Malam itu adik kecilku, fatih namanya, nangis terus, tidak bisa tidur. Meronta ronta minta keluar rumah. Sudah larut malam, diluar sangat gelap, sebab memang desa kami belum terpasang listrik, jadi masih alami.
Fatih adik kecilku sudah dikasih ASI sama Ibu, masih saja nangis. Kemudian badan fatih dilucuti bajunya kemudian ditengkurapkan diatas pangkuan Ibu, tangan Ibu sangat trampil memijat mijat dan mengurut sekujur badan Fatih.Memakai bawang merah yang diremas diberi minyak kayu putih.
Fatih masih saja nangis kejer sambil tanganya menunjuk nunjuk keluar.
Kemudian Ibu mengambil kain gendongan yang disangklukkan dipundak. Lucu, Fatih adik kecilku langsung diam dan terkekeh kekeh.Dia masih usia 8 bulan , tapi sudah mengerti kalau Ibu akan menggendong dengan kain gendongan, dia juga mengerti biasanya Ibu malam malam begini akan membawa keluar rumah untuk meredam tangis adik. Di ayun ayun , bibir Ibu tak henti hentinya bersholawat atau bernadzoman sebagai pengantar tidur adik kecilku, adeeem rasanya.
Aku masih duduk di kls 5 MI ( Madrasah Ibtida’iyah) setingkat SD . Rumahku memang dipelosok desa, listrik saja masih belum terpasang, jadi masih alami sekali , bangunan rumah megah jarang dijumpai, pepohonan masih sangat rindang. Hampir setiap kepala keluarga masih punya tanah yang luas, sawah atau perkebunan, baik perkebunan teh, kopi atau pisang.
Siang ini aku bermain petak umpet dihalaman depan rumah, dikanan kiri rumah terhampar pohon pisang yang ditanam oleh Ayahku.Aku senang bermain petak umpet disana, karena saking rimbunya setiap gerombolan pohon pisang , bisa buat sembunyi.
Siapa yang sembunyi disela sela pohon pisang, cukup ditutup dengan daun kering , maka sudah tersamarkan , aliyas tidak kelihatan.
” Eh Din , jangan sembunyi dipohon pisang itu…..” Rozi mengingat Didin.
” Emangnya kenapa?” tanya Didin yang tak mengerti maksudnya.
” Tubuhmu bakal ada yang mengangkat, terus badanmu bakal dilempar jauh” jawab Rozi.
Didin langsung lari meninggalkan gerombolan pohon pisang itu, mencari tempat persembunyian lain.
Untuk yang kesekian kali Didin mendengar cerita tentang segerombolan pohon pisang yang menurut warga angker.
Didin berlari pulang ingin meyakinkan pada Ibu.
” Ibu, benarkah gerombolan pohon pisang itu angker”
” Kamu percaya temanmu?” tanya Ibu, namun Didin hanya diam, ragu untuk menjawab, sebab Didin merasa tak bisa membenarkan Ibunya.
Didin ragu.
” Ibu,…”
” Ada apa lagi, wong kamu itu dibohongi temanmu”
” Tapi Didin takut bu”
” Takut apa”
” Seminggu yang lalu, ketika Didin pulang dari Musholla, Didin melihat,…” kalimatnya tidak dilanjutkan , takut kalau hal itu akan terjadi beneran.
” Melihat opo to le, cobo cerita ke Ibu” dirangkulnya putra barep dan didudukkan disebelahnya, kemudian dirangkul pundak Didin agar putranya tidak jadi penakut, seolah memberi kekuatan.
” Seminggu yang lalu bu, Didin melihat”
” Iya,…..terus” pancing Ibu.
” Didin takut bu, kata teman teman, pocong dan kunti yang bergelayutan dipohon pisang itu memang ada”
” Siapa yang sudah pernah melihat pocong dan kunti dipohon pisang itu”
” Semua teman main, Didin juga pernah melihat samar2, tapi Didin gak mau melihat, hanya melirik saja”
” Terus bentuknya seperti apa”
” Putih memanjang, bergelayutan diujung pohon pisang yang paling tinggi, ada didua pohon berayun ayun, iiih badan Didin merinding”
” Ya sudah, sekarang tidurlah, jangan lupa berdo’a , semoga Alloh melindungi hati hambanya yang beriman dari ganngguan syaithon, …..sudah, pejamkan mata” didekap erat tubuh Didin dan diselimuti. ” Telapak tangan dan kakinya dingin” gumam hati Ibu.
” Besok malam Didin dan adik akan Ibu ajak jalan” dibisikkan pesan itu ketelinga , pelan sekali, Didin mulai mengantuk, entah mendengar atau tidak.
Inun adalah seorang Ibu yang berhati lembut , mendidik anak anaknya dengan penuh ketegaran.
Malam ini sudah jam 21,00, Fatih bayi kecilnya belum bisa tidur, sejak habis maghrib rewel terus.
Tangan lembut Inun menepuk nepuk perut Fatih, barang kali masuk angin, ternyata tidak.Diletakkan punggung tangan Inun kekepala, tengkuk, leher, kuping dan terahir diremas telapak kaki Fatih, ternyata suhu badan normal.
Sejak Galeh, suami Inun 2th yang lalu dipanggil sang maha hidup, Inun harus berjuang sendiri menjadi wanita kuat, mandiri, tanpa meninggalkan kelembutan hati seorang Ibu. Menghidupi sendiri dan mendidik tanpa didampingi suami.
Suasana diluar rumah masih samar terang bulan , karena masih menginjak tanggal pertengahan bulan jawa atau arab. Jadi walau kampong tanpa diterangi listrik , masih bisa menikmati terangnya bulan.
Malam ini Inun ingin membuktikan keresahan dan ketakutan Didin, tentang pocong dan kunti.
Fatih masih menangis dan rewel entah apa yang diinginkan . Tanganya menunjuk nunjuk minta keluar rumah. Inun mengambil gendongan lalu membawa Fatih keluar rumah
” Cekrek” grendel pintu dibuka.
” Ibu Didin ikut”
” Ya sudah, ayo turun” Didin langsung menghampiri Ibunya sambil memegangi daster Inun , beriringan keluar rumah. Senter dan kayu menemani.
” Ibu, diluar terang bulan, kenapa Ibu bawa senter dan kayu”
” Didin ikuti Ibu saja ya nak”
” Baik bu, Didin pegang baju Ibu saja”
” Baik”
” Memangnya Ibu mau kemana?”
” Menidurkan adik”
Udara terasa dingin diluar rumah. Inun, Didin , Fatih berjalan disamping rumah. Inun ingin membuktikan apa yang diceritakan Didin putranya.
Sebenarnya hati Inun dag dig dug, tetapi Inun harus bisa menghilangkan rasa takut pada anaknya.Tangan Didin tak pernah lepas pegangan daster Ibunya.
Angin malam berhembus diiringi suara jangkrek, nyaring sekali.
” Bu lihat, pohon pisang itu benar2 bergerak” . Didin menarik daster Ibunya, bukan berarti Inun tidak merasakan apa yang dirasa anaknya, namun Inun harus bisa menguasai diri.Ditegarkan hatinya, untung Fatih sudah tidur dalam dekapanya.
” Didin berani sayang?”
” Kalau sama Ibu, Didin berani” jawabnya.
” Baik, kalau begitu mari ikut Ibu”
Hati Inun tal bisa dibohongi, ikut berdetak kencang, dam dem, dam dem tidak tenang, Namun sebagai Ibu harus kuat.
Perlahan Inun menggandeng Didin mendekat pohon pisang, mengendap endap. Dibisikkan ketelinga anaknya.
” Bacalah Basmalah yang keras Din, agar setan mengecil dan hilang”. Dengan spontan Didin berteriak.
” Bismillaahirrohmaanirrohiim” senter yang berukuran besar itu langsung diarahkan kepohon pisang yang terlihat bergerak gerak. Dua pasang mata Inun dan Didin tajam memperhatikan .
Angin malam semilir menggerakkan dedaunan sekitar, termasuk daun pisang.Mata Inun semakin lebar, tajam memperhatikan bayangan putih yang terus bergerak dengan gerakan yang sama.Kekanan kiri , kanan kiri.
” Aneh, kok tidak mendekat dan tidak menjauh” batin Inun. Senter semakin didekatkan pada bayangan putih.
” Brok, bug bug bug” Inun kaget, Didin sudah bertindak lebih dulu. Bayangan putih diatas pohon itu telah dipukuli dengan kayu panjang.
” Aneh pula, bayangan putih itu tidak melawan”
” Bug ,bug, bug, grusak brok” semakin keras Didin mengobrak abrik hingga pohon pisang ambruk, bayangan putih itu telah hilang.
” Sudah Ibu, sudah aman”
” Alhamdulillah” jawab Inun
” Terus pocong dan kunti tadi kabur kemana bu”
” Tuh , lihat” Inun menunjuk dua daun pisang muda yang ujungnya patah karena dipakai bersarang kelelawar. Kini kelelawar telah beterbangan.
Rupanya yang dianggap pocong itu adalah pupus daun pisang yang patah terkena sinar rembulan, bergerak gerak karena ulah angin dan kelelawar.
Comment Closed: SETAN AKAN KABUR.
Sorry, comment are closed for this post.