“Ini rumahku, bukan rumahmu! Kamu cuma numpang. Ingat itu!”. Terngiang-ngiang ucapan suamiku bila dia sedang bad mood. Tanpa berpikir bahwa aku bakalan tersinggung dengan kata-katanya. Ingin rasanya aku langsung angkat kaki dari rumah ini. Harga diriku seperti ditelanjangi.
Sudah hampir 22 tahun aku menahan diri dan memaksa untuk bersabar menerima setiap sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Entah setan mana yang merasuki Mas Riski bila sedang dalam situasi bad mood, dengan bebasnya dia mengumpat dan mengumbar emosi. Berkali-kali aku mengalah dan menerima caciannya yang sangat pedas di telinga dan hati ini.
Amarah menggelegak, naik sampai ke ubun-ubun. Ingin rasanya ku berteriak tepat di telinganya. Menyuarakan kesesakan dan emosi yang membuncah di dada ini. Namun itu hanya sebatas ‘ingin’ tanpa pernah kulakukan. Aku memilih bersabar karena aku tahu itu semua akan menjadi sebuah kesia-siaan. Mulut suamiku tidak bisa dikalahkan, pedas seperti ibu tiri yang kejam.
Padahal dulu ketika kami masih pacaran, Mas Riski sangat manis dan terlihat bucin sekali padaku. Sampai-sampai aku tidak boleh kecapean atau pun kelaparan. Mas Riski selalu memperhatikan pasokan makanan yang ada di kostku. Bila sudah menipis pasti dengan segera dia memenuhi stok makananku. Aku pun selalu diantar dan dijemput olehnya kemana aku mau.
Entah mengapa semenjak menikah dengan Mas Riski, kehidupan yang serasa surga itu hilang berganti dengan neraka. Tepatnya setelah aku melahirkan Bebi, anak pertama kami. Semua rasa cinta itu hilang tanpa bekas. Aku hanya diingat bila diperlukan saja. Mas Riski pun sudah tidak mau mengantarku ke kantor maupun menjemputku.
“Aku mau makan!” Mas Riski akan memintaku untuk melayaninya bila perutnya terasa lapar. Dan itu tidak semudah hanya menyajikan, aku harus memasak menu baru sesuai dengan permintaan dari suamiku itu sesempurna mungkin.
Menggoreng tempe tidak boleh gosong, harus berwarna kecoklatan dan garing. Begitu juga bila menggoreng telur, harus sesuai dengan standar yang diinginkan oleh suamiku itu. Semuanya sudah ada ukurannya. Di awal pernikahan aku masih sering melakukan kesalahan sehingga alhasil aku harus menerima teguran-teguran pedas dari mulut Mas Riski.
“Goreng tempe kok seperti ini sih kamu ma? Makanya jangan ditinggal kalau lagi masak!”. Ucap Mas Riski dengan sewot. Alhasil tempe tersebut tidak akan disentuhnya, padahal menurutku rasanya tetap enak karena hanya sedikit lebih coklat, belum benar-benar gosong.
Walaupun aku lelah pulang dari kantor, aku harus dengan segera memenuhi permintaannya. Tak jarang Bebi protes, karena dia selalu di nomor duakan.
“Bentar ya sayang, mama ngurusin papa dulu. Nanti kalau papa udah beres kan kita berdua jadi lebih tenang mau ngapa-ngapain”. Ucapku agar putriku mau bersabar. Bebi hanya manyun memandangku dengan wajah kesal.
Aku pun bergegas memasak menu yang diminta oleh suamiku, tak lupa juga aku menyiapkan masakan untuk putri kecilku. Biasanya menuku dan Bebi adalah menu yang sama seperti yang diminta oleh Mas Riski. Kecuali bila Bebi punya permintaan yang berbeda dengan papanya. Namun itu jarang terjadi, karena Bebi lebih banyak mengalah dengan papanya karena kasihan bila melihatku harus ribet di dapur. Bila Mas Riski meminta untuk dimasakin sayur kacang panjang dengan tempe bosok atau tempe yang sudah setengah busuk, putriku itu baru akan memintaku membuatkannya telur dadar.
Setelah suami dan anakku kenyang, aku pun segera membersihkan rumah dan membereskan segala cucian termasuk menyetrika baju. Semua kulakukan sendiri, tidak ada yang namanya asisten rumah tangga di rumahku, mengingat keuanganku pun tidak cukup untuk membayar gajinya. .
Selama aku menikah dengan Mas Riski, belum pernah sekalipun aku diberikan jatah bulanan. Sehingga aku harus memutar otak agar gajiku bisa mencukupi kebutuhan hidup kami sehari-hari.
Yang penting buatku adalah semua kebutuhan Bebi bisa kupenuhi begitu juga dengan sekolahnya. Aku sudah cukup lelah berharap untuk dapat dibantu oleh Mas Riski dalam memenuhi semua kebutuhan kami. Padahal seharusnya itu adalah menjadi tanggung jawab suamiku sebagai kepala keluarga dalam memastikan hidup kami sejahtera.
Kreator : Flora Napitupulu
Comment Closed: SEPERTI TIDAK BERSUAMI (Bab 1)
Sorry, comment are closed for this post.