Menyiapkan dan menyusun menu diet untuk pasien adalah kegiatan rutinitasku setiap hari, apalagi mereka memerlukan perhatian dan pendekatan yang cermat, khususnya pasien dengan kondisi kesehatan mental.
Memulai dengan penilaian mendalam mengenai kebutuhan gizi pasien. Ini termasuk kondisi kesehatan umum, kebutuhan diet khusus, dan preferensi makanan yang sesuai dengan rencana pengobatan atau terapi. Bekerja sama dengan bagian dapur untuk menyusun menu yang tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi tetapi juga mendukung kesehatan mental pasien. Mengembangkan rencana menu yang mencakup makanan yang bervariasi dan bergizi. Ditambah lagi khususnya pasien dengan kondisi kesehatan mental, memerlukan perhatian dan pendekatan yang cermat. Belum lagi aku harus memantau reaksi pasien terhadap makanan yang disajikan. Jika diperlukan, melakukan penyesuaian untuk memastikan pasien menerima nutrisi yang optimal dan merasa nyaman dengan makanan yang disajikan.
Saat aku mendekati pasienku dengan makanan yang telah disiapkan sesuai dengan dietnya, aku berkata dengan lembut, “Pak, makan siangnya sudah siap. Silahkan makan, ya. Saya akan kembali lagi setelah saya selesai dengan pasien di sebelah. Jika Bapak butuh bantuan, jangan ragu untuk memanggil saya.”
Namun, tiba-tiba, pasien yang tadinya duduk di kursi kelas VIP itu berdiri dan memelukku dengan erat. Aku merasa terkejut dan sedikit panik saat tubuhku terdorong menuju pintu. Ketika pintu itu akhirnya tertutup, aku merasa cemas dan tidak nyaman. Momen tersebut menjadi sangat intens dan menegangkan, mengingat reaksi pasien yang tidak terduga dan ketidakmampuanku untuk segera mengendalikan situasi.
Aku berusaha tetap tenang, menyadari bahwa pasien mungkin berusaha mengungkapkan emosinya dengan cara yang tidak biasa. Karena aku sedang menjalankan tugas di rumah sakit jiwa, dan tiba-tiba salah satu pasien, yang menunjukkan gejala ketidakstabilan emosional, mendekat dan memelukku dengan kuat. Rasa takut langsung menyelimuti diriku. Meskipun aku memahami bahwa pelukan itu mungkin merupakan upaya untuk mencari kenyamanan atau koneksi, aku tidak bisa menghindari perasaan cemas dan khawatir.
Keterkejutan dan ketidakpastian mengganggu ketenanganku. Aku merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa ku kontrol, berusaha menenangkan diri sambil berusaha menilai bagaimana merespons dengan tepat. Pikiran tentang potensi bahaya dan bagaimana menjaga jarak yang aman mendominasi benakku.
Pelukan tersebut menimbulkan rasa takut karena tidak hanya menantang batas profesional dan emosional, tetapi juga mengingatkanku pada kerentanan yang mungkin dihadapi oleh pasien dan diriku sendiri. Dalam momen seperti ini, penting untuk menjaga ketenangan, mengelola reaksi emosional, dan mencari bantuan dari staf rumah sakit untuk menangani situasi dengan aman dan empatik.
Saat aku merasa tubuhku terdorong ke arah pintu dan cengkeraman pasien semakin kuat, aku berusaha dengan tegas untuk mengatakan, “Aduh, Pak, lepaskan, Pak!” Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan eratnya, sambil berusaha membuka pintu yang ditahannya dengan tubuhku.
Ketakutanku mulai menguasai diriku, dan tubuhku gemetar saat memikirkan kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Aku merasakan lonjakan adrenalin dan kekhawatiran mendalam tentang keselamatan diriku dan pasien. Dengan usaha maksimal, aku berusaha membuka pintu dan mencari cara untuk membebaskan diri dari situasi tersebut, sembari berharap situasi ini tidak berkembang lebih jauh.
Segera setelah berhasil, aku segera mencari bantuan dari staf rumah sakit untuk menangani situasi dengan aman dan profesional, serta memastikan bahwa pasien mendapatkan dukungan yang diperlukan.
Saat aku merasa tubuhku terdorong ke arah pintu dan cengkeraman pasien semakin kuat, aku berusaha dengan tegas untuk mengatakan, “Aduh, Pak, lepaskan, Pak!” Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan eratnya, sambil berusaha membuka pintu yang ditahannya dengan tubuhku.
Ketakutanku mulai menguasai diriku, dan tubuhku gemetar saat memikirkan kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Aku merasakan lonjakan adrenalin dan kekhawatiran mendalam tentang keselamatan diriku dan pasien. Dengan usaha maksimal, aku berusaha membuka pintu dan mencari cara untuk membebaskan diri dari situasi tersebut, sembari berharap situasi ini tidak berkembang lebih jauh.
Aduh, leganya akhirnya aku terbebas dari cengkeraman pasien tersebut. Dengan cepat aku keluar dari ruangan dan mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah pengalaman yang menegangkan itu. Saat itu, meja makan di ruangan penuh dengan pasien lain, dan para suster sedang mengawasi mereka dengan teliti.
Merasa tidak ingin menambah kepanikan di tengah situasi yang sudah cukup penuh, aku memutuskan untuk menunda melaporkan kejadian tersebut kepada perawat. Aku menyadari pentingnya melaporkan kejadian ini dengan hati-hati dan pada waktu yang tepat, agar dapat menangani situasi dengan tepat dan memastikan keamanan semua pihak yang terlibat.
Aduh, leganya akhirnya aku terbebas dari cengkeraman pasien tersebut. Dengan cepat aku keluar dari ruangan dan mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah pengalaman yang menegangkan itu. Saat itu, meja makan di ruangan penuh dengan pasien lain, dan para suster sedang mengawasi mereka dengan teliti.
Merasa tidak ingin menambah kepanikan di tengah situasi yang sudah cukup penuh, aku memutuskan untuk menunda melaporkan kejadian tersebut kepada perawat. Aku menyadari pentingnya melaporkan kejadian ini dengan hati-hati dan pada waktu yang tepat, agar dapat menangani situasi dengan tepat dan memastikan keamanan semua pihak yang terlibat.
Karena dukungan yang diperlukan dan situasi tersebut perlu ditangani dengan cermat untuk memastikan bahwa langkah-langkah keamanan diambil untuk mencegah kejadian serupa dan memberikan dukungan yang diperlukan baik untuk pasien maupun untuk diriku sendiri.
Ketika aku melihat pasien yang baru saja bertindak aneh, aku merasa kasihan. Aku tahu bahwa terkadang pasien yang menunjukkan perilaku tidak biasa bisa ditempatkan di ruang isolasi, dan aku merasa berat hati untuk melaporkan kejadian tersebut, takut membuat situasi menjadi lebih buruk bagi pasien.
Setelah mempertimbangkan, aku memutuskan untuk tidak melaporkan insiden itu. Sebagai gantinya, aku hanya menyampaikan kepada perawat, “Kalau pasien ini sudah selesai makan, tolong laporkan piring makannya. Aku perlu menganalisis apakah dia menghabiskan makanannya atau tidak.”
Keputusan ini ku ambil dengan harapan untuk menghindari tindakan yang mungkin memperburuk keadaan pasien sambil tetap memastikan bahwa kebutuhan nutrisi pasien dapat dipantau dengan baik. Aku tetap fokus pada tugas utama, yaitu memastikan pasien mendapatkan makanan yang tepat dan memperhatikan apakah dia makan dengan benar.
Menghadapi pasien jiwa sering kali penuh liku dan tantangan yang unik. Setiap pasien memiliki kepribadian dan cara berkomunikasi yang berbeda, dan kadang-kadang kita kesulitan untuk memahami keinginan dan kebutuhan mereka. Perilaku atau ucapan mereka bisa tampak tidak masuk akal atau membingungkan, yang terkadang membuat lawan bicara merasa enggan atau malas untuk mendengarkan.
Padahal, di balik setiap kata atau tindakan yang tampak tidak koheren, ada kebutuhan mendalam untuk didengarkan dan dipahami. Pasien-pasien ini sangat memerlukan seseorang yang bisa dengan setia mendengarkan cerita mereka, apa pun isinya. Keterlibatan aktif dan empati yang tulus dari pendengar dapat memberikan mereka dukungan emosional yang sangat berarti, membantu mereka merasa dihargai dan diterima.
Mendengarkan dengan penuh perhatian dan tanpa menghakimi adalah langkah penting dalam proses penyembuhan dan memberikan rasa aman kepada pasien. Meskipun kadang-kadang sulit, peran ini sangat vital dalam membantu mereka menghadapi tantangan mereka dan merasa terhubung dengan dunia di sekitar mereka.
Hikmah yang bisa dipetik dari pengalaman berinteraksi dengan pasien jiwa adalah pentingnya saling menghargai dan mendengarkan. Dalam kehidupan, sering kali kita terjebak dalam rutinitas sehari-hari dan mengabaikan kebutuhan dasar manusia untuk didengar dan dipahami.
Dari pengalaman ini, kita belajar bahwa setiap individu, terlepas dari latar belakang atau keadaan mereka, memiliki nilai dan cerita yang layak didengar. Saling menghargai berarti memberikan perhatian penuh dan empati kepada orang lain, menghormati perasaan dan perspektif mereka, meskipun mungkin kita tidak selalu sepakat atau mengerti sepenuhnya.
Dengan mendengarkan secara aktif dan tulus, kita tidak hanya membantu orang lain merasa lebih diterima dan dihargai, tetapi juga memperkaya hidup kita sendiri. Menghargai dan mendengarkan membuat hubungan kita lebih mendalam dan bermakna, memperkuat ikatan emosional, dan menciptakan lingkungan yang lebih penuh pengertian dan harmonis.
Komunikasi dengan Pasien, Berbicara dengan pasien tentang menu yang disiapkan dengan cara yang sensitif dan mendukung juga bagian dari terapi dari sisi saya sebagai ahli gizi. Memberikan mereka kesempatan untuk memberikan masukan atau melaporkan jika mereka merasa tidak nyaman dengan jenis makanan tertentu. Menilai bagaimana makanan mempengaruhi kesejahteraan mental pasien. Kadang-kadang, pola makan yang baik dapat berkontribusi pada perbaikan suasana hati dan kondisi mental secara keseluruhan.
Hidup kita menjadi lebih berarti ketika kita memahami bahwa setiap interaksi adalah kesempatan untuk menunjukkan empati dan kasih sayang. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan memberikan dampak positif pada diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Kreator : Ety Setiyanti
Comment Closed: siluet ditengah kegelapan Jilid 2. Siluet di Tengah Kegelapan: Menyusuri Labirin Stres (based on true story)
Sorry, comment are closed for this post.