Suatu pagi yang cerah, aku seperti biasanya hadir di sekolah lebih awal. Pembiasaan untuk hadir lebih awal menjadi pemantik aku dapat bekerja lebih fokus, selain dapat menjadi contoh bagi teman sejawat. Beruntung memang rumah tinggalku tidak jauh dari sekolah tempat aku mengajar. Bahkan kesempatan untuk menyambut, menyapa, dan menyalami anak-anak didik di depan gerbang bagian dalam sekolah menjadi kesibukan pertamaku di sekolah.
“Assalamualaikum, Selamat Pagi! Semangat ya!”
Begitulah kata-kata yang selalu keluar dari mulutku.
“Halo…Good morning, siapa yang mengantarkan kamu ke sekolah?” sapaanku yang lainnya.
“Selamat pagi, sehat ya! Siap belajar, kan?!” celotehku yang lain pula.
Tiada bosan aku menyapa dengan berbagai variasi pertanyaan. Aku berharap anak-anak didikku menanggapi dengan baik bahkan senang. Aku mencoba memberi semangat sejak awal datang di sekolah. Dengan senyumku yang selalu terkembang kepada siapa pun. Boleh jadi aku menjadi guru paling ramah di sekolah.
Namun, tetap ada pula yang masih kurang merespon dengan positif. Ada wajah anak didikku yang selalu cuek tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya. Suka menyendiri, tidak banyak bicara, seakan dia punya dunianya sendiri. Setiap kali aku menyapa dengan berbagai sapaan yang berbeda juga tanpa sahutan yang jelas. Aku tidak ingin memaksa semua anak didikku meladeni apa mauku. Aku tetap demokratis dan memberi kebebasan apa pun jawaban mereka. Hingga suatu saat, usut punya usut anak yang ‘cuek’ tadi adalah anak tunggal, Ayah dan Ibunya memiliki kesibukan yang luar biasa. Dia tinggal di rumah sendirian jika Ayah Ibunya masih bertugas. Dan, hanya berteman gawai serta teman dunia maya lainnya.
Ibarat serpihan cermin retak yang coba ku tata ulang dalam membimbing anak didik ini. Tidak semua anak-anak didik memiliki keluarga yang sempurna dan peduli terhadap keberadaannya. Mungkin orang tua juga menitipkan pendidikan di sebuah sekolah dengan pilihan bahwa sekolah mampu mengatasi semua kebutuhan anak mereka. Yang penting orang tua bisa menunaikan kewajiban pembayarannya. Tidak semua anak hanya cukup dititipkan dengan mencukupi semua kebutuhan keuangannya.
Aku mulai membangun komunikasi khusus dengan anak didikku. Kebetulan aku mengajar di kelasnya, karena sebuah Sekolah Menengah Pertama yang ideal menyediakan guru mata pelajaran masing-masing atau bukan guru kelas maksudnya. Kesempatan untuk mendekatinya ku mulai saat pelajaran di kelas. Lain waktu aku duduk di sampingnya saat sholat berjamaah dhuhur atau asar di sekolah. Kadang aku juga mencari informasi dari teman sekelasnya.
Belum banyak informasi yang dapat ku gali. Akhirnya, aku berupaya mencari data dari bagian Tata Usaha. Aku mencari data alamat rumahnya. Aku pun membangun komunikasi dengan wali kelas dan juga guru bimbingan konseling. Hal yang aku dapatkan biasa saja sebab pada hakikatnya anak ini tidak ada masalah dengan belajarnya, tidak membuat keributan di kelas, tidak ada pelajaran yang ditinggalkan. Sekilas memang tidak ada masalah dengan dirinya. Namun, aku menangkap ada hal yang belum terpecahkan dengan misteri “cuek” dalam pergaulannya
Panggilan jiwaku sebagai guru yang ingin menguak dan mencarikan alternatif performance pergaulan dan pertemanannya. Bagiku masa depan anak tidak hanya bergantung dari perolehan nilai –nilai akademisnya. Namun, bagaimana dia bisa bersosialisasi, berempati, berkolaborasi, bahkan berkomunikasi dengan baik akan menunjukkan citra dirinya. Dia akan mampu bertahan hidup serta berkompetisi positif dengan berbagai tantangan zaman.
Akhirnya kuputuskan untuk bersilaturahmi ke rumahnya atau home visit istilah kerennya. Dengan berbekal data alamat, aku telusuri suatu jalan untuk mencari nomor rumah yang dimaksud. Aku hanya bisa bersyukur bahwa Tuhan memberi takdir, aku menemukan rumahnya dan mempertemukan dengan kedua orang tuanya yang kebetulan ada di rumah semua.
Berawal dari pertemuan itulah, kurajut harapan menyamakan persepsi untuk bersama-sama memerhatikan Ananda, baik di rumah maupun di sekolah. Ananda mau bercerita di hadapan kami bertiga; Ayah, Ibu, dan aku, gurunya. Sejak saat itu pola asuh ayah ibunya mulai berubah. Dan sejak saat itu, dari hari ke hari aku melihat pancaran raut mukanya yang mulai bercahaya. Serpihan cermin retak itu tampak menyatu kembali, mewujudkan keutuhan cermin yang dapat dipakai kembali untuk berkaca. Bahkan tampak jelas memancarkan aura kecantikan yang sesungguhnya walaupun tanpa riasan atau make up lainnya.
Aku ikut berbahagia, hingga masa pendidikan menengah pertamanya usai, melanjutkan pendidikan menengah atas, dan kini menjadi mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama. Aku mendengar kabar kecemerlangan studinya. Dia menjadi ketua salah satu organisasi kemahasiswaan. Kepiawaiannya berorganisasi sangat dikagumi teman-teman kuliah. Cara bicara dan berkomunikasi nya luar biasa. Bahkan menjadi mahasiswa Duta Wisata. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan untuk membolak-balikkan sesuatu. Serpihan cermin retak jangan pernah diabaikan.
Kreator : Dwi astuti
Comment Closed: Serpihan Cermin Retak
Sorry, comment are closed for this post.