usia Fatima tidak panjang, gadis malang itu meninggal saat Kholid pergi menunaikan Umroh, dia ingin berdoa langsung dihadapan Ka’bah agar Fatima di berikan kesembuhan.”
Air mataku tumpah, ku hembuskan napas perlahan, aku mencoba menahannya tapi tidak bisa, aku kalah, kali ini netraku basah dan aku terisak, cinta yang sangat dalam, seperti aku yang masih saja berharap hidup ini adalah mimpi, aku masih berharap bahwa esok pagi, Bang Amir akan mencium keningku dan mengatakan [selamat pagi ayank.]
Seperti yang dilakukannya semasa hidupnya.
“Maafkan aku Ibu!” Suaraku lirih.
“Tidak apa-apa, jangan bebani dirimu. Kholid sudah menceritakan tentang suamimu. Dan Ibu turut berduka sekaligus merasakan betapa beratnya ujianmu, tapi Allah swt akan memberikanmu hadiah yang jauh lebih indah.”
“Ya Rabb!”. Jawabku mengaminkan doanya.
” Dia juga bercerita kalau kau adalah seseorang yang suka dan pintar menulis!”
Aku tersenyum, sungguh tak disangka kalau Khalid secepat itu menstalking facebokku.
“Aku baru belajar Bu!” Jawabku malu.
“Semoga Allah swt memberimu kemudahan sayangku!”
Kembali aku tersenyum, dan mengaminkan doanya.
“Sejak kepergian Fatima, Kholid sangat terpukul, dan sejak itu dia tidak pernah lagi membicarakan wanita, apalagi pernikahan.”
“Pantaslah, dia selalu memberikanku nasehat berupa ayat-ayat Alqur’an!” Bathinku.
(لن يصيبنا الا ما كتب الله لنا هو مولانا)
Tidaklah sesuatu menimpa kami melainkan sudah Allah swt setujui itu terjadi. Begitulah maksud ayatnya. Ayat inilah yang membuatku kuat walau badai meluluh lantakkan kapalku ditengah lautan luas. Dan lelaki itu juga mungkin hanya ingin menguatkan dirinya sendiri. Sebab memberikan nasehat pada orang lain adalah nasehat untuk diri sendiri juga.
“Dia hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Setelah itu dia dipindahkan lagi ke Maroko.”
Aku hanya tersenyum,
“Apakah dia merasakan sakitnya kehilangan? Apakah karena itu dia ingin menikahiku? Tidak, aku tidak ingin dia kasihan padaku.” Aku mulai bertengkar dengan pikiranku.
“Kau yang kedua, oleh sebab itu Ibu ingin sekali berbicara denganmu. Wajahmu terpancar keimanan!”
“Terima kasih Ibu, semoga Allah swt mengokohkan iman kita semua, aku senang mengenalmu!”
“Laa syukron ‘alal wajib ya Anakku, kau wanita yang sangat berakhlak, caramu menjawabku, wajahmu, pantas saja Kholid merasa dia menemukan apa yang dia cari!”
Aku kaget,
“Maksudnya, Bu? Aku tidak paham dengan kalimatmu.”
“Dia menyukai gadis sepertimu, agamis, pakaiannya syar’i dan aku juga menyukaimu.” Terdengar tawa khasnya.
“Ya Rabb…apakah lelaki itu sudah mengatakan pada orangtuanya dia ingin menikahiku?” Bathinku.
“Apakah Kholid sudah menceritakan semua ini?
“Belum Bu!”
“Oh, Ibu pikir sudah, tidak apa apa, insya Allah jika waktunya tepat dia akan menceritakannya padamu!”
“Emangnya Kholid kemana Bu?”
“Setelah kau mengangkat videonya, dia masuk ke kamarnya!”
Aku tersenyum, ternyata dia menepati janjinya, dia tidak akan melihatku di video, dan juga tidak akan terlibat di dalam pembicaraan.
“Apakah kau sudah melihatnya dari video?” Tanya wanita itu lagi.
Aku tertawa dan menggelengkan kepala.
“Kau harus melakukannya, dia lelaki yang sangat tampan seperti ayahnya!” Suaranya terdengar bahagia, lesung pipinya memikat sekali.
Aku tertawa, dan menolaknya.
“Kholid!!!! Ya Kholid! Kau harus melakukannya sayang, agar kau lihat betapa tampannya anakku!”
Teriaknya dan aku tidak mengerti lagi bahasanya, karena sehari-hari mereka menggunakan bahasa darijah, bahasa negara Maroko.
“Eh,!” Aku langsung memutar kamera agar aku tidak kelihatan, karena tiba-tiba saja wajah lelaki itu jelas sekali didepanku.
“Assalamu’alaikum!” Ucap Kholid.
Terdengar tawa dari Ibunya sambil mengatakan kembali kalimat yang aku tidak paham, dan Lelaki itu pun menjawabnya.
Sepertinya mereka bercanda.
“Assalamu’alaikum!” Suara itu tegas tapi lembut.
Entah kenapa aku deg-dengan sekali, aku bisa melihatnya tapi dia tidak bisa melihatku. Jangankan menjawab salamnya, menatap wajahnya pun aku malu.
“Assalamu’alaikum!” Untuk ketiga kalinya, dan ada tawa setelahnya, tawanya pelan dan beberapa ketukan.
“Wa’alaikum salam warahmatullah!” Jawabku…
Bukankah tawa tak selalu tentang bahagia? Jika debaran itu hadir di hatimu, bukan berarti duka itu pergi dan cinta itu berwarna kembali.
Kreator : Murni Harsyi Passya
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Senja Di Langit Maroko Part 3
Sorry, comment are closed for this post.