Aku tidak pernah menyangka bahwa kehilangan sosok ibu adalah luka yang paling dalam di dunia ini. Dulu, aku selalu menganggap Ibu sebagai wanita terkuat. Tak pernah mengeluh, selalu siap merawat Ayah yang sakit tanpa lelah. Namun, setelah kepergiannya, aku baru menyadari betapa berat beban yang selama ini ia pikul, betapa banyak air mata yang mungkin ia sembunyikan demi melihat anak-anaknya tetap tersenyum.
Namaku Shiren, anak bungsu dari lima bersaudara. Ketiga kakakku sudah berkeluarga, sementara Yanto, kakakku yang keempat, tinggal bersama kami. Sebagai anak bungsu dalam keluarga patrilineal, aku merasa punya tanggung jawab lebih besar untuk menjaga kedua orang tuaku, terutama setelah Ayah mulai menderita alzheimer sejak tahun 2000. Penyakit ini perlahan-lahan merenggut ingatannya, menghapus kenangan, dan menjadikan Ayah seperti sosok asing di rumahnya sendiri.
Puncaknya terjadi ketika Yanto gagal menyelesaikan kuliahnya. Enam tahun waktu kuliah dihabiskan tanpa hasil, hingga akhirnya ia di-drop out dari kampus. Ayah begitu terpukul. Aku masih ingat wajahnya yang penuh kekecewaan, seolah melihat harapan yang perlahan pudar. Sejak saat itu, kondisi Ayah memburuk dengan cepat. Ia tak lagi bisa beraktivitas sendiri, dan perannya sebagai kepala keluarga seolah lenyap. Beban itu sepenuhnya jatuh ke pundak Ibu.
Namun, Ibu tak pernah mengeluh. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, memandikan Ayah, dan membersihkan rumah. Malamnya, ketika kami sudah terlelap, Ibu masih terjaga, memastikan Ayah tidur dengan nyaman. Terkadang, ia harus bergantian menidurkan Ayah yang gelisah, menenangkan saat Ayah tiba-tiba bangun di tengah malam, dan mengelap keringat dinginnya dengan penuh kasih.
Aku yang saat itu masih muda, sering kali tak peduli. Sibuk bekerja, mengejar karir, dan sesekali pergi liburan bersama teman-teman di akhir pekan. Aku pikir Ibu akan baik-baik saja. Ia selalu tampak sehat, selalu ceria, selalu penuh energi. Tapi semua itu berubah pada suatu malam yang kelam.
Malam itu, seisi rumah dikejutkan oleh suara keras dari kamar Ibu. Tini, kakakku berlari masuk ke kamar Ibu. Aku menyusul di belakangnya, napasku terengah. Di sana, Ibu terbaring tak sadarkan diri di lantai, tubuhnya dingin, wajahnya pucat. Panik menyergap, kami mencoba membangunkannya, mengusap wajahnya, menepuk-nepuk pipinya. Namun tak kunjung sadar.
“Shiren, tolong pergi ke rumah Om Yohan barangkali bisa pakai mobilnya untuk antarkan Ibu ke rumah sakit.” teriak Tini, suaranya bergetar.
Aku bergegas keluar rumah. Kakiku seperti agak susah melangkah, persendiannya serasa tak punya kekuatan. Setelah mengutarakan maksud kedatangan saya ke Om Yohan akhirnya beberapa menit kemudian mobil tersebut membawa Ibu ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di sana, dokter langsung memeriksa Ibu, memasangnya dengan berbagai alat medis. Kami hanya bisa berdiri di sudut ruangan, menahan napas, berharap keajaiban datang.
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang perawatan dengan wajah serius.
Dokter menarik napas dalam sebelum berkata, “Ibu Anda menderita diabetes, dan saat ini kadar gulanya sangat tinggi. Itulah yang menyebabkan ia kehilangan kesadaran. Kami akan berusaha menstabilkan kondisinya, tapi ini cukup serius.”
Kata-kata itu menghantamku seperti petir. Diabetes? Bagaimana mungkin? Selama ini, Ibu tak pernah mengeluh sakit, tak pernah memperlihatkan tanda-tanda penyakit serius. Ia selalu tampak sehat, selalu ceria, selalu penuh energi.
Setelah diberikan suntikan insulin, akhirnya Ibu sadar. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya kembali hadir saat melihat kami.
“Alhamdulillah, Bu, akhirnya Ibu sadar,” bisik Tini sambil menggenggam tangan Ibu.
Aku mengusap mata yang sembab, menahan air mata yang hendak tumpah. “Gulanya sudah normal, Bu. Ibu akan baik-baik saja,” kataku berusaha menyemangati.
Ibu hanya tersenyum lemah. “Ibu ingin duduk,” katanya pelan.
Aku dan Tini segera membantu Ibu duduk, menyandarkannya di dadaku.
“Siapa yang menjaga ayah kalian di rumah?” lanjutnya lagi.
“Yanto, Bu. Ibu tidak usah memikirkan ayah dulu, kan Ibu juga lagi sakit.” Sambarku.
Begitulah Ibuku. dia selalu ingin memastikan anggota keluarganya aman. Padahal dia juga sedang tidak baik-baik saja.
Ibu mulai bercerita, suaranya pelan namun penuh makna. Ia bercerita tentang pengorbanan, tentang ketulusan, tentang kekuatan seorang ibu yang tak pernah menyerah meski badai menerpa.
“Kalian tahu, hidup ini memang berat, tapi kita tak boleh menyerah. Sebagai anak perempuan, kalian punya tanggung jawab besar. Jangan pernah tinggalkan keluarga, jangan pernah lupa pulang,” katanya sambil menatap wajahku dan kak Tini bergantian dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Aku hanya bisa terdiam, hatiku bergetar mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya. Mungkin ini kali pertama aku benar-benar melihat sisi lain darinya, sisi yang penuh luka tapi selalu berusaha tegar.
Ibu lalu pamit istirahat, katanya mengantuk mau tidur. Dia juga menyarankan agar saya dan kakak saya juga istirahat karena sejak semalaman tidak tidur. Karena merasa sangat mengantuk, saya izin ke kak Tini untuk berbaring di ruang tunggu sebentar. Namun, saat aku baru terlelap, tiba-tiba Kak Tini berteriak memanggil Suster.
“ Suster tolong, kenapa garis monitornya lurus?” saya berlari masuk.
“Bu… Ibu, kenapa diam? Bu, bangun!” teriakku panik.
Aku sentuh tangan dan kakinya begitu dingin, napasnya hilang.
Dokter datang dengan peralatan medis, namun semua sudah terlambat. Ibu telah pergi. Ia pergi untuk selamanya di hari Jumat yang tenang, dengan senyum di bibirnya, meninggalkan kami dengan ribuan kenangan.
Setelah kepergian Ibu, aku menggantikan perannya merawat Ayah. Karena kakakku sudah berkeluarga, dia harus mengurus suami dan anak-anaknya. Tidak elok juga kalau sering disuruh menginap mengurus ayah. Setiap hari, aku bangun lebih awal, menyiapkan sarapan, memastikan Ayah bersih dan nyaman sebelum berangkat kerja. Kadang aku sampai terlambat ke kantor karena Ayah rewel, dan itulah saat-saat terberat yang harus kujalani. Ketika lelah itu menumpuk dan hatiku terasa berat, aku teringat pada Ibu. Rasa putus asa juga sering menghampiri. Tetapi saya kembali sadar bahwa “dahulu orang tua saya merawat saya dan kakak-kakak saya agar saya bisa tumbuh menjadi dewasa, tetapi saya merawat mereka menunggu Allah memanggil mereka, merupakan bakti seorang anak kepada orang tua meskipun rasanya tak cukup membalas jasa mereka.
“Bu, aku baru menyadari betapa berat beban yang kau pikul selama ini. Betapa lelahnya dirimu, betapa besar cintamu. Maafkan aku yang pernah menganggapmu kuat tanpa batas, seolah-olah kau tak pernah butuh istirahat. Aku berjanji untuk melanjutkan perjuanganmu. Mencintai tanpa syarat, merawat tanpa pamrih, dan memberikan yang terbaik untuk keluarga, sebagaimana yang selalu kau ajarkan. Dan meski tubuhmu kini telah terbaring tenang, cintamu akan terus hidup dalam hatiku, selamanya”
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S Luqman ayat 14).
Kreator : Maimunah
Comment Closed: Setelah Ibu Pergi
Sorry, comment are closed for this post.