Matahari pagi yang hangat menembus rimbun pepohonan di Taman Wisata Air Sumber Wanoro. Kami—saya dan mahasiswa-mahasiswa saya—berdiri di sekitaran sendang, menyaksikan jalannya ritual sesajen (sesajian). Suasana penuh dengan aroma dupa yang bercampur dengan wangi khas dari berbagai makanan tradisional yang disiapkan sebagai sesaji. Para mahasiswa tampak gelisah, mungkin karena mereka merasakan beban antara keinginan untuk belajar dan ketakutan bahwa mereka mungkin melanggar batas-batas keagamaan yang mereka pegang teguh.
Mbak Ipah, juru kunci yang penuh pengalaman, berdiri di tengah kami, tangannya sibuk menata tumpeng nasi kuning dengan segala ubo rampenya yang akan dibagi-bagi setelah ritual kelar. Dengan gerakan tenang dan teratur, ia menjelaskan kepada kami tentang arti penting dari ritual yang sedang ia persiapkan. “Bagi orang Jawa, upacara tradisi, ritual selamatan, atau gelar sajen sudah jadi bagian dari hidup sejak lahir. Setiap ubo rampe yang disiapkan ini punya makna, bukan sekadar makanan biasa.”
Saya melihat bagaimana mahasiswa-mahasiswa yang tadinya tampak ragu, mulai terpesona oleh penjelasan Mbak Ipah. Namun, ketegangan masih terasa di udara, seolah-olah mereka sedang berjuang memahami sesuatu yang di luar pemahaman biasa mereka.
“Kenapa semua ini begitu penting, Mbak?” tanya saya, mencoba membuka dialog yang lebih dalam. “Banyak orang sekarang yang mulai meninggalkan tradisi seperti ini. Apa yang membuat Mbak tetap melakukannya?”
Pertanyaan saya langsung diikuti Vani, mahasiswa yang punya rasa ingin tahu yang mendalam, “Kenapa ritual sesajen dilakukan di sendang, Mbak?” tanyanya pelan.
Mbak Ipah tersenyum tipis, lalu meletakkan sendok kayu yang digunakannya. Dia menatap Vani dengan mata yang lembut, seolah ingin berbagi kebijaksanaan yang sudah lama terpendam. “Memang, banyak yang sudah melupakan makna di balik ritual-ritual ini, Nak,” katanya sambil menghela napas. “Banyak orang sekarang menganggapnya ribet, tidak praktis, bahkan ada yang bilang ini memuja setan. Padahal, setiap ubo rampe ini adalah manifestasi rasa syukur dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Leluhur kami percaya bahwa air adalah sumber kehidupan, dan sendang ini adalah lambang dari rahmat Tuhan yang tak pernah kering.”
Dia melanjutkan, “Ritual ini bukan sekadar menaruh sajen di air, tapi lebih dalam dari itu. Kita memuliakan air sebagai anugerah yang menjaga kehidupan di sekitar sini. Dengan menyusun sajen, kita menunjukkan rasa hormat kita kepada alam yang telah memberikan air bersih dan kehidupan. Air di sendang ini dianggap suci, karena mengalir tanpa henti, memberi kehidupan pada tanaman, binatang, dan manusia. Ritual ini mengingatkan kita bahwa keseimbangan antara manusia dan alam harus dijaga. Tanpa air, tidak ada kehidupan, dan dengan memuliakan air, kita menjaga harmoni antara manusia, alam, dan hal-hal gaib yang dipercayai menjaga tempat ini.”
Mbak Ipah kemudian tersenyum kepada Vani, seolah berharap bahwa penjelasannya dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam. “Jadi, ritual ini adalah cara kita berterima kasih dan menjaga hubungan kita dengan alam dan sang Pencipta. Dengan memuliakan air, kita menghargai segala kehidupan yang tergantung padanya.”
Para mahasiswa tampak semakin tertarik meskipun saya bisa merasakan keraguan mereka. “Tapi, Mbak, bukankah ini bisa dianggap bertentangan dengan ajaran agama?” tanya Toha, yang biasanya lebih diam, namun kali ini tampak tergugah.
Mbak Ipah mengangguk, seolah sudah sering mendengar pertanyaan semacam itu. “Orang Jawa percaya pada Allah, Gusti Kang Maha Tunggal. Tapi mereka juga tahu bahwa ada penjaga-penjaga gaib di setiap tempat, seperti di sini, di Sumber Wanoro. Melalui sajen ini, kita bukan meminta kepada mereka, tapi hanya tegur sapa. Doa tetap kita panjatkan kepada Allah, hanya lewat cara yang diajarkan leluhur.”
Saya melihat bahwa ini adalah momen penting bagi mahasiswa-mahasiswa saya untuk memahami bagaimana budaya dan agama bisa hidup berdampingan dengan cara yang unik. Namun, saya juga bisa merasakan kekhawatiran mereka meningkat seiring dengan semakin dalamnya mereka memasuki dunia yang asing ini. Di balik ketertarikan mahasiswa untuk mengeksplorasi kedalaman makna kuliner sesajian untuk ritual itu, saya bisa merasakan bahwa mereka masih terombang-ambing antara rasa ingin tahu dan ketakutan akan penilaian terhadap kepercayaan mereka sendiri.
Situasi ini mencapai puncaknya ketika makanan-makanan sesaji mulai dibagikan kepada semua yang hadir, termasuk kami. Mahasiswa-mahasiswa saya tampak ragu, bingung apakah mereka harus menerima atau menolak, sadar bahwa keputusan ini mungkin akan membawa konsekuensi terhadap keyakinan mereka. Di sinilah ketegangan benar-benar terasa, antara penghormatan terhadap tradisi dan batasan-batasan agama yang mereka pegang teguh.
Aroma nasi kuning yang harum, lauk pauk yang kaya rasa, serta jajanan pasar yang manis dan gurih mengisi udara. Saya bisa melihat para mahasiswa mulai tergoda oleh pemandangan ini—bukan hanya karena kelaparan, tetapi karena rasa penasaran yang mendalam terhadap budaya kuliner yang sedang mereka amati. Namun, di saat yang sama, mereka juga tampak ragu, takut bahwa partisipasi mereka, meskipun hanya dalam bentuk mencicipi makanan, akan dianggap sebagai bentuk persetujuan terhadap ritual yang mereka saksikan.
Saat makanan mulai dibagikan, Mbak Ipah mendekati kami dengan senyuman ramah. “Silakan, Bu Wiwin, Mas dan Mbak sekalian, ambil dan cicipi. Ini adalah bagian dari perayaan kami, dan kami ingin panjenengan sadaya merasakan apa yang kami rasakan— makanan ini bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga simbol dari rasa syukur kami kepada alam dan leluhur.”
Saya merasakan gelombang kegelisahan melanda diri saya. Bagaimana saya harus menanggapi ini? Saya tahu bahwa menolak tawaran tersebut bisa dianggap tidak sopan dan bahkan menyinggung perasaan, tetapi saya juga harus mempertimbangkan perasaan dan keyakinan mahasiswa-mahasiswa saya.
Saat saya berdiri di sana, terperangkap dalam dilema yang hampir tak tertahankan, salah satu mahasiswa, Fajar, yang sebelumnya tampak paling ragu, melangkah maju. “Bu Wiwin, mungkin kita bisa mencoba sedikit saja, untuk menghormati mereka. Saya tahu ini sulit, tapi saya pikir ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita.”
***
Saya ingat, semalam sebelumnya, saya mendatangi rumah Mbak Ipah dan suaminya, Pak Tarno, untuk mengonfirmasi secara langsung rencana kedatangan kami. Rumah mereka, yang terletak di sisi luar Taman Wisata Air Sumber Wanoro, memancarkan kehangatan yang khas. Begitu melangkah ke halaman, saya langsung disambut oleh aroma manis bunga kenanga yang bercampur dengan wangi dupa—aroma yang pekat namun menenangkan, mengisi udara dengan nuansa sakral. Dupa yang telah dibakar Pak Tarno mengepul perlahan, meninggalkan jejak-jejak asap tipis yang meliuk-liuk menuju langit, seolah membawa doa-doa yang belum terucapkan.
Di dapur yang sederhana namun penuh kehangatan, Mbak Ipah telah mulai bekerja. Suara halus pisau yang beradu dengan talenan, memotong daun-daun segar, berpadu dengan gemericik air dari baskom tempat ia mencuci beras. Di atas meja panjang, beras yang putih bersih, ayam segar dengan warna merah muda alami, dan dedaunan yang masih basah tertata rapi, menunggu untuk diolah. Aroma segar dari ayam yang baru saja dipotong berpadu dengan wangi khas daun pandan dan serai, menciptakan harmoni wewangian yang menggugah selera. Semuanya disiapkan dengan penuh ketelitian, mencerminkan penghormatan mendalam terhadap ritual yang akan dilangsungkan di Sumber Air Wanoro keesokan harinya.
Mbak Ipah, dengan tangan-tangan yang cekatan, mencuci beras hingga bersih, lalu menyiapkan ayam yang akan dimasak dengan bumbu-bumbu. Saya memperhatikan setiap gerakannya, bagaimana dia meracik kunyit, lengkuas, dan serai untuk membuat tumpeng nasi kuning yang harum. Setiap gerakan begitu tenang dan teratur, seolah ada kekuatan tak terlihat yang membimbingnya. Saya merasa terpesona melihat betapa sakralnya proses ini, tetapi di dalam hati saya juga merasa terganggu.
Saya mendekati Mbak Ipah, merasa bahwa saya harus menawarkan bantuan, meskipun sedikit. “Mbak, boleh saya bantu sesuatu? Mungkin ada yang bisa saya lakukan untuk meringankan pekerjaan Mbak?”
Mbak Ipah menoleh sejenak, senyumnya lembut namun matanya menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar membutuhkan bantuan. “Terima kasih, Bu Wiwin, tapi saya sudah biasa ngelakoni masak dewean. Semua ini memang harus saya siapkan sendiri,” katanya, melanjutkan pekerjaannya dengan tenang.
Saya sedikit terkejut dengan jawaban itu. “Tapi, Mbak, kan banyak sekali yang harus disiapkan. Saya khawatir Mbak akan terlalu lelah.”
Dia tersenyum lagi, kali ini dengan penuh pengertian. “Justru ini bagian dari tugas saya, Bu. Setiap bumbu, setiap langkah, semuanya punya makna dan harus dilakukan dengan hati-hati. Bukan sekadar soal memasak, tapi ini soal bagaimana saya berkomunikasi dengan leluhur dan menjaga tradisi ini tetap hidup. Saya memilih bahan dan mengolah semuanya dengan mendengar bisikan dari para leluhur.”
Saya hanya bisa mengangguk pelan, merasa semakin kagum sekaligus semakin bingung dengan kompleksitas yang ada di hadapan saya. Mbak Ipah kembali ke pekerjaannya, meracik bumbu-bumbu dengan keahlian yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah melakukannya selama bertahun-tahun. Saya berdiri di sana, menyadari bahwa dalam dunia ini, ada hal-hal yang tidak bisa dipahami sepenuhnya hanya dengan logika, tetapi juga harus dirasakan dan dihormati.
Tumpeng nasi kuning yang sedang disiapkan Ipah tidak hanya sekadar hidangan. Lengkap dengan lauk-pauknya—ikan, tempe, mie, ayam, sayur-mayur—sesajian ini menjadi simbol doa dan harapan yang akan dipersembahkan dalam upacara ritual sesaji di Sumber Sumber Wanoro. Saya tahu betapa pentingnya sesajian ini bagi mereka, namun hati saya masih bimbang. Saya ingin mahasiswa-mahasiswa saya bisa memahami kearifan lokal, melihat langsung bagaimana tradisi ini dijalankan, tapi saya juga takut terlibat terlalu jauh, takut jika saya melanggar batasan keyakinan keluarga saya dan mungkin juga mahasiswa-mahasiswa saya.
Di sisi lain dapur, Pak Tarno duduk memperhatikan setiap gerakan istrinya, sesekali membantu memasukkan kayu api ke dalam luweng. Saya melihat bahwa apa yang mereka lakukan bukan sekadar memasak. Ini adalah tugas sakral sebagai juru kunci Sumber Air Wanoro. Setiap Kamis Kliwon atau malam Jumat Legi, mereka juga bersama-sama melaksanakan ritual sesaji sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada para leluhur yang telah memberi mereka kesempatan untuk merawat dan menjaga sumber kehidupan ini.
Selain nasi kuning, Mbak Ipah juga menyiapkan kopi hitam dan rokok klobot yang nanti akan diletakkan di samping kembang telon—bunga tiga warna yang terdiri dari mawar merah, melati putih, dan kenanga. Di atas meja, kembang setaman dengan tujuh jenis bunga, termasuk mawar merah, melati, cempaka putih, dan sedap malam, juga telah dipersiapkan. Saya bisa merasakan aroma bunga dan rempah yang kuat di udara, menambah nuansa sakral yang ada di ruangan ini. Tapi di balik semua itu, saya merasakan kegelisahan yang terus mengusik pikiran saya.
Bagaimana jika apa yang saya lakukan di sini nanti dinilai melanggar batas keagamaan saya? Bisikan-bisikan yang sering kali didengar Mbak Ipah dalam memilih bunga dan rempah-rempah apa yang harus dipakai untuk sesajian, kini terdengar seperti sebuah panggilan yang tidak saya pahami, tetapi tidak bisa saya abaikan. Saya terjebak di antara dua dunia—kearifan lokal yang kaya makna dan keyakinan agama yang menuntut kesetiaan penuh.
Setelah semua sesajian siap, Mbak Ipah mulai membakar dupa dan kemenyan, mengisi ruangan dengan aroma yang khas, membawa nuansa sakral yang menghubungkan dunia mereka dengan dunia para leluhur. Saya merasakan sensasi yang aneh, seolah-olah ada sesuatu yang berusaha menarik saya lebih dalam ke dalam tradisi ini, tetapi saya terus menahan diri, mencoba mengingat siapa saya dan apa yang saya wakili. Sesaji ini kemudian diletakkan di ruangan khusus di Sumber Air Wanoro, tempat beberapa arca kuno ditempatkan sebagai simbol penghormatan.
****
Setelah rombongan kami menikmati sesajian, aroma dupa yang masih samar-samar tercium bercampur dengan wangi nasi kuning yang hangat, Mbak Ipah dengan cekatan mulai membagi-bagikan sisa makanan sesaji. “Mas, tolong ambilkan tempeh yang di sebelah itu,” katanya dengan lembut, suaranya tenang, seakan melodi alami yang menyatu dengan alam sekitar.
Cak Tarno mengangguk, menyerahkan tempeh anyaman bambu itu ke tangan istrinya yang terampil. “Ikan-ikan di sendang pasti sudah menunggu,” ucapnya sambil tersenyum kecil, senyuman yang seolah memiliki makna lebih dari sekadar rutinitas biasa. Ia pun mengambil beberapa potong nasi kuning beserta lauk pauknya, lalu berjalan menuju sendang yang tenang di kejauhan.
Langkah kaki mereka terasa mantap di atas tanah yang lembab, setiap langkah seakan menyatu dengan getaran alam di sekitarnya. Di tepi Sendang Wanoro, Mbak Ipah berhenti sejenak, mencium aroma air yang segar dan menyegarkan, sebuah aroma yang selalu mengingatkannya pada kehadiran leluhur. Dia mulai menjatuhkan potongan nasi kuning dan lauk pauk itu ke dalam air, menciptakan riak kecil yang segera disambut oleh ikan-ikan dengan gesit.
“Ini untuk kalian,” bisik Mbak Ipah, seolah berbicara langsung kepada ikan-ikan yang muncul ke permukaan, matanya memancarkan rasa kasih sayang yang mendalam. Ikan-ikan itu, dengan sisik yang berkilauan di bawah cahaya matahari pagi, melahap makanan dengan lahap. Suara lembut air yang berkecipak bercampur dengan gemerisik angin di dedaunan.
Sementara itu, Cak Tarno bergerak menuju area di dekat pohon-pohon besar di tepi sendang, tempat monyet-monyet sering berkeliaran. “Ayo, waktunya makan,” serunya dengan nada rendah namun hangat. Monyet-monyet itu segera berdatangan, mata mereka yang penuh rasa ingin tahu mengawasi Cak Tarno saat dia meletakkan sayur, mie, dan nasi di tanah. Mereka mulai berebut, tapi Cak Tarno hanya tersenyum, menonton adegan itu dengan tenang.
Ritual ini lebih dari sekadar memberi makan makhluk-makhluk yang hidup di sekitar sumber air. Ini adalah bentuk komunikasi mereka dengan alam. Mbak Ipah dan Cak Tarno menjaga keseimbangan ini seperti menjaga ritme nafas mereka sendiri—begitu alami, namun penuh makna. Bau harum kembang setaman yang masih tersisa, suara angin yang berhembus lembut, dan kehadiran makhluk-makhluk kecil yang berkeliaran di sekitar mereka, semuanya mengingatkan saya bahwa keseimbangan ini bukan hanya rutinitas, tetapi esensi dari kehidupan mereka sehari-hari.
Sementara pikiran saya terus bergulat dengan dilema yang semakin menghimpit. Saya ingin para mahasiswa bisa melihat dan memahami kearifan lokal ini secara langsung, agar mereka bisa belajar tentang keragaman tradisi dan praktik keagamaan. Namun, bagaimana jika mereka melihat saya sebagai pendukung ritual yang dianggap menyimpang dari ajaran agama? Bagaimana jika hal ini malah menjadi boomerang bagi saya.
Saya menatap Mbak Ipah yang kini sedang membagikan nasi kuning dan lauk-pauknya kepada ikan-ikan di sendang. Suara air yang berkecipak saat ikan-ikan melahap makanan itu bercampur dengan gemerisik angin di dedaunan, menciptakan suasana yang menenangkan, namun juga penuh dengan ketegangan batin bagi saya. “Ini untuk mereka, Mbak Wiwin. Mereka juga berhak menikmati hasil bumi yang telah diberkati oleh leluhur kita,” kata Mbak Ipah, suaranya begitu tulus dan penuh keyakinan.
Saya merasa terjebak di antara dua dunia—kearifan lokal yang kaya akan makna dan keyakinan agama yang menuntut kesetiaan penuh. Di satu sisi, saya tahu betapa pentingnya ritual ini bagi komunitas dan betapa besar nilai-nilai yang bisa dipelajari dari sini. Apakah saya sedang melanggar batas-batas yang seharusnya saya patuhi? Ataukah ini adalah kesempatan untuk memperluas pemahaman saya dan mahasiswa-mahasiswa saya tentang dunia yang lebih luas dan kompleks?
Pada awalnya, saya memutuskan untuk berbicara dengan mahasiswa-mahasiswa saya tentang tradisi ini, tanpa harus sepenuhnya terlibat dalam ritual. Saya akan membawa mereka ke Sumber Air Wanoro, mengajak mereka mengamati bagaimana komunitas ini menjalankan ritualnya, tetapi saya akan memastikan bahwa mereka memahami konteks budaya dan agama yang lebih luas. Saya akan menjelaskan bahwa meskipun kita bisa belajar banyak dari kearifan lokal, kita juga harus mempertimbangkan keyakinan kita sendiri.
Saya berharap bisa menemukan keseimbangan yang selama ini saya cari, dan mungkin, seperti Mbak Ipah yang dengan tenang menjaga keseimbangan antara alam dan manusia, saya juga bisa menemukan cara untuk menjaga keseimbangan dalam hidup saya sendiri.
“Sungguh indah, ya,” saya akhirnya berkata setelah melamun cukup lama, setengah untuk diri sendiri, setengah lagi berharap mereka mendengar.
Mbak Ipah menoleh dan tersenyum, matanya penuh pengertian. “Ini semua adalah bagian dari tugas kami, menjaga agar yang di atas dan yang dibawah tetap seimbang.”
Saya hanya bisa mengangguk, merasakan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah saya, membawa serta aroma nasi kuning yang masih menguar di udara. Dalam hati, saya bertanya-tanya, apakah saya juga bisa menemukan keseimbangan dalam dilema yang terus menghantui saya ini, atau apakah saya akan selalu merasa terombang-ambing di antara dua dunia yang tampaknya tak pernah bisa bersatu.
Saya memandang mereka, Mbak Ipah dan Pak Tarno, pasangan yang telah menjaga tradisi ini turun-temurun. Tapi bisakah saya benar-benar memahami dan menghargai tradisi ini tanpa merasa bahwa saya sedang melanggar sesuatu yang lebih besar dalam diri saya? Pertanyaan ini terus mengganggu pikiran saya, membuat saya ragu apakah saya berada di tempat yang tepat atau apakah saya seharusnya menarik diri sebelum terlambat.
Mungkin, seperti Mbak Ipah yang menyimpan semua bisikan di dalam hatinya, saya juga harus menyimpan dilema ini sendiri, membiarkannya menjadi bagian dari perjalanan saya dalam memahami dunia yang penuh dengan kontradiksi ini. Tapi entah mengapa, saya merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan jawabannya mungkin tidak akan mudah ditemukan.
***
Setelah membuat keputusan untuk membawa mahasiswa-mahasiswa saya ke Sumber Air Wanoro , saya merasa lega, tetapi juga penuh dengan rasa cemas. Ini adalah langkah besar bagi saya, memasuki wilayah yang tidak sepenuhnya saya pahami, dan menantang keyakinan pribadi yang telah saya pegang teguh selama bertahun-tahun. Saya tahu bahwa apa yang akan kami hadapi di sana bukan hanya sebuah pengalaman belajar biasa, tetapi juga pertemuan dengan dunia yang berbeda—dunia yang dipenuhi dengan simbol-simbol, ritual, dan kepercayaan yang sangat dalam.
Saya ingat ketika mengawali semuanya di depan kelas di awal semester sebulan yang lalu. “Kita akan mengunjungi Sumber Air Wanoro untuk memahami lebih dalam kearifan lokal dalam menjaga ekologi sumber air dan bagaimana tradisi leluhur masih dijaga hingga hari ini. Ini adalah kesempatan bagi kalian untuk melihat langsung bagaimana ritual dan kepercayaan tradisional berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di sana,” kata saya, mencoba terdengar percaya diri meskipun hati saya masih dipenuhi dengan keraguan.
Mahasiswa-mahasiswa saya tampak antusias, tetapi saya bisa merasakan beberapa dari mereka juga mengalami kebingungan yang sama seperti yang saya rasakan. Salah seorang mahasiswa, Dina, mengangkat tangan dan bertanya, “Bu Wiwin, bagaimana kita harus menyikapi ritual yang mungkin bertentangan dengan ajaran agama kita?”
Saya menarik napas dalam-dalam, berusaha menyusun jawaban yang bijak. “Kita akan mendekati pengalaman ini dengan hati terbuka dan rasa hormat terhadap tradisi yang berbeda. Ingatlah bahwa tujuan kita di sini adalah untuk belajar dan memahami, bukan untuk menghakimi. Kalian tidak diwajibkan untuk mengikuti ritual, tetapi untuk mengamati dan mempelajari nilai-nilai yang ada di baliknya.”
Dengan jawaban itu, saya berharap bisa memberikan sedikit ketenangan kepada mereka, meskipun saya sendiri masih merasakan beban berat dari keputusan ini. Setelah persiapan selesai, kami berangkat menuju Sumber Air Wanoro, membawa serta harapan untuk menemukan pemahaman yang lebih dalam, namun juga kecemasan tentang bagaimana kami akan menavigasi perbedaan ini.
***
Ketika pagi itu kami tiba di Sumber Air Wanoro, suasana di sekitar sendang begitu tenang, seolah menyambut kami dengan keheningan yang penuh makna. Matahari pagi menyinari air sendang yang jernih, memantulkan cahaya keemasan yang menciptakan pemandangan indah namun misterius. Mbak Ipah dan Pak Tarno sudah menunggu kami di sana, menyambut dengan senyum hangat seperti biasa.
“Selamat datang, Bu Wiwin, mahasiswa-mahasiswa sekalian,” kata Mbak Ipah sambil menyiapkan segala sesuatunya untuk ritual yang akan segera dimulai. “Hari ini, kita akan menjalankan ritual sesaji seperti biasanya. Bapak, Ibu, dan Adik-adik mahasiswa bisa mengamati dari dekat, tapi mohon tetap menjaga sikap hormat.”
Kami semua mengangguk, dan saya merasa sedikit lega bahwa mahasiswa-mahasiswa saya tampak cukup nyaman dengan suasana ini. Namun, saat ritual dimulai, saya segera menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda. Ketika dupa mulai dibakar dan aroma khas mulai menyebar, saya melihat beberapa mahasiswa mulai terlihat gelisah. Mata mereka yang tadinya penuh antusiasme kini tampak ragu, dan saya bisa merasakan adanya pergeseran energi di antara kami.
Saat Mbak Ipah mulai menata sesaji—tumpeng nasi kuning, lauk pauk, kopi hitam, dan kembang telon—saya mendengar bisikan-bisikan di antara mahasiswa. Mereka berbicara pelan, tetapi jelas ada kebingungan dan ketidaknyamanan yang mulai muncul. Salah satu mahasiswa, Fajar, tiba-tiba menghampiri saya dengan wajah cemas.
“Bu Wiwin, ini… saya merasa ini salah,” bisiknya, suaranya bergetar. “Bukankah ini bertentangan dengan apa yang diajarkan kepada kita? Saya tidak tahu apakah saya bisa tetap di sini.”
Kata-kata Fajar menampar saya dengan kenyataan yang sulit dihindari. Saya tahu bahwa ini mungkin terjadi, tetapi mendengarnya langsung dari mahasiswa saya membuat saya kembali terjebak dalam dilema yang sama. Saya harus memutuskan bagaimana menanggapi situasi ini tanpa mengabaikan keyakinan pribadi mahasiswa-mahasiswa saya, namun juga tanpa menghancurkan kesempatan belajar yang berharga ini.
Saya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri dan Fajar. “Fajar, saya mengerti apa yang kamu rasakan. Saya juga merasakannya,” jawab saya dengan jujur. “Tapi ingatlah, kita di sini untuk belajar. Kamu bisa mengamati dari jauh jika merasa lebih nyaman. Tidak ada paksaan untuk tetap berada di dalam ritual ini.”
Fajar mengangguk pelan, meskipun saya bisa melihat bahwa dia masih merasa tidak nyaman. Saya menyadari bahwa ini adalah halangan pertama yang harus kami hadapi—ketidaknyamanan dan kebingungan yang muncul dari konfrontasi langsung dengan tradisi yang sangat berbeda dari apa yang kami yakini. Namun, saya juga tahu bahwa bagaimana kami menanggapi halangan ini akan menentukan arah perjalanan kami selanjutnya.
Ritual berlanjut, dengan Mbak Ipah dan Pak Tarno melantunkan doa-doa dan mengatur sesaji di depan arca-arca kuno. Sementara itu, saya berdiri bersama mahasiswa-mahasiswa saya, berusaha memberikan dukungan moral sambil tetap menjaga jarak dari ritual. Ini adalah pengalaman yang penuh tantangan, baik bagi mereka maupun bagi saya. Kami berada di batas antara dunia modern dan tradisi kuno, antara keyakinan agama dan kearifan lokal, dan saya tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Setiap langkah ke depan akan menjadi ujian bagi tekad dan keberanian kami untuk memahami dunia yang lebih luas dan kompleks ini.
Ritual di Sumber Air Wanoro berlanjut, dan semakin lama saya mengamati, semakin dalam saya terjerat dalam pemikiran yang kompleks tentang hubungan antara makanan, budaya, dan kepercayaan. Saat Mbak Ipah dengan penuh ketelitian menata sesaji tumpeng nasi kuning yang harum, bubur merah putih, dan ayam ingkung, saya mulai melihat setiap elemen memiliki makna simbolis yang mendalam, mewakili hubungan yang rumit antara manusia, alam, dan leluhur. Saya sendiri merasakan kekaguman yang mendalam—ini adalah pengetahuan dan kebijaksanaan yang tidak bisa diajarkan di dalam kelas, tetapi harus dialami dan dirasakan langsung.
Tepat ketika saya merasa bahwa kami mungkin telah menemukan jalan tengah yang harmonis antara pengamatan ilmiah dan penghormatan terhadap tradisi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tiba-tiba, seorang mahasiswa, Andi, yang dikenal cukup vokal, melangkah maju. “Bu Wiwin, saya tidak bisa melanjutkan ini,” katanya dengan nada tegas, meskipun suaranya sedikit bergetar. “Ini bertentangan dengan semua yang telah diajarkan kepada saya tentang agama. Saya menghormati tradisi ini, tapi saya tidak bisa ikut berpartisipasi, bahkan hanya sebagai pengamat.”
Kata-kata Andi membuat saya terkejut dan bingung. Saya menyadari bahwa saya berada di tengah-tengah dilema yang lebih besar dari yang saya bayangkan. Bagaimana saya bisa melanjutkan penelitian ini dan tetap menghormati keyakinan mahasiswa saya? Apakah saya telah membuat kesalahan besar dengan membawa mereka ke sini?
Dalam keheningan yang menyusul pernyataan Andi, saya merasa seperti telah kalah. Semua persiapan, semua upaya untuk menemukan keseimbangan antara tradisi, budaya ilmiah, dan agama, tampaknya sia-sia. Mahasiswa-mahasiswa lainnya mulai tampak gelisah, dan saya bisa merasakan bahwa otoritas saya sebagai dosen mungkin akan diragukan. Ini adalah momen ketika saya merasa bahwa saya telah gagal dalam menjalankan misi ini.
Namun, justru di tengah perasaan kalah itulah, Mbak Ipah tiba-tiba melangkah maju, memberikan solusi yang tak terduga. “Bu Wiwin,” katanya dengan lembut namun tegas, “saya mengerti perasaan Adik mahasiswa ini. Mungkin, kita bisa melihat ritual ini bukan sebagai sesuatu yang harus diterima atau ditolak secara mutlak, tetapi sebagai sebuah studi tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dan leluhur mereka. Makanan yang kami sajikan bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk makhluk lain di sekitar kami. Ini adalah cara kami menjaga keseimbangan dalam kehidupan.”
Dia kemudian mengajak Andi dan mahasiswa lainnya untuk lebih dekat untuk mempelajari setiap elemen sesaji. “Lihatlah nasi kuning ini,” katanya kepada Andi, “ini bukan hanya makanan, tetapi simbol yang mewakili kesuburan tanah, hasil dari kerja keras petani. Apa yang kita lakukan di sini adalah cara kami berkomunikasi dengan alam, memberikan kembali apa yang telah kami terima.”
Andi tampak terdiam, merenungkan kata-kata Mbak Ipah. Saya melihat perubahan kecil dalam sikapnya—meskipun dia masih merasa tidak nyaman, ada pengertian baru yang mulai muncul. Ini mungkin bukan kemenangan yang saya harapkan, tetapi ini adalah awal dari pemahaman yang lebih dalam. Mungkin kami belum sepenuhnya mencapai kesepahaman, tetapi saya merasa bahwa kami telah melangkah maju ke arah yang benar.
Setelah itu, suasana menjadi lebih tenang. Mahasiswa-mahasiswa saya mulai mendekati sesaji dengan cara yang berbeda—bukan sebagai ritual yang harus mereka takuti, tetapi sebagai objek studi yang kaya akan nilai-nilai budaya.
“Saya tahu bahwa apa yang kita lakukan di sini bisa menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan penolakan,” kata saya dengan jujur. “Tapi saya ingin kalian memahami bahwa tujuan kita adalah untuk belajar, bukan untuk mengubah keyakinan atau nilai-nilai yang sudah kita pegang. Makanan yang kita lihat dan pelajari di sini adalah bagian dari warisan budaya yang kaya, dan itu juga merupakan bagian dari studi kita.”
Salah satu mahasiswa, Ratih, mengangkat tangannya dan bertanya, “Bu, apakah kita harus mengubah cara kita melihat ritual ini sekarang? Apa yang sebaiknya kita lakukan?”
Saya mengangguk pelan, mencoba meresapi pertanyaan itu. “Kita harus tetap kritis dan bijak dalam menyikapi semua ini, Ratih. Kita bisa terus belajar, tapi juga harus tetap menghormati keyakinan kita sendiri. Mari kita jadikan ini sebagai kesempatan untuk memahami, bukan untuk menghakimi.” Dengan kata-kata itu, saya berharap bisa menenangkan keresahan yang muncul di antara mahasiswa saya. Namun, saya tahu bahwa tantangan ini belum berakhir. Ketegangan justru menguat saat makanan sesajen ritual dibagikan kepada rombongan kami.
***
Kami mungkin berada di tengah krisis, tetapi saya, ini adalah saat yang tepat untuk menguji tekad dan keberanian kami dalam mengeksplorasi dunia yang penuh dengan keindahan dan kompleksitas ini. Dari sini, kami akan bangkit kembali, lebih kuat dan lebih bijak dalam perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kearifan lokal dan kuliner sebagai cerminan dari budaya dan identitas. Para mahasiswa mulai mencatat setiap detail dari ritual sajen, fokus pada elemen-elemen kuliner yang kaya akan simbolisme. Kami tidak lagi merasa terjebak antara dua dunia, melainkan mulai melihat bagaimana tradisi kuliner ini berperan sebagai jembatan yang menghubungkan manusia dengan alam, leluhur, dan kehidupan sehari-hari.
Setelah mengikuti ritual yang khusyuk dan penuh makna ini, saya bersama para mahasiswa , mengamati dengan seksama bagaimana tradisi kuliner dan spiritualitas lokal ini berbaur menjadi satu. Ritual sesaji di Taman Wisata Sumber Wanoro bukan hanya tentang makan bersama atau memberi makan monyet, melainkan bagaimana sebuah komunitas menjaga identitas dan kesejahteraan mereka melalui makanan, doa, dan penghormatan terhadap alam dan leluhur.
***
Saya merenungkan kembali apa yang saya saksikan dan pelajari hari itu. Sesajen, yang sering dianggap sebagai praktik mistis atau klenik oleh segelintir orang, sebenarnya adalah bagian dari upaya masyarakat untuk mendekatkan diri dengan entitas di luar diri mereka secara spiritual. Melalui pengamatan kami, saya mulai memahami bahwa munculnya anggapan sesajen sebagai perbuatan yang mengarah ke mistis atau klenik sering kali berasal dari sikap yang tidak terbuka terhadap perbedaan keyakinan. Di Sumber Wanoro, saya melihat dengan jelas, rasa dan tradisi bisa menjadi jembatan antara dunia nyata dan spiritual, antara manusia dan alam. Di sini, tradisi ritual sesajen ini tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memperkuat ikatan komunitas, mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, dan menghormati kehidupan dalam segala bentuknya.
Kami kembali ke kampus dengan pemahaman yang lebih dalam tentang betapa kayanya budaya dan spiritualitas yang tersembunyi di balik tumpeng dan setiap jenis ubo rampenya di setiap ritual yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. Kami belajar, dalam setiap tradisi, bahkan yang tampak asing atau berbeda, selalu ada makna yang bisa digali, dihargai, dan dipelajari—bukan untuk dihakimi, tetapi untuk dipahami dengan hati yang terbuka.
***
Kreator : Latifah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Sesaji Rasa dari Sumber Wanoro
Sorry, comment are closed for this post.