Rintik hujan membasahi dedaunan dan memercik ke jendela kamar, seakan ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti hati Maya. Ia duduk di tepi tempat tidur sembari menatap foto kenangan Bersama Arga, kekasihnya. Senyum manis Arga dalam foto itu masih terasa hangat di hati Maya. Namun, kenyataan pahit telah merenggut sosok orang yang dicintainya itu. Arga meninggal dunia karena Covid-19, demikian diagnosa dari pihak rumah sakit.
Saat itu, rumah sakit sedang kewalahan menangani pasien Covid-19. Membludaknya pasien dengan kasus C-19 yang terus menerus datang membuat pihak rumah sakit seakan tak sanggup untuk menangani pasien secara intensif satu per satu, karena keterbatasan tenaga medis yang tidak sebanding dengan pasien yang harus ditangani. Bahkan ruangan sudah penuh tidak mencukupi untuk semua pasien yang sakit. Hal ini terlihat dari banyaknya pasien yang berjejer di setiap sudut jalan-jalan di rumah sakit. Keadaan ini tentu sangat miris sekali. Tapi, begitulah gambarannya saat itu. Seolah telah menjadi hal umum dan tak bisa dipungkiri oleh siapapun. Pandemi Covid-19 tengah melanda dunia.
Adalah Arga, kekasih Maya, salah satu pasien yang dinyatakan terpapar Virus C-19, harus dirawat dan menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Karena keadaan darurat Pandemi Covid-19, pemerintah menerapkan Social Distancing yaitu tindakan menjaga jarak fisik untuk mengurangi kontak langsung antara orang-orang guna mencegah penularan penyakit Covid-19 dan melarang interaksi secara bebas bagi semua orang seperti mengurangi kerumunan, saling bertatap muka atau sekedar berjabat tangan. Adapun tujuan diberlakukannya social distancing ini adalah untuk mengurangi, memperlambat dan menghentikan laju penyebaran penyakit Covid-19 saat itu.
Maya hanya bisa menemani Arga dari jarak jauh yaitu melalui panggilan telepon atau Video Call dari rumah. Maya dapat melihat keadaan Arga terbaring lemah di tempat tidur, menatap wajah Arga dan berkomunikasi dengan jelas melalui ponsel.
“Aku janji akan selalu ada untukmu Arga,” bisik Maya.
Air mata Maya pun mengalir deras. Karena hanya itu yang mampu ia lakukan untuk menghibur dan menguatkan kekasihnya pada saat itu.
Sejak kepergian Arga, hidup Maya terasa hampa. Setiap sudut rumah seakan mengingatkan kenangan saat Arga datang berkunjung ke rumahnya, jauh sebelum masa pandemi. Buku-buku yang mereka baca bersama, film favorit mereka dan lagu-lagu kenangan yang sering mereka dengar bersama. Semua kenangan itu begitu indah untuk dikenang, tetapi juga sangat menyakitkan. Sesekali bayangan Arga melintas dalam tidur dan menemani mimpi-mimpi Maya. Namun saat terbangun, ia hanya menemukan bantal yang sudah basah karena air matanya. Maya berusaha kuat untuk tetap menjalani kehidupan ini meskipun tanpa Arga. Kehidupan harus tetap berjalan dan melangkah meskipun harus tertatih-tatih.
Suatu senja, Maya pergi ke taman tempat mereka biasa berkencan. Ia duduk di bangku yang sama seperti dulu, sambil menatap langit yang mendung.
“Arga … Aku sangat merindukanmu,” ucap Maya lirih.
Tiba-tiba Maya melihat beberapa anak kecil berlarian sambil tertawa mengejar layang-layang. Layang-layang itu terbang jauh tinggi ke langit, seolah membawa harapan dan impian. Maya tersenyum kecil. Teringat, Arga pernah berjanji akan membelikan layang-layang untuknya.
“Terima kasih, Arga. Kau telah mengajari aku akan arti Cinta Sejati,” gumam Maya sambil menyeka air yang menetes di sudut matanya.
Maya sadar, dirinya tak mungkin terus-menerus berlarut dalam kekalutan dan kesedihan ini. Ia berjanji dengan dirinya sendiri untuk menyimpan semua kenangan indah bersama Arga di dalam hatinya yang paling dalam. Ia harus bangkit untuk melanjutkan hidup. Menutup lembaran kisah yang pilu penuh air mata dengan membuka lembaran baru dan mengisinya dengan cerita kehidupan penuh warna-warni yang indah.
Kreator : Aliyah Manaf
Comment Closed: Senja Tanpa Cahaya
Sorry, comment are closed for this post.