Setelah beberapa lama libur sekolah, akhirnya Vyora masuk ke sekolah lagi dengan penampilan yang sangat menarik.
Pagi sudah tiba, Vyora sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Vyora merias dirinya di depan cermin, mulai dari memakai bedak, alis, dan yang lainnya. Wajah vyora benar-benar berubah drastis, sangat berbeda dari yang dulu.
“Wah! Ini benar-benar Vyora?? Ini diri aku?” tanya Vyora kepada dirinya sendiri. Vyora takjub dengan wajahnya yang sekarang.
Vyora keluar dari kamarnya, terlihat Ayahnya dan Nara sedang duduk menikmati sarapan.
“Pagi Ayah, Kak Nara!” Sapa Vyora.
“P-p-agi..” ucap Nara melongo saat melihat Vyora.
“I-ini beneran V-vyora??” tanya Ayah dengan keheranan.
Vyora mengangguk pelan, sambil tersenyum ke arah ayah dan kakaknya.
“Kamu cantik banget, Ra! Kakak gak percaya kalau ini Vyora yang gendut dan culun itu!” ucap Nara dengan matanya terus memperhatikan Vyora.
“Bisa aja Kak Nara mah, Vyora kan memang cantik dari dulu!” celetuk Vyora.
“Iya dehh..”
“Ayah, Vyora mau berangkat sama teman. Tapi, laki-laki bukan perempuan.” ucap Vyora lirih.
“Iya nggak papa, Ayah gak akan marah. Hati-hati kalau dijalan ya..”
“Ayah juga hati-hati ya, jaga diri Ayah baik-baik.” ucap Vyora sambil mencium punggung tangan ayahnya.
TINN!!
Suara klakson motor terdengar, Jefri sudah datang menjemput Vyora.
Vyora segera menuju ke teras..
“Pagi, Jeff!” sapa Vyora dengan senyum manisnya.
“I-Iya. K-kamu V-Vyora??” ucap jefri.
“Iya lah, siapa lagi. Ini Vyora Gabriella! Bukan Si Culun.” ucap Vyora sambil tertawa kecil.
“Ra, kamu cantik banget sumpah! Fix! Satu sekolah bakalan pangling sama kamu, Ra.” kata Jefri.
“Masa sih? Ya sudah ayo berangkat!” ajak Vyora.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, Jefri terus memperhatikan wajah Vyora dari kaca spion motornya.
“Jefri!” ucap Vyora membuat Jefri terkejut.
“E-Eh! Iya ada apa, Ra?” Tanya Jefri.
“Kamu itu fokus sama jalanan, bukan malah liatin aku dari kaca spion!”
“Ya, habisnya kamu cantik banget sih.” Puji Jefri.
“GOMBAL!” Ucap Vyora yang menahan salting.
***
Sampai di parkiran sekolah, semua siswa-siswi langsung tertuju pada Jefri dan Vyora. Apa lagi para kaum hawa, mereka langsung memperhatikan Jefri sampai tidak berkedip.
“Cantik banget gila! Siapa itu ya? Apa pacarnya Jefri?”
“Bakal jadi saingan berat nih!”
Begitulah kira-kira ucapan-ucapan yang terdengar dari sekumpulan para kaum hawa.
“Jefri, itu siapa??” tanya Pak Satpam menghampiri.
“Coba tebak, ini siapa?”
“Cantik banget, cocok sama kamu. Mendingan kamu sama ini sih, daripada sama si culun dan gendut itu! Nggak ada cocok-cocoknya.” celetuk Pak Satpam.
“Bapak beneran nggak kenal siapa dia?” tanya Jefri sambil menunjuk ke arah Vyora.
“Nggak! Dia murid baru ya??”
“Saya bukan murid baru, Pak. Masa Bapak nggak ingat siapa saya sih?” ucap Vyora.
“Saya nggak ingat, soalnya nggak ada yang secantik kamu di sekolah ini!” kata Pak Satpam yang dari tadi belum menyadari jika itu adalah Vyora.
“Bapak ingat nggak sama orang yang suka Bapak hina fisiknya? Pokoknya Bapak suka banget ngehina fisik orang itu!” ucap Jefri.
“Siapa? Bapak itu orangnya baik, nggak mungkin saya ngehina fisik orang.”
“Yakin nggak pernah??” tanya Jefri sambil menaik turunkan alisnya.
“Bapak nggak ingat siapa murid yang suka terlambat upacara?” kata Vyora.
“Ingat lah. Dia Vyora si gadis culun dan dekil. Tapi nggak mungkin kalau kamu Vyora, soalnya Vyora gendut.” ucap Pak Satpam.
“Lihat, sampai sekarang aja bapak masih suka ngehina fisik! Saya Vyora, Pak!” ucap Vyora dengan ketus.
“V-vyora? Nggak mungkin, mana ada vyora secantik ini.” ucap Pak Satpam yang masih belum percaya.
“Terserah Bapak aja. Saya mau buktiin, Pak. Kalau Vyora Gabriella orang yang suka Bapak hina fisiknya sekarang sudah berubah!” ucap Vyora lantas pergi meninggalkan Pak Satpam yang masih terdiam.
Jefri dan Vyora berjalan menuju kelas, mereka berdua jalan beriringan. Semua mata langsung tertuju pada Vyora, tentunya mereka tidak mengenali Vyora.
“Woy lihat! Jefri bareng sama cewek! Cantik banget!” teriak murid dari kelas 10.
Gio dan Vano yang mendengarnya, langsung menghampiri Jefri.
“Halo Van, Gi! Pagi.” Sapa Vyora.
“P-P-Agi! Kamu siapa, kok bisa kenal?” Tanya Gio heran.
“Kenalin, aku Vano.”
“Udah kenal! Ngapain kenalan lagi.” Ucap Vyora.
“Hah? Dia siapa, Jef?”Tanya Gio penasaran.
“Ck, Dia Vyora Gabriella.” Jawab Jefri.
“HAH?!” Ucap keduanya serempak.
“Ini beneran Vyora? Kok cantik banget? Beda banget, sumpah!” kata Gio sambil terus memperhatikan Vyora.
“Jadi, janji lu ini, Jef.”
“Iya Van, gimana cantik kan??”
“Banget!” Ucap Vano.
Jefri menuju ke kantin bersama temannya, sedangkan Vyora lebih memilih untuk menuju kelasnya. Saat Vyora baru saja memasuki ruang kelas, semua anak yang ada di dalam kelas langsung memperhatikan Vyora dengan heran.
“Siapa?”
“Dia siapa, woy?” ucap teman Vyora yang saling bertanya satu sama lain.
Vyora menuju ke tempat duduknya. Clara terus saja memperhatikan Vyora.
“Kayaknya dia anak baru deh. Aku ajak kenalan aja. Lumayan bisa buat nambah circle baru.” batin clara.
“Hai! Kenalin, aku Clara.”
Vyora melirik sekilas ke arah Clara.
“Sombong banget sih! Kamu ini murid baru. Jangan begitu, gue kesinggung sama sikap lu!” Ucap Clara emosi.
Hari pertama masuk, jadi belum ada pelajaran di SMA Dirgantara. Semua kaum hawa langsung berlarian saat melihat Jefri bermain bola basket. Mereka semua membawa air minum, roti, cemilan, dan masih banyak lagi. Semua itu akan diberikan kepada Jefri nantinya. Vyora juga turut melihat Jefri, dia duduk di bawah pohon.
“Jefri semangat ya!! Duh, gantengnya sayangnya aku..” ucap Clara.
Vyora hanya melirik sinis ke arah Clara yang kecentilan.
Permainan bola basket selesai, Jefri menuju ke arah pepohonan. Clara mengira bahwa Jefri akan menghampirinya, namun dugaannya salah. Jefri menghampiri Vyora.
“OMG!! Pasti Si Jefri mau minta air minum aku..” ucap Clara yang kegirangan.
“Vyora!” ucap Jefri.
“Hah? V-vyora??!!” ucap para kaum hawa dengan serempak, mereka terkejut saat mendengar Jefri memanggil nama Vyora.
Vyora tersenyum lalu memberikan satu botol air minum kepada jefri.
“Makasih, cantik!”
Clara merasa cemburu karena melihat Jefri dan Vyora, dia melempar botol minumnya ke arah Vyora.
“AKHH!!”
Vyora kesakitan karena botol yang dilemparkan oleh Clara mengenai kakinya.
“Kamu nggak papa, Ra? Mana yang sakit?” tanya Jefri khawatir.
“Nggak papa kok, cuma kaget aja tadi. Dasar Clara!” ucap Vyora.
“Hm, syukurlah kalau kamu nggak papa.”
Bel pulang berbunyi semua murid langsung menuju keparkiran untuk mengambil kendaraannya. Begitu juga dengan Vyora dan Jefri.
“Ra, kamu sibuk nggak?” tanya Jefri di tengah perjalanan pulang.
“Nggak kok, aku di rumah juga cuma tidur terus.” jawab Vyora.
“Ikut aku, mau nggak??”
“Mau! Tapi, kemana??” tanya Vyora penasaran.
“Udaahh, diam aja…” ucap Jefri.
Jefri mengajak Vyora ke perpustakaan buku yang sangat terkenal. Dimana sudah banyak sekali orang yang sudah mengunjungi perpustakaan tersebut, kali ini Jefri juga ingin mengajak Vyora.
“Kok kesini??” tanya Vyora bingung.
“Ya, emangnya kenapa? Nggak papa, biar kamu tambah pintar!” ucap Jefri sambil menggandeng tangan Vyora masuk.
Jefri mengajak Vyora masuk ke dalam ruangan. Perpustakaan tersebut mempunyai setiap ruangan kecil untuk ruang membaca, tujuannya agar para pengunjung merasa nyaman.
“Bagus banget, Jef. Coba deh, lihat! Kita bisa lihat pemandangan dari sini.” ucap Vyora.
“Bagus kan? Makanya aku ngajak kamu kesini, soalnya aku mau baca-baca buku terbaru, Ra.” jelas Jefri sambil membawa satu buah buku.
Vyora duduk di sebuah kursi, Jefri pun mengikutinya. Jefri duduk di samping Vyora, sambil terus saja memperhatikan wajah Vyora.
“Sini!” ucap Jefri sambil menarik tubuh Vyora ke dalam pelukannya. Jefri menyandarkan kepala Vyora di bahunya.
“Coba deh, lihat buku ini!” kata Jefri sambil membuka buku yang dipegangnya.
Terlihat gambar seorang laki-laki dan perempuan yang sedang duduk berdua, di sebuah taman.
“Lucu ya, mereka kayaknya bahagia banget!” ucap Vyora.
“Iya, memang mereka bahagia banget karena mereka saling sayang satu sama lain, Ra.”
“Kamu tumben suka baca buku?” tanya Vyora sambil mendongakkan kepalanya.
“Hobi baru sih.” jawab Jefri dengan senyuman.
“Lihat deh mereka berdua main hujan-hujanan!” ucap Vyora sambil menunjuk gambar yang ada di buku.
“Kamu mau main hujan-hujanan juga??” tanya Jefri.
“Mau! Tapi kan nggak hujan, Jef. Jadi, harus nunggu hujan deh.” jawab Vyora.
“Hm, iya juga.”
Jefri dan Vyora asyik melihat gambar-gambar yang ada di buku. Sampai Vyora tidak sadar bahwa Jefri sedang memperhatikannya.
“Cantik. Berarti aku sudah berhasil ngerubah penampilan Vyora, kenapa aku jadi suka gini sama vyora.” batin Jefri.
“Kulit Vyora sekarang mulus banget, beda sama yang dulu. Kenapa gue pengen cium pipi Vyora, ya.” batin Jefri sambil terus memperhatikan Vyora.
PLAKK!!!
Jefri memukul kepalanya sendiri, sampai membuat Vyora terkejut.
“Jefri, kamu kenapa? Kok tiba-tiba mukul kepala kamu sendiri, nggak boleh gitu.” ucap Vyora.
“E-enggak, nggak papa kok ada nyamuk tadi .” ucap Jefri berbohong.
“Huh! Sadar Jef, sadar!” batin Jefri.
“Jef, pulang yuk. Udah jam 5 nih.” ajak Vyora.
“Ayo.”
Jefri mengantarkan Vyora pulang ke rumahnya. Baru setengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
“Jef, berhenti!” ucap Vyora.
“Mau ngapain? Hujan, Ra. Nanti kamu sakit.”
“Mau hujan-hujanan, Jef. Ayo lah. Satu kali ini aja, Jef.” kata Vyora.
Akhirnya, Jefri menghentikan motornya. Vyora menarik tangan Jefri menuju jalan yang terlihat sepi.
“Mau kemana, Ra?” tanya Jefri sambil terus mengikuti Vyora.
“Seru banget!!” ucap Vyora kegirangan.
Vyora tidak menghiraukan Jefri yang sudah mengajaknya pulang.
“Ra, ayo pulang ini sudah maghrib lo. Nanti orang rumah pada khawatir.” ucap Jefri sambil menarik tangan Vyora.
“Aku masih pengen main hujan-hujanan, Jef. Bentar lagi ya. Please.”
Vyora memohon kepada Jefri, sambil menatap wajah Jefri dengan penuh arti. Jefri hanya mengangguk.
“Yeay! Makasih, Jefri.”
Vyora bermain hujan cukup lama, sampai dia tiba-tiba menghampiri Jefri dengan tubuh menggigil.
“J-je-jefri…dingin…” ucap Vyora.
“Tuh kan. Sini pake sweater aku.” kata Jefri sambil memasangkan sweater-nya ke tubuh Vyora.
“Makasih ya, ayo pulang.” ajak Vyora.
Jefri segera mengantar Vyora pulang ke rumahnya. Sementara di rumah Vyora, dia sudah ditunggu oleh Nara.
“Dari mana aja? Mentang-mentang kamu udah jadi cantik aja, pulangnya malam! Nggak wajar tau nggak anak gadis pulang jam segini.” ucap Nara.
“Iya maaf, aku tadi habis dari perpustakaan.” kata Vyora.
“Enak aja ya ngomong maaf! Lihat, pekerjaan rumah belum ada yang beres semua!”
“Ya emangnya Kak Nara nggak bersih-bersih rumah?” tanya Vyora.
“Nggak, kan ada kamu. Udah sana bersihin rumahnya!” perintah Nara sambil mendorong tubuh Vyora.
Vyora dengan terpaksa membersihkan seluruh isi rumah.
“Huh! Katanya mau berubah, orang kerjaan rumah masih nyuruh aku!” monolog Vyora kesal.
TING!!!
Sebuah notifikasi muncul dari ponsel Vyora, tertera nama Jefri yang mengirim pesan.
“Vyora, besok pagi berangkatnya bareng lagi ya.” pesan dari Jefri.
“Boleh aja, dengan senang hati.” balas Vyora.
“Kamu lagi ngapain? Boleh minta foto nggak?”
Vyora langsung bingung ketika dia dimintai foto oleh Jefri. Maklum saja, Vyora baru kali ini dimintai foto oleh seseorang. Vyora segera mencari pose foto yang bagus. Setelah mendapatkannya, Vyora langsung mengirimnya pada Jefri.
“Cantik.” pesan dari Jefri.
Seketika Vyora loncat-loncat kegirangan, sambil teriak-teriak tidak jelas.
“OMAGAA! Seharian dipuji cantik itu sungguh buat aku bahagia. Ternyata jadi cantik itu enak banget, selalu dipuji-puji. Ah, pokoknya bahagia banget aku hari ini.” monolog Vyora sambil tersenyum.
******
Beberapa tahun kemudian Jefri dan Vyora menikah, dan memiliki anak yang bernama Aishakar Rafka Kavindra. Kini, Jefri menderita penyakit yang cukup berbahaya. Jefri dirawat di rumah sakit beberapa minggu dan ditemani oleh sang istrinya yaitu Vyora.
Vyora memandang Jefri yang terbaring lemah dengan mata yang sayu. Di kamar yang luas dan berfasilitas lengkap di rumah sakit cahaya. Suara bip dari mesin monitor jantung terdengar terus menerus, mengingatkan Vyora akan kondisi suaminya yang kritis. Tangannya yang halus terus mengelus rambut Jefri dengan lembut, berusaha memberikan kenyamanan meski hatinya terasa hancur melihat suaminya menderita.
“Sayang, aku yakin kamu bisa! Kamu harus semangat ya. Kamu pasti bisa melawan rasa sakit ini, aku akan selalu dukung kamu,” bisik Vyora dengan suara yang bergetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya sendiri.
Air matanya mulai menggenang, tapi dia menelan pil pahit itu dan terus memaksakan senyum, berharap bahwa senyumnya bisa menjadi kekuatan bagi Jefri. Jefri merespon dengan menggenggam tangan Vyora yang lain. Meski cengkeramannya lemah, matanya yang lelah mencoba tersenyum kembali kepada Vyora, seolah ingin mengatakan bahwa dia akan berjuang sekuat tenaga.
Vyora menunduk, mencium kening Jefri dengan penuh kasih, dan kembali duduk di samping ranjang, memegang tangan suaminya itu, tidak mau melepaskan walau hanya sesaat.
Di dalam hati, dia berdoa tanpa henti, memohon kesembuhan untuk Jefri agar mereka bisa melanjutkan hidup bersama seperti sedia kala.
“Pokoknya aku mau kamu sembuh, kamu harus bertahan demi aku dan Rafka. Kamu janji kan, iya kan?” tanya Vyora.
Jefri tersenyum.
“Kalau aku bisa, aku janji. Tapi kalau nggak bisa, ya harus gimana lagi….”
Vyora menggelengkan kepalanya.
“Nggakk! Kamu harus bertahan demi aku. Nggak boleh begitu sayang, aku mau kamu tetap sama aku…”
“Iya, sayang! Aku akan berusaha ya, semoga aja aku bisa bertahan.” kata Jefri berusaha untuk meyakinkan Vyora.
Vyora tersenyum.
“Semangat, sayang! Aku mencintaimu.”
Vyora mendongak ketika suara lembut memecah keheningan ruangan.
“Permisi,” ucap seorang Dokter yang melangkah masuk dengan langkah pasti, diikuti oleh deretan perawat yang teratur.
Vyora mengangguk. Kepala yang tadinya tertunduk, kini terangkat sedikit.
“I-iya, Dokter.” katanya dengan suara terbata, penuh kegugupan.
Dokter itu memberi senyum kecil yang menenangkan, seolah mengerti kegelisahan Vyora.
“Saya akan melakukan pemeriksaan sebentar. Bisakah anda menunggu di luar? Anda boleh masuk lagi setelah kami selesai.” jelas Dokter itu dengan nada yang ramah namun tegas.
Vyora mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bisa, Dok! Saya akan keluar.”
Vyora memandang Jefri dengan tatapan yang penuh arti, matanya berbinar seolah menyimpan ribuan kata.
Sejenak, dia tersenyum lembut sambil berkata, “Aku yakin kamu bisa bertahan, kamu kuat! Kamu pasti bisa. Aku sayang kamu!”
Lalu, dengan langkah yang gontai, dia perlahan meninggalkan ruangan.
Jefri membalas dengan anggukan. Senyum haru menggantung di bibirnya, seolah mengucapkan ribuan kata tanpa suara.
Vyora merasakan dunianya serasa runtuh. Berada di ruang tunggu rumah sakit, wanita itu menundukkan kepala, tangannya yang gemetar sesekali menghapus air mata yang tak henti mengalir dari matanya yang sayu. Berat baginya untuk melihat ke arah pintu ICU, tempat Jefri berjuang melawan kematian.
Hati Vyora hancur, serpihan-serpihan rasa sakit berkumpul di dadanya yang sesak. Setiap suara langkah kaki yang mendekat, membuatnya berdebar, berharap itu adalah Dokter yang membawa kabar baik.
Namun, setiap kali hanya kehampaan yang ia dapat. Vyora menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan, meskipun dalam hati ia merasa lemah dan tak berdaya.
Ponsel Vyora yang berada di dalam tas bergetar hebat, membuat Vyora seketika langsung mengambil ponsel dari dalam tas. Ternyata sebuah panggilan video dari Mbak Narti. Segera Vyora mengangkat teleponnya.
“Mamaa!!” seru Rafka dari panggilan video itu, membuat Vyora seketika tersenyum.
“Haii Rafkaaa! Sayangnya Mama…” ujar Vyora sambil tersenyum.
“Mama, Rafkaa kangen sama Papa. Dimana Papa, Ma? Rafka mau lihat.”
Vyora merasa ingin menangis saat Rafka bertanya tentang Jefri. Tapi, bagaimanapun juga ia harus berusaha untuk selalu tersenyum.
“Papa lagi di cek kesehatannya sama Dokter. Nanti kalau sudah selesai, baru deh Rafka bisa lihat Papa.”
“Ma…. Rafka benar-benar kangen sama Papa, pengen banget peluk Papa. Rafka udah beli bola baru, buat main sama Papa!” seru Rafka terlihat sangat antusias.
“Nanti ya sayang, ya… Kalau Papa udah sembuh pasti nanti main sama Rafka.” ujar Vyora mencoba untuk membuat Rafka tidak bersedih.
“Iya Ma, janji ya Ma! Pokoknya Rafka mau main bola bareng sama Papaa. Tuh, bola yang Rafka beli masih dibungkus plastik, belum Rafka buka.” kata Rafka, di layar ponsel terlihat Rafka menunjukkan sebuah bola yang masih dibungkus dengan plastik.
“Iya sayanggkuu! Siap, deh. Nanti Mama bilang ke Papa ya. Kamu terus berdoa yang terbaik ya buat Papa!” ujar Vyora.
Rafka tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baik, Ma! Rafka akan berdoa supaya Papa baik-baik aja. Semoga Papa bisa bertahan.”
“Ya sudah ya sayang, nanti lagi ya kita video call. Rafka main sama Mbak Narti ya, jangan nakal-nakal. Mama sayang Rafka!” kata Vyora.
“Iya Ma! Rafka main sama Mbak Narti. Rafka juga sayang Mama. Love you, Mama!” ujar Rafka.
Vyora tersenyum. “Love you more, sayang!”
Tutt…. Vyora kembali mematikan panggilan video itu.
Vyora menghela napas panjang sebelum memasukkan handphone ke dalam tasnya kembali. Tubuhnya tersandar di tembok dingin, dahi mengkerut dan alisnya bertemu saat tangan lainnya mengusap pelipis.
Tangannya bergerak mencoba merapikan rambut yang terlihat kusut tak karuan, seraya sesekali matanya menatap bajunya yang tampak kusam dan tak sesempurna biasanya. Dia merasakan denyut kecil yang menyiksa di kepala, berdetak semakin kencang.
*****
Pintu ruangan itu terbuka, dan dengan langkah yang gontai namun cepat, Vyora langsung berlari kecil menuju sosok yang telah berdiri di ambang pintu.
Dahi Vyora berkerut, dan matanya menatap dengan tatapan yang dalam, mencerminkan kecemasan yang meluap-luap.
“Dokter, bagaimana kondisi suami saya?” suaranya bergetar, penuh harap dan kekhawatiran.
Dokter itu menarik napas, memegang bahu Vyora dengan lembut, mencoba memberikan dukungan.
“Suami anda kondisinya sangat kritis. Saya akan berupaya sebaik mungkin, tetapi kita perlu bersiap untuk segala kemungkinan.” katanya dengan suara rendah namun pasti, berusaha menenangkan.
Vyora menatap tulus ke arah Dokter dengan mata yang penuh harap.
“Lakukan yang terbaik, Dok. Saya harap Dokter bisa memberikan yang terbaik untuk suami saya,” ucapnya, suaranya bergetar lembut.
Dokter itu mengangguk dengan ekspresi serius.
“Saya akan mencoba sekuat tenaga. Tetaplah tenang,” ujarnya, sambil mengusap bahu Vyora sebentar sebelum berlalu.
Vyora hanya bisa mengangguk pelan, matanya tak lepas dari sosok Dokter yang berjalan menjauh, mendoakan dalam hati.
“Jangan ambil Jefri, ya Allah. Jangan biarkan dia pergi. Saya sangat menyayangi Jefri.” Batin Vyora sambil mengusap lembut wajahnya yang penuh dengan air mata.
Vyora berdiri di samping ranjang rumah sakit tempat Jefri terbaring lemah. Matanya berkaca-kaca, namun dia menahan sekuat tenaga agar air mata tidak jatuh di hadapan Jefri yang tampak pucat. Dengan lembut, ia mengusap rambut Jefri yang tampak berantakan di atas bantal. Setiap sentuhan Vyora mencoba mengirimkan kekuatan dan cinta yang ia rasakan.
“Iya, sayang. Aku akan menunggu di luar, jadi jangan khawatir.” suaranya serak, mencoba menyembunyikan getaran ketakutan yang mungkin terdengar oleh jefri.
Vyora menundukkan kepalanya, mencium kening Jefri dengan penuh kasih, merasakan dinginnya kulit yang biasanya hangat.
“Kamu harus kuat, ya. Aku tahu kamu bisa melalui ini. Love you, babe.” bisiknya, suara penuh dengan harapan dan doa.
Sebelum meninggalkan ruangan, Vyora menoleh sekali lagi ke arah Jefri, memastikan dia memberikan senyuman terbaiknya meski hatinya terasa hancur.
Dia berjalan gontai keluar dari ruangan, berusaha keras memulihkan ketenangannya, berdoa dalam hati agar operasi berjalan lancar dan Jefri bisa pulih seperti sedia kala. Di koridor yang sepi, Vyora menemukan sudut untuk bersandar, mengambil napas dalam-dalam, berusaha keras menstabilkan emosi yang bergejolak.
Ayah Erwin datang menghampiri Vyora.
“Vyora, kata Dokter sebentar lagi operasi akan dilakukan. Tadi Ayah habis dari depan.”
Vyora mengangguk. “Hmm iya, Ayah! Semoga operasi Jefri berjalan lancar.”
“Aamiin, Ayah juga berharap seperti itu!” seru Ayah Erwin.
Dari kejauhan, langkah-langkah lembut para suster terdengar mendekat. Mereka akan memindahkan Jefri ke ruangan operasi. Vyora berdiri termangu di koridor, tangannya menggenggam erat tas, ketika sosok berjas putih mendekat.
Dokter itu, dengan senyuman yang menenangkan, berbicara sambil memegang bahu Vyora.
“Saya akan melakukan operasi sekarang. Tetaplah kuat!”
Kata-katanya membawa semangat, membuat Vyora terdorong untuk tersenyum balik, mata berkaca-kaca.
“Dok, saya yakin Dokter akan melakukan yang terbaik untuk suami saya. Saya percaya pada kemampuan Dokter!”
Dokter itu mengangguk.
“Saya akan berusaha, tetaplah berdoa untuk meminta bantuan! Saya hanya berusaha, selebihnya Tuhan lah yang akan mengabulkannya. Mari!” katanya lantas berjalan pergi.
Vyora terduduk lemas, Ayah erwin langsung merangkul pundaknya.
“Vyora, jangan menangis lagi. Jefri benci air mata yang membasahi pipi kamu, Nak!” kata Ayah Erwin sambil tersenyum.
Vyora menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha untuk tidak menangis lagi.
“Kalau Jefri benci air mata Vyora, kenapa dia nggak bangun buat menghapus air mata ini? Kenapa, Ayah?”
“Vyora, jangan begitu. Kamu harus tenangkan dirimu. Jefri pasti bisa melewati ini semua, tenangkan diri kamu,” ujar Ayah Erwin.
Vyora menganggukkan kepalanya. “Ayah, Vyora pergi ke kamar mandi sebentar. Ayah di sini kan?”
Ayah Erwin mengangguk. “Iya, Ayah akan tetap di sini. Kamu pergi aja.”
Vyora segera berjalan menuju ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Vyora tertegun saat memandang bayangannya di cermin. Matanya terlihat sayu, matanya berkantung sebab ia belum tidur semalam. Rambutnya pun kusut seperti sarang burung.
Dengan hati berat, dia menampar-nampar wajahnya dengan air yang sejuk, mencoba mengusir kelelahan yang mencekik. Kemudian, dia mulai menyisir rambutnya perlahan, mengurai kekusutan dengan jari-jarinya
“Vyoraa, kamu harus kuat! Harus bisa!” gumam Vyora.
“Di mana senyuman manis yang selalu terlihat di wajah cantikmu, Vyora? Di mana tawamu yang terdengar renyah itu? Kini semua hilang, lenyap.”
Tak ada lagi senyuman manis, tak ada lagi tawa renyah dari Vyora. Ia benar-benar kehilangan dirinya.
“Ini adalah tindakan terakhir yang bisa dilakukan Dokter, kalau gagal??” Vyora menggantung ucapannya. “jefri pergi??”
Vyora menggelengkan kepalanya, sambil menangis sesenggukan. “Nggak! Jangan! Jefri gak boleh pergi, dia harus sama aku. Jefri milikku!!”
Ting!!!
Suara notifikasi dari ponselnya berhasil membuyarkan lamunannya. Vyora melirik ke arah ponsel. Ternyata, pesan dari Mbak Narti.
“Non, gimana kondisi Tuan? Rafka tadi tanya sama saya, dia terus tanya Tuan. Tuan udah sembuh, Non?”
Vyora menghela napas panjang. Matahari telah tenggelam, namun tidak dengan rasa rindunya. Dia tahu betul bagaimana Rafka merindukan kehadirannya, apalagi Jefri yang tak terpisahkan dari Rafka. Mereka sering tergelak bahagia, lupa akan waktu ketika bersama. Namun kini, jangankan untuk bermain, melihat wajah sang Papa pun sudah menjadi mimpi yang sulit. Seseorang yang sering Rafka panggil “Papa” yang selama ini menjadi pilar kekuatan, kini hanya terbaring lemah dengan alat bantu di sisi ranjangnya, di ruang yang suram dan hening, menanti kesadaran yang entah kapan akan tiba.
“Jefri harus dioperasi, Mbak. Saya mohon jangan bicara hal ini sama Rafka ya, Mbak. Bilang saja kalau Papa sebentar lagi sehat. Kasihan dia.” balas Vyora.
*****
Vyora mondar-mandir di depan pintu ruang operasi dengan gelisah, menggigit kuku-kukunya sambil sesekali menatap jam tangannya.
Detik terasa seperti jam, dan setiap gerakan jarum jam seolah menjadi lebih lambat daripada biasanya.
Napasnya tersengal, mata sembab menatap dengan harap pada setiap orang yang keluar masuk ruang itu, menunggu detik-detik mendengar kabar yang akan menentukan nasib Jefri.
“Ayolah!” ucap Vyora yang sudah tak bisa tenang. “Mana kabar baik tentang kondisi Jefri? Ayolahh….”
“Vyora, duduklah dengan tenang.” ucap Ayah Erwin.
Vyora menggelengkan kepalanya. “Nggak bisa, Ayah. Sedari tadi belum ada kabar baik mengenai kondisi Jefri. Gimana ini? Jefri kenapa, Ayah?”
“Jefri tidak kenapa-kenapa. Dia lelaki kuat. Jefri tidak lemah, Nak.” ujar Ayah Erwin, wajahnya tampak lebih tenang dibandingkan dengan Vyora yang terus mondar-mandir.
“Kenapa Ayah tenang banget, sih? Jefri sedang berjuang antara hidup dan mati. Gimana kalau dia gagal? Vyora nggak mau, Ayah…” kata Vyora, ia kini duduk di samping Ayah Erwin.
Ayah Erwin mengusap lembut rambut Vyora. “Kenapa berpikir seperti itu? Kamu harus yakin kalau Jefri bisa, Jefri nggak selemah yang kamu bayangkan. Jefri nggak akan gagal, ingat itu!”
“Tapi, ini udah kelewat jam, seharusnya Dokter udah menyelesaikan operasi dari tadi, Ayah. Apa jangan-jangan-“
“SSSTT!” Ayah Erwin memotong ucapan Vyora, sambil menggelengkan kepalanya.
“Jefri baik-baik saja. Lihat, muka kamu panik banget!” ucapnya diikuti tawa kecil.
“Ayah ih! Ini kok bisa tenang-tenang aja sih, Vyora panik, Ayah!” ucap Vyora yang kesal karena Ayahnya menertawakan dirinya.
“Kalau Jefri lihat kamu begini, pasti dia ketawa juga.” ucap Ayah Erwin.
CKLEK!!! Pintu ruang operasi terbuka.
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Vyora melintasi koridor menuju Dokter yang telah berdiri menantinya di ambang pintu. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang, seakan hendak melompat keluar. Tangannya dingin dan gemetar, tanda kecemasan yang tak dapat ia kendalikan.
“Siap atau tidak, aku harus tahu.” bisiknya dalam hati, menguatkan diri untuk menghadapi kemungkinan berita yang akan diterimanya.
“Kondisi Jefri…” Dokter menggantung ucapannya sambil menatap wajah Vyora.
Vyora terlihat tak sabar, “Apa, Dok? Ayo katakan saja!”
“Jefri telah….”
Mata Vyora tampak berkaca-kaca, ia sudah tak sabar menunggu kabar dari Dokter.
“Ayo, Dok! Katakan….” kata Vyora.
“Jefri telah selamat! Kami berhasil melakukan operasi dengan baik, sekarang tinggal menunggu dia sadar saja.” Jelas Dokter.
Vyora tak bisa berkata-kata lagi saat mendengarnya, dia merasa sangat bahagia. Mulutnya seakan membeku, ia tak bisa berkata-kata lagi.
Suasana di ruang tunggu rumah sakit mendadak menjadi hangat seiring dengan kabar yang disampaikan Dokter.
Vyora, yang sejak pagi gelisah menanti kabar itu, kini terpaku di kursi, matanya berkaca-kaca menahan air mata bahagia. Detik berikutnya, setelah mendengar bahwa operasi suaminya telah berhasil, dia tak dapat menahan tangis kelegaan.
Wajah Vyora yang semula pucat, kini bersemu merah, rasa syukur terucap dalam bisikannya yang lirih, “Alhamdulillah, akhirnya Jefri selamat.”
Senyumnya merekah meski bibirnya gemetar, tanda betapa besar rasa cemas yang telah dihadapinya.
Dia berdiri, berjalan gontai menuju jendela ruang tunggu, memandangi langit biru di luar sana. Tangan kirinya terangkat, menempel di dada, merasakan detak jantung yang mulai mereda. Vyora menghela napas panjang, mengumpulkan kekuatan dalam doa yang dipanjatkannya, berharap kesembuhan penuh bagi Jefri.
Sekilas, ia menoleh ke arah Dokter yang masih berdiri di sampingnya, memberikan senyum yang penuh arti.
“Terima kasih, Dok. Anda telah menyelamatkan bagian terpenting dari hidup saya.” ucapnya dengan suara yang masih serak, namun penuh keyakinan.
Dokter tampak tersenyum manis. “Sama-sama, Vyora! Saya juga merasa bangga kepada Anda. Benar-benar istri yang hebat!”
“Sebentar lagi Jefri pasti akan sadar, dia juga akan dipindahkan. Saya permisi, mari!” ucap Dokter itu dengan senyuman ramah, kemudian pergi disusul beberapa suster lain.
Ayah Erwin mendekati Vyora, ia memeluk tubuh Vyora dengan erat.
“Vyora! Benar kan kata Ayah? Jefri itu bukan lelaki yang lemah, dia kuat.”
Vyora mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar banget, Ayah. Ternyata ucapan Ayah benar! Jefri pasti bisa, dia kuat.”
“Sekarang kamu hubungi aja Mbak Narti sama Rafka biar mereka ke sini. Pasti Rafka sudah kangen banget sama Jefri.” ujar Ayah.
“I-iya Ayah! Vyora chat sekarang.”
“Mbak, tolong datang ke Rumah Sakit Cahaya, ya. Ajak Rafka sekalian.” tulis Vyora.
“Vyora nggak sabar buat ketemu Jefri, pasti dia senang banget.” kata Vyora kepada Ayah. Hatinya kini terasa lebih baik dan juga senang.
*****
Kini, Dokter telah memindahkan Jefri di ruangan yang berbeda. Vyora dan Ayah Erwin sudah tak sabar untuk masuk ke dalam dan menemui Jefri. Ayah Erwin memegang handle pintu.
“Bismillahirrahmanirrahim, semoga Jefri sudah sadar.”
Vyora menganggukkan kepalanya. “Semoga saja, Ayah.”
CKLEK.
Pintu terbuka, terlihat Jefri yang terbaring lemah kini sudah membuka matanya. Ia menatap wajah Vyora dengan senyuman manis yang terukir indah di bibirnya.
Senyuman yang selalu ditunggu-tunggu oleh vyora. Kini akhirnya senyuman manis itu bisa dia lihat kembali.
“Sayangg!” ujar Vyora, ia langsung berlari dan memeluk tubuh Jefri.
Jefri juga tersenyum, ia mencium kening Vyora. “I’m here, babe!!”
“Akhirnya Jefri-nya Vyora kembali!” ujar Vyora sambil menggenggam tangan Jefri erat.
Jefri mengangguk, “Pasti dong. Jefri untuk Vyora. Vyora untuk Jefri!”
“Hebat! Anak Ayah memang hebat semua!” ucap Ayah Erwin sambil menepuk pundak Jefri pelan.
“Makasih, Ayah. Selama Jefri sakit, Ayah udah jagain Vyora yang seharusnya tanggung jawab Jefri.” ucap Jefri.
“Sama-sama, Jef! Vyora kan anak Ayah juga. Kamu tenang saja!” Ayah Erwin meyakinkan.
“Selama ada Ayah, Vyora akan aman! Begitu juga dengan kamu. Selama ada Jefri, Vyora pasti aman.”
“Sayang… Lain kali kamu jangan seperti ini ya… Aku benar-benar nggak mau kalau ini terulang kembali. Sehat-sehat ya sayang.” kata Vyora.
Jefri mengangguk-angguk mengerti. “Iya sayanggkuu! Jefri gak akan seperti ini lagi.”
“Jefri kamu boleh bekerja, tapi harus tau waktu ya. Harus istirahat juga, jangan menyimpan pekerjaan! Kesehatanmu jauh lebih penting.” tegas Ayah.
“Dengar kata Ayah! Kamu jangan terlalu capek kerja, harus sayang sama badan kamu.” Lanjut Vyora.
“Siap! Kedepannya Jefri akan lebih menjaga kesehatan kok,” ucap Jefri dengan penuh yakin.
“PAPAAA!!”
Rafka berlari masuk ke dalam ruangan, ia langsung menghampiri Vyora. Di belakangnya tampak Narti berjalan mengikutinya.
“Sayang! Sini, lihat. Papa udah sembuh, sayang!” seru Vyora sambil menggendong Rafka, ia menyuruh Rafka untuk duduk di kursi.
“Papa!!” seru Rafka sambil mencium pipi Jefri.
“Iya sayang, ini Papa.” Kata Jefri sambil tersenyum.
“Akhirnya Papa sembuh! Rafka udah gak sabar mau main bola.” kata Rafka dengan mata berbinar.
“Tuan, Rafka sampai beli bola baru. Belum dibuka juga, masih di dalam plastik! Katanya nunggu Tuan pulang ke rumah.” ujar Narti.
“Sayang! Papa udah sehat sekarang. Nanti kita bisa main bola sama-sama ya.” ucap Jefri.
Rafka mengangguk. “Siap, Pa! Rafka udah gak sabar banget.”
“Jefri harus janji sama kita semua.” kata Ayah Erwin.
Jefri mengerutkan keningnya. ” Janji? Apa?”
“Janji buat hidup lebih lama bersama kami.” kata Ayah Erwin.
Jefri mengangguk sambil tersenyum. “Iya! Janji akan hidup lebih lama lagi, bersama dengan kalian semuaaaa!!”
“Yeayy!” seru rafka.
“Kalo Tuan bohong harus traktir kita nih.” ucap Mbak Narti.
“Traktir? Ah kecil itu,” kata Jefri sambil tertawa.
Kini ruangan itu penuh suara tawa yang terdengar begitu bahagia, benar-benar suasana yang sangat indah. Vyora menatap penuh cinta ke arah suami, bahagia bermain bersama.
Kedua mata Vyora berkaca-kaca, menyaksikan dua orang yang paling dicintai akhirnya bersatu lagi, lebih kuat dan harmonis daripada sebelumnya. Detik itu juga, ia merasa terima kasih tak terhingga.
“Terima kasih Tuhan, Engkau tak membiarkanku sendiri.” bisik Vyora dalam hati sambil memandangi Jefri yang sekarang bersandar lelah di bahunya, masih tersenyum.
Jefri, pria yang pernah ia kira akan hilang selamanya, kini masih menjadi bagian dari hidupnya, menjanjikan hari-hari yang akan mereka lalui bersama lebih lama lagi.
“Jefri tetaplah hidup bersamaku lebih lama, aku selalu menyayangimu!”
Jefri tersenyum. “Sayang, aku akan tetap sama kamu. Selamanya!”
Vyora menganggukkan kepalanya, “Aku juga, kita pokoknya harus tetap bersama. Sampai kapanpun?”
“Yeah, forever! Jefri and Vyora, today, tomorrow, later and forever!!” kata Jefri.
Vyora menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, “You will always be the person I love the most, forever!!”
****
“Jika hari ini kita tidak bisa untuk bersama, masih ada hari esok. Jika hari esok kita masih tidak bisa untuk bersama, masih ada hari esoknya yang akan datang….”
– Jefri untuk Vyora. Vyora untuk Jefri.-
-Thanks to everyone!
Kreator : Safira Melanie Khaerotunisa
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: si culun glow up ch 10
Sorry, comment are closed for this post.