Di suatu malam yang dingin, ketika angin lembut membelai rambutku, aku teringat percakapan yang pernah terjadi di sebuah kafe kecil yang hampir tak pernah sepi dari pengunjung. Kafe itu terletak di ujung jalan yang jarang dilewati orang. Saat itu, aku duduk sendirian, menyesap kopi yang aromanya mengingatkanku pada masa lalu, ketika seorang pria berusia tiga puluhan masuk dan tanpa banyak bicara, langsung duduk di hadapanku. Dia terlihat lelah, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang menandakan dia ingin berbicara, mungkin mencari sebuah jawaban yang tak pernah ia temukan.
“Apakah menurutmu sensasi atau prestasi lebih penting?” tanyanya tiba-tiba, seakan tak ada pengantar yang diperlukan. Aku mengangkat alis, terkejut dengan kejujuran dan ketidakpastian yang tercermin dalam suaranya.
“Kenapa kau bertanya?” balasku, mencoba mengukur arah percakapan yang akan diambilnya.
Dia tersenyum tipis, seperti seseorang yang telah berpikir keras tentang suatu hal dan akhirnya memutuskan untuk menyerahkannya pada orang lain. “Aku selalu merasa bahwa dunia ini semakin gila dengan sensasi. Orang-orang menghabiskan waktu mereka mengejar sensasi, bukan prestasi. Mereka menginginkan perhatian, tapi tanpa usaha untuk mencapainya melalui sesuatu yang nyata.”
Aku menatapnya dengan saksama, mencoba memahami beban pikiran yang ia bawa. “Sensasi memang memiliki daya tariknya sendiri,” kataku, menimbang-nimbang kata-kataku. “Sensasi adalah sesuatu yang dirasakan seketika, melalui indera kita. Itu bisa berupa suara musik yang menggugah, aroma masakan yang mengingatkan pada rumah, atau bahkan pemandangan matahari terbenam yang tak terlupakan. Tapi dalam konteks sosial, sensasi sering kali diartikan sebagai sesuatu yang dangkal, sebuah cara untuk menarik perhatian tanpa substansi.”
Pria itu mengangguk, matanya sedikit berbinar. “Betul, itulah yang membuatku cemas. Di era digital ini, sensasi mudah sekali menyebar. Seseorang bisa menjadi terkenal hanya karena melakukan sesuatu yang kontroversial atau aneh, tanpa perlu menunjukkan prestasi apa pun. Banyak dari mereka yang memilih jalan pintas untuk dikenal, padahal apa yang mereka lakukan sering kali tidak berarti apa-apa.”
“Benar,” jawabku, “Sensasi bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, itu dapat menarik perhatian dan membuat seseorang menjadi pusat pembicaraan. Tapi di sisi lain, itu tidak meninggalkan warisan yang berarti. Hanya angin lewat yang tak memiliki kedalaman, sesuatu yang mungkin akan segera dilupakan begitu sensasi yang lebih baru muncul.”
Dia menghela napas panjang, seolah-olah telah menahan beban berat selama bertahun-tahun. “Aku khawatir dengan generasi sekarang. Banyak yang terjebak dalam pola pikir bahwa menjadi terkenal lebih penting daripada berprestasi. Mereka lupa bahwa prestasi membutuhkan dedikasi, kerja keras, dan waktu. Sementara itu, sensasi adalah sesuatu yang instan, namun dangkal.”
Aku memandang keluar jendela, melihat bayangan lampu-lampu jalan yang tampak redup di kejauhan. “Mungkin itu adalah bagian dari tantangan zaman kita,” kataku. “Teknologi memungkinkan informasi menyebar dengan cepat, tetapi itu juga membuat kita kehilangan kedalaman. Segala sesuatu harus cepat, singkat, dan menghibur. Prestasi, di sisi lain, membutuhkan ketekunan yang tidak sejalan dengan ritme kehidupan modern yang serba cepat.”
Dia tersenyum pahit, seolah menyadari ironi dari keadaan ini. “Masyarakat yang berkualitas seharusnya melahirkan individu-individu yang berkualitas pula. Tapi bagaimana kita bisa berharap banyak dari mereka jika yang dilihat setiap hari adalah orang-orang yang lebih memilih menjadi sensasi daripada berprestasi?”
Aku tak bisa menahan diri untuk tersenyum kecil. “Masyarakat memang mencerminkan individu-individunya. Dan individu yang cerdas akan selalu mampu membedakan mana yang sensasi dan mana yang prestasi. Mereka akan tahu bahwa sensasi hanya akan memberi mereka kepuasan sementara, sedangkan prestasi adalah sesuatu yang akan bertahan lama, bahkan setelah mereka tiada.”
Dia tampak merenung, dan aku bisa merasakan bahwa percakapan ini telah menyentuh sesuatu yang lebih dalam di dalam dirinya. Mungkin dia pernah mencoba meniti jalur sensasi, atau mungkin dia baru saja melihat seseorang yang terperangkap dalam jebakan itu. Aku tidak tahu, dan mungkin tidak perlu tahu.
Yang jelas, malam itu, di kafe kecil yang sunyi, kami berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih besar daripada diri kami sendiri. Tentang bagaimana dunia ini berubah, dan bagaimana kita, sebagai individu, harus memilih jalur kita dengan hati-hati. Sensasi atau prestasi—dua kata yang mungkin terdengar sederhana, tetapi memiliki konsekuensi yang sangat berbeda.
Ketika akhirnya pria itu berdiri dan bersiap untuk pergi, dia menatapku dengan pandangan yang penuh rasa terima kasih. “Terima kasih,” katanya singkat. “Kau memberiku sesuatu untuk dipikirkan.”
Aku hanya mengangguk, merasa bahwa aku tidak perlu berkata apa-apa lagi. Kami telah berbicara cukup lama, dan sekarang, sudah waktunya bagi dia untuk menemukan jawabannya sendiri. Di luar kafe, malam semakin larut, dan angin malam berhembus, membawa serta aroma laut yang jauh di sana. Sebuah sensasi yang singkat, namun menenangkan, seperti percakapan yang baru saja terjadi.
Dan di dalam diriku, aku merasa ada sesuatu yang telah berubah—sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang dunia ini, dan tentang diriku sendiri. Sensasi atau prestasi, itu adalah pilihan yang setiap orang harus buat sendiri, dalam keheningan hati mereka.
Kreator : Wista
Comment Closed: Sensasi atau Prestasi
Sorry, comment are closed for this post.