Cahaya lampu neon di kantor terasa begitu terang, menusuk mata. Tapi aku tersenyum. Senyum yang sempurna, seperti yang diajarkan dalam setiap seminar “Pengembangan Diri” yang tak pernah benar-benar kusentuh. Senyum ini adalah perisai, topeng kaca yang memantulkan kembali harapan palsu orang lain, menutupi kehampaan yang menganga di baliknya.
Namaku, ah, sudahlah. Nama hanyalah label, dan aku sudah lama kehilangan esensi dari label itu. Aku adalah seorang profesional sukses, seorang teman yang selalu ada, seorang anak yang membanggakan. Setidaknya, itulah yang mereka lihat. Itulah yang ingin mereka lihat. Dan aku, dengan senang hati, memenuhi ekspektasi itu.
“Selamat pagi.” sapaku pada rekan kerja yang baru tiba. Suaraku ceria, seolah tidak ada beban seberat gunung es yang menindih dadaku.
“Pagi, Wah, ceria sekali, seperti biasa!” balasnya. Matanya berbinar. Kebodohan yang membahagiakan.
Aku hanya tertawa kecil, tawa yang ringan, renyah, seperti keripik kentang yang mudah hancur. Di balik tawa itu, ada jeritan sunyi, bisikan-bisikan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar mati. Bisikan tentang kegagalan, tentang pengkhianatan, tentang kehancuran yang tak bisa diperbaiki.
Meja kerjaku rapi, tertata sempurna. Tidak ada satu pun kertas yang berantakan, tidak ada satu pun debu yang menempel. Segalanya terkontrol, teratur. Berbeda dengan pikiranku yang kacau balau, labirin tanpa ujung yang dipenuhi bayangan-bayangan gelap.
“Kau baik-baik saja?” suara itu muncul, bukan dari luar, tapi dari dalam kepalaku. Suara yang kukenal, suara yang selalu ada. Suara dari dia.
“Tentu saja,” jawabku dalam hati. “Aku selalu baik-baik saja.”
“Benarkah? Atau kau hanya pandai berpura-pura?”
Aku memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. Topeng ini berat. Terkadang, aku merasa ia akan retak, pecah berkeping-keping, memperlihatkan monster yang bersembunyi di baliknya. Tapi tidak. Ia takkan retak. Aku takkan membiarkannya.
Tanganku mengetik di keyboard. Jari jemariku bergerak lincah, menyelesaikan tugas-tugas dengan presisi. Produktivitas adalah pelarianku, cara untuk membungkam suara-suara di kepala, cara untuk melarikan diri dari diriku sendiri.
“Kau tahu, mereka semua percaya padamu.” suara itu mengejek. “Mereka melihat apa yang ingin mereka lihat. Betapa menyedihkan.”
Aku mengabaikannya. Sudah terbiasa. Aku adalah aktor terbaik dalam drama kehidupanku sendiri, pementasan yang tak pernah berakhir, dengan satu-satunya penonton adalah diriku sendiri. Dan penonton itu, dia adalah kritikus terkejam.
Siang berganti sore. Aku masih di sini, tersenyum, mengangguk, memberikan saran, seolah aku memiliki semua jawaban. Aku adalah mercusuar bagi orang lain, padahal di dalam, aku adalah kapal karam yang tenggelam.
“Kau tidak lelah?” suara itu bertanya, kali ini dengan nada yang sedikit berbeda, seolah ada sedikit kepedulian.
Lelah? Tentu saja lelah. Lelah berpura-pura, lelah menyembunyikan, lelah bernapas di bawah beban ekspektasi. Tapi apa pilihan lain yang kumiliki? Menunjukkan diriku yang sebenarnya? Menunjukkan kehancuran yang ada di baliknya? Tidak. Itu akan menjadi kekejaman yang lebih besar. Bagi mereka, dan bagi diriku sendiri.
Aku bangkit, melangkah menuju jendela besar yang menghadap ke kota. Lampu-lampu mulai menyala, membentuk permadani cahaya yang indah. Di balik setiap cahaya itu, ada kehidupan, ada cerita. Mungkin juga ada topeng-topeng lain, sama sepertiku.
“Apakah ada orang lain sepertiku?” bisikku, tanpa sadar.
“Mungkin. Atau mungkin kau adalah anomali. Sebuah kesalahan dalam sistem.”
Kata-kata itu menusuk. Kesalahan. Ya, mungkin aku memang sebuah kesalahan. Sebuah cacat yang harus disembunyikan, ditutupi dengan senyuman paling cerah, tawa paling renyah.
Aku kembali ke meja, meraih tas. Saatnya pulang. Kembali ke rumah yang sepi, di mana topeng bisa dilepas, dan aku bisa menghadapi diriku yang sebenarnya. Menghadapi kehampaan, keputusasaan, dan bisikan-bisikan yang tak pernah berhenti.
“Sampai jumpa besok!” kataku pada rekan kerja yang masih sibuk.
“Sampai jumpa! Jangan lupa istirahat ya!”
Aku hanya tersenyum. Senyum yang sama. Senyum palsu di balik topeng kaca. Dan aku tahu, besok, aku akan kembali mengenakannya. Kembali menjadi apa yang mereka inginkan, bukan apa adanya. Hingga topeng ini, atau aku, pada akhirnya, hancur.
Kreator : Clown Face
Comment Closed: Senyum Palsu di Balik Topeng Kaca
Sorry, comment are closed for this post.