Namaku Izma Ariyani Putri. Aku lahir di Makassar dan tinggal di sana sampai duduk di kelas III SD sebelum akhirnya kami pindah ke kota Kendari. Di kota ini aku menyelesaikan pendidikan sampai Diploma III jurusan Bahasa Inggris tahun 1993 di salah satu perguruan tinggi di kotaku.
Setiap pendaftaran untuk menjadi PNS aku ikuti, dan ini berlangsung sampai tiga kali. Jarak rumah dengan tempat perekrutan PNS pada saat itu cukup jauh di Unaaha yang sekarang menjadi Kabupaten Konawe setelah adanya pemekaran wilayah di Sulawesi Tenggara.
Cita-citaku untuk menjadi seorang guru belum tercapai, kegagalan demi kegagalan selalu aku alami. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk bekerja pada perusahaan swasta. Di tempat ini aku tak dapat bertahan lama. Profesi yang kujalani sungguh membuatku bekerja dengan keterpaksaan hingga membuatku tak betah untuk tetap bertahan di tempat itu. Dan, kuputuskan pada tahun 1994 keluar dari perusahaan itu.
Singkat cerita, orang tuaku menerima lamaran lelaki yang kini menjadi suamiku. Kami pun menikah pada tanggal 8 Januari 1995 dan telah dikarunia dua orang anak putra dan putri. Aku bahagia walau hidup dengan segala kesederhanaan.
Keinginan untuk menjadi seorang guru tak pernah hilang dalam angan. Kesibukan sebagai seorang ibu tetap tak menyurutkan niatku untuk tetap menjadi seorang guru, seorang yang ingin mengabdi dan mengajarkan sesuatu bagi anak-anak bangsa.
November 2000, kuputuskan untuk mencari lowongan untuk bisa mengajar pada salah satu sekolah walaupun dalam bentuk pengabdian. Selama seminggu, telah kumasuki empat sekolah dasar namun belum ada yang mau menerimaku dengan alasan, “Kami belum sanggup membayar guru honor.”
Kecewa, sudah pasti. Namun, pantang mundur itu prinsipku. Aku mulai lagi berjuang mencari sekolah dasar yang bisa memberikanku peluang untuk menyalurkan sedikit ilmu bagi anak-anak bangsa. Sampailah aku di sekolah dasar yang pada saat itu bernama SDN 01 dengan Bapak Kepala Sekolah Zainuddin. Beliau menerimaku namun lagi-lagi masalah pembayaran honor yang menjadi kendala. Tapi, beliau memberikan harapan buatku dengan mengatakan, “Ibu kalau bisa minggu depan ke sini lagi, karena hal ini akan saya rapatkan dengan ketua komite dulu.” Walaupun hal itu belum pasti, aku cukup bahagia. Ku berharap seberkas cahaya harapan akan datang.
“Ibu, kami sudah sepakati bahwa kami memungut uang anak-anak sebesar seratus lima puluh rupiah per anak,” kata beliau saat aku kembali ke sekolah itu untuk menanyakan kelanjutan pembicaraan seminggu yang lalu. Aku tidak lagi menghiraukan nilai nominal yang akan diberikan kepadaku karena kebahagiaan diterimanya aku mengabdi di sekolah itu. Ku ucapkan terimakasih berkali-kali kepada Bapak Zainuddin.
Usia anakku yang paling kecil saat itu dua tahun, aku titip dia dengan tetangga sebelah rumah saat aku harus mengajar. Seminggu tiga kali dengan enam rombel, setiap rombel berjumlah 40 murid. Tak kupikirkan berapa yang akan aku terima yang penting aku bahagia saat memberikan mereka materi pelajaran, dan kebahagian yang tak terkira saat aku lihat wajah-wajah ceria mereka di akhir pelajaran setelah aku berikan satu lagu dalam Bahasa Inggris.
Empat puluh enam ribu, aku hitung lembaran yang diberikan. Alhamdulillah, ini hasil keringatku sangat tidak sebanding dengan penghasilan yang aku peroleh saat aku bekerja di perusahaan swasta. Tapi, kebahagiaan dan kepuasan batin kuperoleh di sekolah ini dan itu tidak dapat diukur oleh nilai nominal lembaran rupiah.
Tahun 2003, Ibu Aryani, seorang teman guru juga tetangga di komplek tempat kami tinggal, menginformasikan bahwa sekolahnya membutuhkan guru Bahasa Inggris karena guru yang biasa mengajar pindah ke tempat lain. Tak aku sia-siakan kesempatan ini, aku pun segera mendaftarkan diri. Ibu Ghaidah yang saat itu menjadi Kepala Sekolah SDN I Lepo-lepo, sekarang berubah menjadi SDN I Baruga, menerimaku dan langsung memberikan jadwal dan saat itu juga aku memohon untuk menyesuaikan jadwal mengajarku di tempat lain. Tidak ada kendala, semua berjalan lancar, pembayaran honorku juga lancar-lancar saja.
Perjuangan demi perjuangan aku lakukan, dan keberkahan demi keberkahan aku rasakan. Lengkap sudah kebahagiaanku, aku syukuri semuanya sebagai suatu nikmat. Suami yang sholeh, rumah nan tenang dan nyaman walau masih berstatus rumah dinas, dua anak yang sehat dan cerdas, sungguh surga dunia tak ternilai harganya buatku. Hingga suatu saat, Juni 2006, aku dinyatakan lulus data base sebagai calon Pegawai Negeri Sipil daerah. Sebuah hal yang tak pernah aku duga sebelumnya, lengkap sudah rasa bahagiaku.
Tahun 2011, S-1 telah aku raih, anak-anakku tumbuh sehat dan cerdas, kebahagian yang kurasakan pun semakin lengkap. Di antara lelahnya badan dan padatnya pekerjaan, aku selalu bersyukur akan segala karunia yang Allah limpahkan. Aku yakin dibalik kesulitan pasti ada kemudahan, dibalik perjuangan pasti ada ganjaran.
Tak terasa waktu terus merambat, meninggalkan segala kenangan silam. Sejenak aku menoleh ke belakang, mengenang segala apa yang sudah aku lakukan. Menatap kembali ke depan, menyongsong banyak tantangan, menjemput keberhasilan. Ada sejumput cita-cita yang masih tersimpan yaitu kuliah S-2. Mudah-mudahan aku bisa mewujudkannya. Aku berdoa, semoga Allah senantiasa memberiku kesabaran dan kemudahan dalam mengarung samudera hidup yang penuh ujian dan tantangan, Aamiin.
***
Kreator : Indarwati Suhariati Ningsi
Comment Closed: Sepenggal Kisah Dalam Hidupku
Sorry, comment are closed for this post.