Tali. Ribuan gulungan tali, berbagai ukuran, warna, dan tekstur, memenuhi setiap sudut bengkel kecilku. Mereka adalah nafas hidupku, juga kutukanku. Setiap serat, setiap jalinan, berbicara tentang kemungkinan, tentang ikatan, tentang kebebasan. Tapi ada satu tali, satu simpul, yang membungkam semua bisikan lainnya. Sebuah simpul yang tak terurai.
Namaku, aku sudah melupakannya. Di sini, di antara bau serat rami dan minyak pelumas, aku hanyalah “Pengrajin Simpul”. Gelar yang kuberikan sendiri, ironisnya, karena aku adalah orang yang paling gagal dalam mengurai. Tahun-tahun telah berlalu, mungkin puluhan, sejak aku mengasingkan diri di tempat ini, jauh dari hiruk pikuk kota yang tak pernah memahami bahasa tali.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku duduk di bangku kayu usangku, di bawah cahaya lampu pijar yang redup. Di tanganku, tali itu. Tali rami yang tebal, warnanya kusam, usang oleh sentuhan beribu kali. Dan di tengahnya, simpul itu. Sebuah simpul yang rumit, menjerat dirinya sendiri dalam labirin yang tak berujung. Aku mengenalnya. Setiap lekuk, setiap lilitan, setiap tekanan yang membuatnya begitu kokoh, begitu tak terpecahkan.
“Kau masih di sini?” bisik sebuah suara dari sudut gelap ruangan. Bukan suara fisik, melainkan gema dari pikiranku sendiri, suara dari dia.
“Tentu saja,” jawabku dalam hati, jemariku masih meraba simpul itu, mencari celah, mencari awal. “Ke mana lagi aku harus pergi?”
“Ke tempat di mana kau bisa bebas. Ke tempat di mana kau tidak terikat.”
Aku tertawa, tawa yang kering, seperti daun-daun gugur di musim kemarau. “Bebas? Terikat? Bukankah itu hanya ilusi? Kita semua terikat, pada satu atau lain hal. Pada janji, pada penyesalan, pada takdir.”
Simpul ini adalah takdirku. Aku membuatnya. Aku sendiri yang mengikatnya, bertahun-tahun yang lalu. Sebuah keputusan. Sebuah janji. Sebuah rahasia. Aku tidak ingat persis kapan atau mengapa. Ingatanku seperti tali yang kusut, setiap kali aku mencoba mengurainya, ia justru semakin menjerat.
“Kau harus mengingatnya,” desak suara itu. “Hanya dengan mengingat, kau bisa mengurai.”
Aku mencoba. Setiap malam. Setiap detik. Aku memejamkan mata, membiarkan kegelapan menelanku. Berharap di sana, di kedalaman kegelapan itu, aku bisa menemukan kembali fragmen-fragmen yang hilang. Tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan, dan bisikan-bisikan yang semakin keras.
Bisikan-bisikan tentang sebuah wajah. Wajah yang kucintai, yang kini hanya samar-samar. Wajah yang terluka, yang kecewa. Wajah yang menghilang.
Aku menghela napas. Udara di bengkel ini terasa berat, dipenuhi debu dan aroma masa lalu yang membusuk. Aku menyalakan lilin, meletakkannya di samping simpul. Cahaya kecil itu menari-nari, menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding, seolah hantu-hantu dari masa lalu sedang menari bersamaku.
“Kau tidak akan pernah bisa mengurainya,” bisik suara itu, kali ini dengan nada yang lebih kejam. “Itu adalah simpul yang kau buat untuk dirimu sendiri. Sebuah penjara.”
Penjara. Ya. Bengkel ini adalah selku, dan simpul ini adalah borgol yang mengikatku. Aku pernah mencoba cara lain. Memotong tali itu. Tapi setiap kali aku mengangkat pisau, tanganku gemetar. Aku tidak bisa. Ada sesuatu yang menahanku. Sebuah janji yang tak terucapkan, sebuah sumpah yang tak terlihat.
Aku ingat, samar-samar, sebuah percakapan. Di bawah langit yang sama kelamnya dengan malam ini. Tentang takdir. Tentang pilihan. Tentang sebuah ikatan yang akan bertahan selamanya. Aku adalah orang yang mengikatnya. Dengan tanganku sendiri. Dan kini, aku adalah orang yang harus menanggungnya.
Pagi tiba, membawa cahaya yang dingin. Aku masih di sini, di bangku yang sama, dengan simpul yang sama di tangan. Mataku perih, tubuhku kaku. Tapi aku tidak bisa berhenti. Setiap serat tali itu memanggilku, menuntutku untuk terus mencoba.
“Ini sia-sia.” kata suara itu, saat matahari mulai menyelinap melalui celah-celah di dinding.
“Kau hanya membuang-buang hidupmu.”
Mungkin. Tapi apa gunanya hidup ini tanpa tujuan? Dan tujuanku, satu-satunya tujuanku, adalah mengurai simpul ini. Membebaskan diriku dari ikatan yang tak terlihat ini. Atau mungkin, membebaskan dia.
Aku berjalan menuju rak, mengambil gulungan tali yang lain. Tali yang baru, bersih, belum ternoda oleh kegagalanku. Aku mulai membuat simpul. Simpul yang sederhana, yang mudah diurai. Aku melakukannya berulang kali, mencoba mengingat, mencoba memahami esensi dari ikpul. Tapi setiap kali aku mengurai simpul yang baru, simpul yang lama terasa semakin erat.
Ini adalah kutukan. Sebuah hukuman yang tak berujung. Aku adalah Sisyphus, tapi bukan batu yang ku gulingkan, melainkan simpul yang tak terurai.
Beberapa hari kemudian, seorang anak kecil tersesat masuk ke bengkelku. Matanya lebar, dipenuhi rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan. Ia menatapku, lalu menatap simpul di tanganku.
“Itu apa, Paman?” tanyanya, suaranya polos, memecah keheningan yang telah lama menyelimutiku.
Aku menatapnya. Wajahnya, entah mengapa, terasa familier. Seperti sebuah kenangan yang nyaris bisa kuraih.
“Ini sebuah simpul.” jawabku, suaraku serak.
“Kenapa tidak diurai?”
Pertanyaan itu menusuk. Pertanyaan yang sama yang selalu kudengar dari dia. “Aku tidak bisa.”
Anak itu mendekat, mengulurkan tangan kecilnya, menyentuh simpul itu. “Aku bisa membantu?”
Aku menatapnya, lalu menatap simpul itu. Sebuah harapan kecil, seukuran sehelai serat tali, muncul di dadaku. Tapi harapan itu segera mati. Aku tahu. Tidak ada yang bisa membantu. Ini adalah simpulku. Bebanku.
“Tidak,” kataku, menarik tanganku. “Ini bukan untukmu.”
Anak itu menatapku dengan bingung, lalu perlahan mundur. Ia berbalik, dan berlari keluar dari bengkel, kembali ke dunia yang tidak memahami kegelapan yang ada di sini. Aku hanya menatap kepergiannya, merasakan kehampaan yang semakin dalam.
“Kau mengusirnya,” bisik suara itu, mencela. “Kau mengusir satu-satunya harapanmu.”
Harapan? Apa itu harapan? Sebuah ilusi lain yang diciptakan untuk menyiksa. Aku tidak butuh harapan. Aku hanya butuh mengurai simpul ini.
Aku kembali ke bangku, ke lilin yang nyaris padam. Jemariku kembali meraba simpul itu, mencari celah yang tak pernah ada. Aku bisa merasakan denyutan di pelipisku, irama yang sama dengan saat itu terjadi. Saat simpul ini pertama kali terikat.
Malam semakin larut. Hujan mulai turun di luar, membasahi atap bengkel, menciptakan melodi yang suram. Aku menyukainya. Suara hujan adalah satu-satunya suara yang tidak menghakimiku.
Aku memejamkan mata, membiarkan diriku tenggelam dalam kegelapan. Aku melihatnya lagi. Wajah itu. Wajah yang kucintai. Wajah yang terluka. Wajah yang menghilang. Dan di sampingnya, sebuah tangan. Tanganku. Mengikat simpul. Mengikat janji. Mengikat takdir.
“Aku minta maaf,” bisikku, suaraku pecah.
“Terlambat,” jawab suara itu, kini berpadu dengan suara hujan, suara angin, suara bisikan-bisikan lain yang memenuhi ruangan.
Aku membuka mata. Lilin sudah padam. Ruangan gelap gulita. Aku tidak bisa melihat simpul itu lagi, tapi aku bisa merasakannya di tanganku. Lebih berat dari sebelumnya. Lebih erat.
Aku tahu ini tidak akan berakhir. Tidak akan ada resolusi. Tidak ada akhir bahagia. Aku akan terus duduk di sini, di bengkel yang membusuk ini, dengan simpul yang tak terurai di tangan. Hingga aku sendiri menjadi bagian dari debu dan kegelapan. Hingga aku, seperti simpul ini, sepenuhnya terikat, tanpa ada harapan untuk bebas.
Dan di tengah kegelapan itu, aku mendengar tawa. Tawa yang dingin, hampa, namun juga penuh kepedihan. Tawa dari dia. Tawa yang akan menemaniku selamanya.
Kreator : Clown Face
Comment Closed: Simpul Tak Terurai
Sorry, comment are closed for this post.