Catatan Perjalanan Cinta, Ilmu, dan Rindu yang Dirajut di Meja Cibiuk
Pagi itu, Stasiun Depok Baru bukan sekadar titik temu, tapi titik awal dari sebuah perjalanan jiwa. Empat anggota NJD; Bu Maria, Bu Munasri, Bu Minarni, dan aku sendiri; dengan senyum bahagia dan mata penuh cahaya rindu bersiap menuju Karawang.
“Akhirnya hari ini datang juga, ya Allah… Karawang, tunggu kami ya!” seru Bu Munasri dengan wajah berseri-seri sumringah. Syalnya ia rapikan pelan seperti merapikan hati yang siap berbagi.
“Yang penting bisa ketemu, kopi darat, ngumpul bareng. Mumpung Bu Timang sedang Safar ke Karawang,” sahut Bu Maria sambil memeluk tas kecil di pangkuannya.
Mobil yang kami tumpangi melaju pelan tapi pasti, dikemudikan oleh Musa; putra Bu Munasri; yang dengan penuh kesabaran dan senyum tipisnya ikut meramaikan perjalanan. Di dalam mobil, obrolan berlapis tawa dan cerita hidup mengalir, menyusup lembut di antara tikungan jalan dan detak jantung kami yang mulai hangat.
“Ini kayak healing versi emak-emak pejuang literasi.” kata Bu Minarni sambil tertawa kecil.
“Silaturahmi itu vitamin terbaik buat hati,” timpal Bu Maria.
“Kadang kita nggak butuh liburan mahal, cukup bertemu orang-orang yang mengerti dan memahami kita.” jelas Bu Maria seperti biasa, bijak.
Karena semangat yang meletup-letup, pukul 09.50 WIB kami sudah tiba di Resto Cibiuk Karawang. Masih Sepi. Sepertinya, kami adalah pengunjung pertama pagi itu.
Tapi justru di situlah letak keindahannya; kami bisa berlama-lama bersilaturahmi. Tidak tergesa-gesa karena sempitnya waktu.
“Rasanya kayak sedang mengantar para pejabat yang mau rapat penting.” canda sang driver kesayangan, Musa, dari balik kemudi, membuat kami tergelak.
Tidak lama kemudian, Bu Timang pun tiba. Tanpa komando, kami saling menghambur. Berpelukan satu sama lain. Pelukan yang bukan sekadar gestur, tapi doa yang disampaikan lewat kehangatan dan detak dada masing-masing.
“Masya Allah… Akhirnya kita diizinkan Allah untuk bertemu, bersilaturahmi langsung, bukan hanya di layar atau di WhatsApp grup saja.” katanya nyaris berbisik. Bisikan yang menggetarkan.
“Pelukan ini,” batinku lirih. “Lebih menyembuhkan daripada seribu terapi.”
Kami duduk di meja kayu panjang. Aroma sambal, hangatnya nasi liwet, segarnya sop ikan gurame dan nikmatnya lalapan; hanyalah latar. Yang utama adalah percakapan yang bergizi, dan dialog hati yang akhirnya menemukan ruangnya.
Satu sesi kecil; sharing knowledge hadir di tengah agenda makan siang. Sharing tentang matalogi. Tentang bagaimana melihat kehidupan dari kacamata makna, bukan sekedar logika.
“Matalogi itu bicara tentang keberanian menelisik isi hati, menyeimbangkan logika dengan nurani,” jelas Bu Timang.
“Hidup kadang keras, seperti besi. Tapi kalau dilembutkan dengan ilmu dan cinta, ia menjadi kekuatan yang tidak ternilai.”
Terkadang pelajaran hidup datang bukan dari panggung besar, tapi dari meja makan sederhana; dengan orang-orang yang mau saling mendengar dan memahami.
Waktu terus berjalan. Pukul tiga sore, saatnya berpisah.
“Saya nggak tahu kapan kita bisa kumpul seperti ini lagi…” ujar Bu Timang sambil menggenggam erat tangan Bu Munasri.
“Ikut saja jadwal dari Allah ya, Bu. Karena seberapa kuat kita merancang pertemuan, tetap yang akan meloloskan adalah takdir Allah.”
Silaturahmi Menyulam Makna
Perjalanan pulang terasa lebih ringan. Penuh kelegaan dan rasa syukur. Aku turun di Stasiun Depok Baru, melanjutkan perjalanan ke Bogor dengan jiwa yang terasa lebih utuh dan lebih ringan.
Hari itu, kami pulang. Bukan hanya dari sebuah perjalanan fisik, tapi pulang pada hangatnya kebersamaan. Pulang pada pelukan yang menguatkan dan meneduhkan jiwa. Pulang pada ilmu yang mencerahkan langkah. Pulang pada silaturahmi yang menyulam kembali makna hidup.
“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan, benar adanya. Hari itu, kami tidak sekadar berkumpul. Kami hadir untuk saling menyapa, saling menyulam kembali makna-makna hidup yang nyaris tergerus oleh derasnya rutinitas.
Silaturahmi bukan sekadar temu raga, tapi perjumpaan rasa. Ia menyalakan cahaya di dada, menumbuhkan harapan di tengah keraguan, dan meneguhkan langkah agar bisa terus berjalan; dengan hati yang utuh, hangat, dan penuh cinta.🌹✨🎀
Bogor, 26 Juni 2025
Kreator : Nurul Jannah
Comment Closed: Silaturahmi Menyulam Makna
Sorry, comment are closed for this post.